Capres BEM-U Ihsan: “Kita Tak Punya Wewenang Menekan Rektorat”
Aspirasionline.com – Menjelang hari Pemilihan Raya (Pemira) 2017, pasangan calon (paslon) nomor 2, Ihsan Abdul Aziz dan Damayanti Rizky, telah berupaya memperkenalkan diri, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui media sosial, brosur, dan lainnya. Dengan memanfaatkan segala media yang ada, paslon 2 ini memamerkan visi dan misi serta rencana program kerjanya untuk satu tahun kedepan.
Masalah-masalah yang kini terjadi di kampus Bela Negara ini menjadi perhatian semua paslon, termasuk bagi pasangan FIKES-FEB ini. Mulai dari masalah antara mahasiswa dengan rektorat, hingga masalah di lingkungan mahasiswa itu sendiri.
Melalui perbincangan lewat telepon oleh reporter ASPIRASI, Rida Nur Pratiwi berbincang banyak dengan Ihsan Abdul Aziz, selaku calon Presiden Mahasiswa dari paslon nomor urut 2. Pria berbadan tinggi tersebut menjelaskan upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Berikut hasil wawancaranya.
Alasan apa yang membikin Anda mendaftar diri sebagai calon Presiden BEM-U?
Kalau alasan pribadi begini, saya melihat UPNVJ ini kondisinya sama seperti Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan (FIKES) satu tahun lalu, pecah. Artinya pecah itu Ormawa atau UKM masih mengurusi dapur masing-masing, kita melihat dapur masing-masing tapi tidak melihat dapur UPNVJ. Yang saya inginkan, saya ingin mencoba, ya saya tidak tahu ini berhasil atau tidak, tapi dengan pengalaman saya menyatukan FIKES, akan saya lakukan juga ke UPNVJ. Mungkin 1 tahun adalah waktu yang pendek untuk itu, ya tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?
Bagaimana tanggapan Anda mengenai krisis kepemimpinan pada periode sebelumnya?
Kalau yang saya lihat, nggak adanya BEM-U itu dikarenakan bukan nggak ada calon, tapi saya yakin banyak calon, tapi mereka terhambat. Entah mereka baru menjabat di Ormawa masing-masing sehingga mereka tidak bisa mengundurkan diri, ataupun memang mereka mau tapi tidak ada jalan ke sana. Kalau saya rasa, sih, untuk rapat plenonya juga disetujui, bahwa nggak apa-apa gitu kita vakum dan diganti Komisi Khusus dari MPM. Jadi saya rasa tugasnya BEM-U sedikit banyak sudah dijalankan oleh Komisi Khusus.
Apa yang membikin kalian unggul dari paslon lain?
Kalau keunggulan, kita bingung. Karena fokus kita sama-sama di akademik dan membangun UPNVJ. Mungkin kalau paslon 2 ini, kita lebih ke implementasi. Jadi kita tidak melakukan kajian saja, tapi juga aksi jika diperlukan. Dan juga kita fokus peningkatan akreditasi UPNVJ itu sendiri, baik bidang akademik maupun non-akademik. Maupun pengabdian masyarakat, itu yang kami tekankan.
Bagaimana cara paslon 2 menarik massa untuk mendukung kalian di hari pemilihan nanti?
Jadi kalau untuk menarik massa, kita juga sama dengan paslon-paslon lainnya. Kita door-to-door ke mahasiswa, memang tidak semua, karena waktu terbatas. Kita lewat media sosial, brosur, hingga banner untuk mensosialisasikan visi-misi dan program kerja kita. Selebihnya sama dengan paslon lain.
Jika seluruh paslon sedang memperjuangkan UKT mahasiswa, kenapa tidak mendahulukan uang pangkal—yang harganya bisa 25-35 juta per mahasiswa? Kampus-kampus besar, seperti UNJ dan Unsoed, para mahasiswa itu berhasil menghapus uang pangkal. Kenapa BEM-U tidak memprioritaskan untuk mengawal isu uang pangkal yang menunjukkan komersialisasi pendidikan? Karena uang pangkal ditentukan oleh pihak kampus, bukan pemerintah. Hingga saat ini pun belum jelas kemana aliran dana uang pangkal, karena pihak kampus kerap tutup mulut (Baca: Jurnal ASPIRASI edisi khusus PKKMB Agustus 2017, rubrik FOKUS “Serba-Serbi Tingginya Uang Pangkal”)
Ya, jadi benar tadi kata Anda, kalau semisalnya uang pangkal itu juga diatur di peraturan menteri, ya kalau itu yang ngatur kampus. Kami mempermasalahkan UKT, karena begini, lebih menyeluruh kepada semua mahasiswa. Sedangkan kalau uang pangkal itu sendiri hanya untuk teman-teman yang dari jalur mandiri. Kami berharap mungkin kedepannya setelah UKT, karena UKT ini kan akan terjadinya setiap semester, sedangkan uang pangkal hanya diawal gitu. Nah, kami memperjuangkan dulu yang punya masa waktu panjang. Kemudian baru yang hanya masa waktunya di awal masuk kuliah. Jadi, mungkin yang panjang dulu jadi kalau misalnya nanti udah selesai, jadi sembari jalan gitu. Jadi kalau misalnya kita urusin uang pangkal dulu, kemudian UKT kan sayang. Kalau UKT sudah selesai, waktu yang kita pakai buat nunggu untuk uang pangkal bisa dipakai buat UKT. Gimana ya, jelasinnya susah nih. Jadi gimana ya, semisalnya kita ngerjain uang pangkal selama satu semester nih, nah itu kan uang UKT terus berjalan tuh, nah semester depan kita tetap bayar dengan uang yang sama. Kalau semisalnya kita nurunin UKT dulu baru uang pangkal, jadi UKT turun kan tahun depan UKT turun. Nah, untuk tahun depannya lagi saat penerimaan mahasiswa baru, baru itu uang pangkal kita usahakan diturunkan/dihilangkan.
