Menanggapi Hak Pilih Para Disabilitas Mental Pada Pemilu Mendatang

Nasional

Pemilu menjadi hak bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, keputusan yang diambil oleh KPU untuk memberikan hak pilih kepada orang gangguan jiwa menciptakan polemik tersendiri. Pro-kontra bermunculan tak hanya di lingkungan masyarakat, namun juga di ruang lingkup para peserta pemilu itu sendiri.

Aspirasionline.com — Langkah yang ditempuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memberikan hak pilih kepada penyandang disabilitas mental pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang dinilai sangat kontroversial. Pasalnya, dari segi hukum maupun dari segi politik menilai bahwa keputusan yang diambil oleh KPU sudah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas pemilu yaitu langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luberjurdil).

Ditemui pada (3/12) oleh ASPIRASI, Siti Intan selaku dosen hukum perdata Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ)  mengungkapkan bahwa pemberian hak pilih pada orang gangguan jiwa sangat bertentangan dengan asas Pemilu, yakni jujur dan langsung. Ia menuturkan bahwa dalam hukum perdata disebutkan bahwa subjek hukum adalah manusia dan badan hukum. Dalam hal ini, manusia yang cakap hukum adalah orang yang telah dewasa, tidak berada dalam pengampuan, dan tidak ada dibawah kepailitan.

Intan melanjutkan bahwa dalam kacamata hukum, orang yang berada dalam pengampuan ini meliputi orang mabuk, sakit jiwa, dan orang boros. “Artinya, walaupun orang ini tidak cakap hukum, tetapi masih dapat melakukan kegiatan hukum dengan cara diwakili oleh pengampunya,” ujar ibu dua orang anak tersebut. Menurut Intan, pemberian hak pilih terhadap orang disabilitas mental tidak sejalan dengan legalitas hukum perdata tersebut. “Jadi, misalnya ada orang sakit jiwa, secara undang-undang HAM dan kesehatan dia memiliki hak. Namun apakah dalam memilih ia juga harus didampingi oleh pengampunya? Saya kira ini melanggar asas dari langsung dan rahasia,” jelasnya kemudian. Intan juga menambahkan bahwa orang disabilitas mental tidak dapat bertanggung jawab terhadap perbuatannya.

Senada dengan pendapat Intan, Fikri Tamau, dosen ilmu politik UPNVJ juga berpendapat bahwa hak pilih orang gangguan jiwa dapat melanggar asas rahasia Pemilu. “Bagaimana mungkin dalam melakukan pemilu kita memakai pendamping. Dimana letak kerahasiaan dalam asas pemilu?” ujar pria kelahiran Manado tersebut. Menurutnya, selain melanggar asas pemilu, keputusan yang diambil oleh KPU ini juga dapat berpotensi untuk mengganggu jalannya demokrasi di Indonesia. “Kalau lagi kumat terus mengacak-acak hingga merobek kertas suara kan sangat mengganggu sekali. Apalagi dalam pesta demokrasi 2019 mendatang. Tegang sekali pasti,” ujar Fikri sambil menyeruput teh panasnya.

Fikri menjelaskan bahwa apabila mengacu pada hukum positif, orang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dikenakan hukum positif sehingga tidak dapat dipidanakan. Ia sendiri mempertanyakan ukuran atau skala kegilaan yang dimaksud KPU untuk para penyandang disabilitas mental. Menurutnya, perlu adanya aturan yang jelas dimana KPU mendefinisikan tentang penyakit gangguan jiwa seperti apa yang boleh atau tidak boleh memilih. “Seharusnya perlu dirinci lagi di dalam aturan main KPU. Dan untuk memilih, saya merasa tidak mungkin orang gangguan jiwa dapat memilih dengan baik dan ini pasti sangat kontroversial,” lanjut pria yang hobi membaca itu.

Sebagai pengamat politik, Fikri juga menanggapi perihal potensi adanya manipulasi suara akibat polemik yang sedang terjadi. Ia mengatakan bahwa potensi tersebut akan selalu ada. Di Indonesia sendiri, menurutnya kasus pemungutan ulang suara sering terjadi akibat adanya manipulasi suara.“Tidak hanya untuk pilpres 2019 saja. Tetapi pilkada dan pileg pun rentan untuk dimanipulasi karena bisa saja faktor kelelahan manusia, faktor kesengajaan dan banyak faktor lain,” terangnya kemudian.

Dengan adanya kontroversi yang ditimbulkan atas keputusan KPU ini, baik Intan maupun Fikri sama-sama berharap agar pemilu 2019 ini bisa berjalan lancar tanpa adanya hambatan. Mereka berharap, asas luberjurdil pada Pemilu 2019 mendatang dapat terjaga sesuai dengan Undang-Undang no. 17 tahun 2017 tentang KPU “Penyelenggara pemilu harus bebas dari intervensi dari kubu manapun dan masyarakat aktif terlibat dalam pastisipasi politik dan tidak apatis serta menyuarakan aspirasinya.” tutup Fikri saat diwawancarai ASPIRASI pada (3/12) silam.

Reporter: Sarito Mg, Yoan Mg. |Editor: Fakhri Muhammad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *