Ketika Bawaslu Turut Mengatur Materi Khotbah
Jelang Pilkada Serentak 2018, Bawaslu berencana mengatur materi khotbah guna menghindari politisasi agama.
Aspirasionline.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan merampungkan materi dakwah materi khotbah atau ceramah keagamaan di masa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Materi itu berisikan wawasan pencegahan, sosialisasi, dan pengawasan terhadap praktik politik uang dan politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam pilkada.
Menanggapi kebijakan tersebut, Kepala program studi (Kaprodi) Ilmu Politik di UPN “Veteran” Jakarta (UPNVJ) , Fikri Tamau mempertanyakan urgensi Bawaslu dalam membuat kebijakan tersebut. “Bawaslu itu bertugas sebagai pengawas pelaksaan pemilu yang dilakukan oleh Komisi pemilihan umum (KPU). Bukan ranah Bawaslu untuk mengatur perihal khotbah keagamaan.” Tuturnya kepada ASPIRASI.
Fikri mengakui bahwa politisasi SARA dalam pemilu merupakan hal yang sensitif bagi masyarakat di Indonesia. Politisasi Agama tidak hanya dilakukan di Indonesia, melainkan terjadi di berbagai belahan dunia dan tidak menjadi sesuatu yang tabu. “Mungkin Bawaslu Pilkada Jakarta yang lalu, maka dari itu Bawaslu berpikir perlu adanya intervensi tentang materi khotbah yang dilakukan oleh bawaslu,” ungkapnya.
Meskipun demikian, ia mengungkapkan bahwasanya bukanlah wewenang dari Bawaslu untuk masuk kedalam urusan Agama kendati terkait Pilkada sekalipun. “Bawaslu ingin menghindari politisasi tapi justri Bawaslu lah yang melakukan politisasi tersebut,” terangnya.
Langkah alternatifnya adalah Bawaslu mengadakan kerjasama dengan lembaga keagamaan kemudian meminta secara resmi kepada mereka untuk melakukan sosialisasi terkait materi khotbah yang disampaikan. Ia mengungkapkan memang sudah seharusnya hal itu diatur oleh lembaga keagamaan bukan oleh Bawaslu.
Lanjutnya Fikri mengatakan bahwa yang dapat Bawaslu lakukan hanya memberi saran agar mencipatakan pesta demokrasi yang bersih. “Bukan mendikte bahwa hanya ini-ini saja yang boleh disampaikan dalam suatu khotbah,” jelasnya.
Ia menerangkan bahwa pada dasarnya agama adalah modal sosial yang dapat diubah menjadi suara dalam suatu kompetisi politik. “Jadi isu agama dalam dunia politik adalah hal yang lumrah sejatinya. Buktinya tidak hanya dialami di Indonesia tapi juga dialami oleh negara lain, ” tuturnya.
Pria yang gemar membaca ini memilai bahwa kebijakan Bawaslu ini hanya akan memperkeruh proses demokrasi tersebut. Ia mengungkapkan pada dasarnya masing masing individu memiliki orientasi politik masing-masing, baik yang terdapat unsur agama maupun tidak. Orientasi itu menjadi hak masing-masing individu yang tidak bisa diganggu gugat.
“Tugas Bawaslu salah –satunya yang paling fundamental adalah menyelesaikan sengketa antara kontestan dan penyelenggara pemilu dalam hal ini partai politik dan KPU. Saya kira tugas ini sudah cukup berat dilakukan oleh KPU. Tidak usah masuk di luar ranah kewenangannya apalagi dalam ranah agama.” Tutupnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Pultoni selaku dosen Fakultas Hukum UPNVJ. Ia mengerti mengenai pola pikir Bawaslu dalam mencanangkan kebijakan ini. Kendati demikian ia mengungkapkan akan lebih arif dan bijaksana jika hal tersebut dilakukan oleh lembaga keagamaan semisal Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Persatuan Gereja Indonesia ( PGI) yang memang memiliki fungsi sosial dalam bidang keagamaan.
“Diskusi antar pemuka agama saya rasa penting adanya agar bisa mencari solusi bersama menghadapi politisasi SARA yang semakin marak terjadi. Jadi bukan hanya keputusan sepihak dari pihak Bawaslu.” Ujarnya kepada ASPIRASI.
Pria yang lahir di Boyolali ini memberikan saran bahwa alangkah baiknya jika kebijakan ini tidak masuk kedalam kebijakan yang sifatnya mengikat, dimana setiap elemen harus melaksanakan hal tersebut. Ia mencontohkan bahwasanya bawaslu dapat memberikan semacam pedoman mengenai prinsip-prinsip yang diterapkan untuk mencapai iklim demokrasi yang sehat. “Bentuknya berupa himbauan bukan kewajiban, ” tutupnya.
Penulis : Yuris Mg. |Editor :Taufiq Hidayatullah