Sebuah Kisah Petualangan Menuju Kelamnya Neraka Dunia

Resensi

Judul : Journey to Hell – Memoar Duka Mantan Penghuni Guantanamo
Penulis : Mourad Benchellali

Penerjemah: Nisa Nurul Aziemi
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tahun : 2007
Tebal : 312 Halaman

Terkadang, satu kesalahan dapat membawamu ke tempat yang tak terduga. Terlahir sebagai muslim di benua Eropa, Mourad Benchellali bukanlah seorang yang menekuni agamanya dengan taat. Ia bahkan tak memiliki pandangan politik apapun dan setia untuk percaya bahwa  setiap manusia seharusnya bisa hidup berdampingan. Sama sekali tak terbersit di benaknya bahwa Amerika merupakan “Musuh Islam” ataupun “Sang Iblis”, seperti yang diteriakkan oleh mereka yang tenggelam dalam dunia Islam radikal.

Journey to Hell, merupakan kisah seorang muslim Prancis yang terlalu lugu yang berpetualang menuju neraka. Hanya saja, neraka yang dimasukinya bukanlah hasil cipta Tuhan. Melainkan sebuah kompleks penjara militer nun jauh di teluk Guantanamo, Kuba. Ialah yang disebut sebagai penjara paling kejam di dunia. Tempat pemerintah Amerika Serikat menahan tokoh yang mereka anggap sebagai anggota dari Al-Qaeda. Tak hanya para pembaca, bahkan dalam bukunya pun, Mourad bertanya-tanya mengapa insan tanpa ideologi khusus sepertinya bisa menjadi korban dari kejamnya Penjara Guantanamo.

Semuanya berawal dari awal musim semi di tahun 2001. Hakim, kakak kandung Mourad yang menyarankannya untuk berlibur ke Afghanistan untuk sekadar melepas penat. Ya, Semua petualangan Mourad di neraka Guantanamo hanyalah diawali dengan iming-iming akan hilangnya penat. Ditambah rasa penasaran dan kepolosannya, membawa ia dan sahabatnya, Nizar melewati perbatasan Afghanistan secara ilegal, kemudian muncul secara sukarela di tempat pelatihan Al-Qaeda tanpa tahu tempat apa yang sedang ia pijak.

Entah sebuah kebetulan apa yang menghantui dirinya. Hanya berselang beberapa minggu setelah dirinya terjebak dalam pelatihan membunuh demi Islam, tepat pada 11 September 2001 gedung World Trade Center diruntuhkan. Osama bin Laden yang disinyalir sebagai kepala dari Al-Qaeda diburu ke penjuru dunia. Ironisnya, semua hal tersebut terjadi hanya beberapa saat setelah Osama bin Laden mengunjungi tempat pelatihannya. Perburuan pun dimulai, petualangan antara hidup dan mati yang kemudian terkisah dalam buku Journey to Hell, dapat dirasakan secara nyata oleh pembaca. Meski perburuan itu berakhir dengan putusan tanpa proses pengadilan, dimana Mourad harus mendekam selama 46 bulan di Guantanamo. Namun disanalah untuk pertama kalinya, Mourad sebagai seorang muslim mempelajari Al-Qur’an secara serius.

Pertualangan Yang Tergambar Dengan Gamblang

Mungkin, 312 halaman terlihat sangat banyak untuk dibaca. Terlebih bagi orang yang memang tak memiliki hobi membaca. Namun, dengan alur cerita yang begitu jelas dan padat, penulis telah dibawa menuju suatu tempat nyata yang tak terbayangkan sebelumnya. Membaca buku ini layaknya mendengarkan kisah sebuah petualangan seorang buta yang tak tahu kemana ia menuju. Bagaikan melihat bagaimana dinginnya pegunungan Afghanistan atau panasnya lautan gurun di Kandahar.

Mourad menuliskan cerita dengan sangat rapi. Hal-hal kecil ia perinci secara detail. Bahkan, cerita tragis ketiga temannya yang terpisah saat mendaki terjalnya pegunungan Afghanistan pun ia ceritakan kembali melalui tulisannya. Kisah bagaimana ia berusaha membajak bus yang akan membawanya ke genggaman tentara Amerika maupun ketika ia bermalam dibalik gua tanpa sinar bulan terasa sangat mendebarkan ketika dibaca. Bagi penulis, Mourad berhasil menceritakan petualangannya tanpa mengarahkan ideologi para pembacanya. Tulisannya murni untuk menceritakan kelamnya hidup dibalik jeruji besi Guantanamo serta perjalanannya menuju kesana.

Tak hanya itu, di penghujung tulisannya, Mourad kembali menekankan bahwa mendekamnya ia 46 bulan di Guantanamo, merupakan murni karena kebodohan dan kepolosannya. Hal ini tertuang dalam epilog dimana ia menulis bahwa ia menenangkan mereka yang marah setelah mendengar ceritanya. Baginya, menyadari bahwa petualangannya di neraka telah usai, merupakan hal yang terpenting baginya. “Malam itu, aku benar benar bisa berkata kepada diriku bahwa perjalanan itu telah usai, akhirnya,” yang terdapat pada halaman 298.

Penulis : Taka Mg. |Editor : Hasna Dyas Mayastika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *