Kemungkinan dalam Peninjauan Kembali Ahok
Pihak kuasa hukum Ahok mengajukan Peninjauan Kembali (PK), seluruh bukti baru yang ditemukan dikaji didalam sidang yang akan menghasilkan tiga kemungkinan.
Sidang PK Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digelar perdana pada Senin (26/2) lalu menuai pro dan kontra. Berkaitan dengan PK yang diajukan oleh Ahok, ASPIRASI berkesempatan untuk mewawancara Ali Zaidan, Wakil Dekan I (Wadek I) Fakultas Hukum (FH) UPN“Veteran” Jakarta (UPNVJ). Menurutnya, mekanisme PK dapat dilakukan ketika putusan hakim terhadap suatu kasus telah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, tidak ada lagi banding kasasi yang dapat dilakukan dalam kasus tersebut. Berdasar hal tersebut menurut Ali, memori PK yang diajukan oleh kuasa hukum Ahok telah memenuhi persyaratan yang ada.
Selain vonis hakim yang telah dinyatakan final, dalam mekanismenya juga diperlukan sebuah novum yaitu keadaan atau bukti baru yang ditemukan. Misalnya saksi yang belum diperiksa, pertentangan dalam putusan, ataupun kekhilafan hakim. Diantara berbagai keadaan diatas, nantinya akan diuji dalam serangkaian sidang PK.
Dalam kasus Ahok, mekanisme yang digunakan oleh kuasa hukum adalah adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan hakim. Hakim yang menimpakan vonis dua tahun penjara dengan menggunakan pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dianggapnya keliru karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Ahok menggunakan pasal 156 KUHP nantinya akan diuji dalam sidang PK.
Tetapi, Ali Zaidan meragukan bahwa hakim melakukannya. Ia menuturkan bahwa hal tersebut perlu dikaji kembali, apakah dua pasal diatas didakwakan terhadap Ahok atau tidak. Selain pasal, dugaan intervensi dari pihak eksternal pada kurun waktu saat persidangan Ahok berjalan harus memiliki bukti yang konkret bahwa memang ada hubungan kausal antara tekanan politik publik terhadap putusan hakim.
Jika hal tersebut dapat dibuktikan, maka hakim akan mendapatkan sanksi. Namun, ia mengkatakan bahwa tekanan publik selalu terjadi, sehingga independensi hakim akan tetap terjaga selama proses persidangan berlangsung. “Tekanan publik kan diluar, sementara dia (hakim, -red) memutuskan didalam persidangan. Ada musyawarah hakim namanya,” ujarnya pada Jum’at (2/3) lalu,.
Selain poin kekhilafan hakim, vonis yang menimpa Buni Yani juga dinilainya dapat menjadi konstruksi Ahok sebagai pertentangan hukum dalam kasusnya. Buni Yani yang terbukti menyunting video kampanye Ahok di Kepulauan Seribu juga dijatuhi vonis 1,5 penjara oleh hakim. Menurut Ali, ada kaitan antara kasus Buni Yani dan Kasus Ahok yang dapat diuji dalam sidang PK. “Tapi sekali lagi, harus dibuktikan dalam sidang pengadilan. Apakah betul ada seperti itu. Jadi, sebenarnya bisa juga dikaitkan dua putusan ini,” tutur pria berumur 56 tahun itu.
Sebagai penutup, Ali menjelaskan bahwa ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi dalam prosedur PK Ahok. Pertama, vonis dua tahun penjara yang telah diberikan kepadanya tidak akan berubah. Hal ini dapat terjadi apabila PK yang diajukan tidak diterima oleh Mahkamah Agung. Meskipun nantinya bisa saja ditemukan bukti baru yang memberatkan Ahok, vonis terhadapnya tidak akan bertambah. Karena dalam sidang PK, vonis Mahkamah Agung tidak diperkenankan untuk melampaui putusan yang telah dijatuhkan sebelumnya. “Tidak boleh karena ada alasan alasan lain, putusan mahkamah agung itu menjadi dua tahun enam bulan misalnya, tidak boleh,” ujarnya.
Kedua, vonis atas Ahok bisa saja dikurangi apabila bukti yang didapatkan dapat mendukungnya. Ketiga, Ahok dapat dibebaskan apabila novumnya bisa dibuktikan. “Iya kalau alasannya diterima dan dianggap ada novum atau pertentangan, dan diterima oleh majelis hakim, berarti dengan sendirinya itu (tindak pidana, –red) tidak terbukti, ya bebas,” tutupnya.
Penulis : Taka Mg. |Editor :Ida Sapriani