Tapi waktu itu pernah ada satu kejadian, ada orang tua dari mahasiswa jalur mandiri yang mengatakan tidak mampu membayar uang pangkalnya. Tapi malah dijawab, “loh, itu kan sudah tertera di-website, seharusnya sudah tahu mengenai uang pangkal jumlahnya berapa.” Menanggapi hal tersebut, menurut Anda seperti apa?
Kalau yang saya dengar dari omongan Rektorat itu sendiri adalah dia bakal memperjuangkan mahasiswa-mahasiswa, terutama yang mempunyai kekurangan dalam pendanaan. Nah, kita lihat di situ apakah kata-kata yang dikeluarkan oleh Rektorat, melalui Wakil Rektor II, itu sesuai dengan tindakannya. Kalau semisalnya masih terjadi seperti itu, nanti kita tanyakan. Kita kan juga pernah mengundang dikti untuk membahas tentang UKT dan uang pangkal juga. Jadi kita semisalnya Rektorat masih seperti itu kita coba panggil bagian Pendidikan Tinggi kembali, kita pertanyakan atau kita kirim surat ke Pendidikan Tinggi, kita pertanyakan seperti ini bolehkah atau tidak boleh. Nanti kita lihat tindakan Pendidikan Tinggi. Karena kita juga tidak mempunyai kewenangan untuk menekan Rektorat dan sebagainya, kita hanya menyalurkan aspirasi. Dan kewenangan itu sendiri adalah Pendidikan Tinggi itu sendiri. Seperti itu.
Apa agenda konkret yang mesti dilakukan, terutama paslon 2, jika menjadi BEM -U untuk membangun budaya kritis dan antusias mahasiswa? Karena hanya dengan jargon, yel-yel, dan propaganda tidak bisa membangkitkan kesadaran mahasiswa. Semuanya harus dimulai dari pendidikan: perbanyak diskusi publik atau terbuka untuk seluruh elemen mahasiswa. Itu yang kurang diperhatikan oleh BEM-U tahun-tahun sebelumnya.
Jadi begini, kita lihat dahulu. Kita tidak bisa menyamakan hobinya masing-masing. Misalnya begini, dia nggak suka olahraga, misalnya main bola, terus tiba-tiba kita paksa main bola. Jawaban dia apa? Nggak mau kan? Nah, dengan kayak gitu kita menyediakan kegiatan yang berdasarkan kemauan mahasiswa. Misalnya, sebagian mahasiswa atau sepertiga mahasiswa lebih pro ke bidang akademik, maka kita menyediakan ruang bagi mahasiswa dibidang-bidang akademik. Contohnya apa? Contohnya seperti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM). Nah, nanti kita fokusnya adalah kita akan membuat “PKM Center”, yang mana fokusnya adalah menjadi pusat informasi tentang PKM. Kemudian, semisalnya, dia lebih suka untuk kegiatan-kegiatan minat bakat. Semisalnya desain, terus juga perlombaan dibidang olahraga atau pun non-olahraga itu akan kita buat. Seperti contohnya Liga Mahasiswa, semisalnya lagi dia ingin kegiatan-kegiatan yang berbasis di pengabdian masayarakat seperti contohnya Bina Desa dan lain-lain, nanti kita juga memfasilitasi. Kita akan berkolaborasi dengan Rektorat dan pihak-pihak yang terkait. Kalau misalnya dia memang tidak suka dengan akademik, tidak suka dengan kegiatan non-akademik, tidak suka dengan pengabdian masyarakat, kita juga bingung gitu. Jadi dia sukanya apa? Apakah dia cuma kuliah-pulang-kuliah-pulang? Tapi itu hak setiap mahasiswa, kita kembalikan lagi ke mahasiswanya.
Jadi, Anda nanti sebagai Presiden Mahasiswa akan berusaha memfasilitasi minatnya para mahasiswa?
Kita melihat umumnya saja sih sebenarnya. Misalnya, seperti olahraga, kita nggak mungkin ngebuat semua lomba olahraga. Misalnya yang suka renang hanya sekian, nggak mungkin kita adain renang. Jadi kita kerjasama dengan berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), UKM kan wahana mengembangkan minat dan bakat. Misalnya UKM bola kita kerjasama dengan universitas lain, kita ikut kompetisi dengan mereka, atau mereka ikut kompetisi di kita. Jadi lebih melihat banyaknya dimana. Misalnya lagi olahraga bela diri itu, di UPNVJ ada silat, boxing, dan lain-lain, tapi kan yang nggak ada di situ taekwondo. Masa saya tiba-tiba ingin mengadakan taekwondo, sementara yang minatnya saja tidak ada? Jadi kita akan kolaborasi dengan UKM-UKM yang ada.
Kalau mengenai diskusi publik itu sendiri, Anda setuju atau tidak? Karena seperti kita tahu, BEM-U yang sudah-sudah kurang memperhatikan hal itu.
Setuju saja sih, tapi kita juga lihat, di sini isu diskusi publiknya itu tentang apa. Nah, saya pengennya mengadakan diskusi publik yang sesuai dengan fakultas-fakultasnya. Misalnya, di Fakultas Hukum (FH) kita mengadakan diskusi publik tentang isu-isu penyelenggaran hukum di Indonesia yang sekarang-sekarang ini. Atau di kesehatan, kita menyelenggarakan isu-isu tentang kebijakan-kebijakan dari kementerian dan pemerintah tentang kesehatan. Jadi saya pengennya fokus dan linear dengan jurusannya.
Kalau melihat antusiasme mahasiswa tentang Pemira tahun ini seperti apa?
Saya melihatnya jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Dilihat dari jumlah calon yang ada, antusiasme itu sendiri dari tim sukses, dari relawan, maupun dari pendukung paslon itu sendiri. Mungkin kesadaran mahasiswa tentang pentingnya organisasi di UPNVJ dan membangun UPNVJ itu sendiri sudah mulai muncul. Karena kita sudah vakum satu tahun, mungkin mahasiswa juga sudah geregetan dan keadaan mahasiswa sekarang juga beda dengan mahasiswa dulu, yang saya ambil contoh itu 2014 dengan 2015 dan 2016 itu kan beda. Jadi kalo saya lihat antusiasnya sudah tinggi.
Mengenai peraturan jam malam, apa yang akan Anda lakukan kedepannya dalam mengatasi pembatasan jam malam kepada mahasiswa yang ada di kampus? Akan Anda coba untuk mengubah peraturan Rektorat yang sekarang atau bagaimana?
Jadi begini, jam malam itu dibuat untuk apa? Misalnya begini, apakah mahasiswa yang malam-malam ada di kampus itu nongkrong-nongkrong saja atau memang melakukan kegiatan produktif, seperti mengerjakan tugas, rapat, persiapan acara, seperti pentas seni itu kan nggak mungkin selesai jam Sembilan malam. Pasti selesai-selesai jam 12an malam gitu kan. Nah, kita lihat dulu dari kegiatan mahasiswa ini. Seperti di FIKES misalnya, di FIKES itu jangankan jam 9 malam, ya jam 7 malam saja sudah disuruh pulang, tapi kita ngobrol dengan Wakil Dekan III, “Pak, bagaimana kalau sedang rapat? Kalau kita sedang ngerjain tugas? Kalau kita rapat atau mengerjakan tugas di luar apakah itu tidak lebih membahayakan kita? Justru kita mengadakan di kampus supaya lebih aman. Jadi kita lebih mempertimbangkan keamanan gitu. Tapi kalau di kampus mereka hanya nongkrong-nongkrong saja, hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang istilahnya nggak jelas saya kurang setuju. Jadi saya juga akan berdiskusi dengan Rektor terkait dengan jam malam ini. Entah dinaikan atau tetap jam setengah 10, dengan catatan kalau semisalnya dia melakukan kegiatan produktif masih bisa dilakukan sampai jam berapa, sedangkan kalau misalnya dia tidak melakukan kegiatan produktif, bisa diminta untuk meninggalkan kampus.
Tapi, dalam waktu dan hari yang sama, di dalam kampus ada yang memang benar-benar mengerjakan tugas atau berorganisasi, dan pasti ada pula yang hanya main saja. Mengenai hal tersebut, seperti apa tanggapan Anda dan apa yang akan Anda lakukan nanti?
Jadi kemarin baru keluar juga surat dari Rektor, jadi kalau semisalnya ada yang masih nongkrong-nongkrong, nyanyi-nyanyi, pihak kampus bagian keamanannya dengan ditemani oleh pihak Rektorat. Nah, nanti pihak Rektorat ini yang akan menilai apakah mahasiswa di situ hanya nongkrong-nongkrong saja atau melakukan kegiatan produktif[.]