Ambivalensi Kebebasan Pers Rezim Soeharto
Siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai. Segala kontrol terhadap pers masa Orde Baru melahirkan ragam pemberitaan alternatif sebagai sebuah perlawanan.
Aspirasionline.com – Reformasi sistem pemerintahan Indonesia telah digaungkan 19 tahun lalu, tepatnya pada 1998. Pers pada masa Orde Baru (1965-1998) punya cerita sendiri yang tak bisa dilupakan: rezim menjadi represif kepada pers, yang mana merupakan wadah konkret demokrasi. Berbagai cara ditempuh agar rezim Orde Baru tetap “bersih” di mata masyarakat. Mulai dari kriminalisasi terhadap jurnalis (kasus wartawan Udin di Yogyakarta pada 1996), pembredelan media cetak yang kritis (Tempo, Detik, dan Editor pada 1994), hingga peraturan penerbitan berita yang terbatas dan selektif lewat Surat Izin untuk Penerbitan Pers (SIUPP).
Salah satu anggota Dewan Pers Nezar Patria, punya cerita sendiri ketika mengingat kembali memori ke masa Orde Baru. Pada saat itu, pemerintah dengan gencar melakukan kontrol penuh terhadap pers. “Dulu kita menyebut Orde Baru dalam banyak nama. Yang paling mudah kita sebut rezim pengendali pers. Itu menunjukkan dengan jelas yang dipasung selama Orde Baru adalah demokrasi,” ujar Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Online tersebut. Adanya pengontrolan pers juga diperkuat dengan banyaknya tulisan dan kajian ilmiah yang memuat konotasi negatif tentang Orde Baru.
Hal itu ia sampaikan pada diskusi yang diselenggarakan oleh HISTORIA yang bertajuk “Dari Bredel sampai Hoax: Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto”. Diskusi tersebut diadakan di Tanamera Coffee, di bilangan Jakarta Selatan, pada Rabu (24/5) lalu. Dengan menghadirkan tiga pembicara yakni Nezar Patria, Ignatius Haryanto, dan Andina Dwifatma.
Peneliti senior dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto menambahkan, dalam mengontrol kebebasan pers, tak jarang dilakukan dengan tindakan represif. Jenis represi kekuasaan Orde Baru pada media yaitu pemberlakuan sensor, pasal penebar kebencian, perizinan, pembredelan, aparat penunjang negara, dan orientasi pemberitaan soal pembangunan Orde Baru.
Adanya aparat pengawas membuat kontrol terhadap pers tersebut senantiasa lancar. Wartawan pada saat itu, sering mendapat telepon misterius yang memaksa suatu berita sensitif tidak dimuat. “Telepon itu bisa datang dari kronco-kronco Departemen Pertahanan, Mabes TNI, atau Kejaksaan. Kalau sudah mendapat telepon seperti itu, mau tidak mau harus dituruti. Misalnya halaman satu yang sudah fix, harus berubah karena ada permintaan itu,” katanya.
Ignatius memberi contoh kasus lain: berita tentang kecelakaan pesawat militer yang terjadi pada era Soeharto, baru akan diketahui setelah tiga atau empat hari kemudian. Pada saat itu, Panglima TNI mengatakan sudah mengevaluasi para korban dan sudah menyantuni keluarganya. “Berita kecelakannya tidak ada, jadi bertanya-tanya kan. Harus bisa membaca apa yang tersirat dari apa yang tersurat,’ ujar pria yang juga merupakan dosen di Universitas Multimedia Nusantara itu.
Kekangan terhadap pers tidak berhenti sampai disitu. Berita dari pers luar negeri ke Indonesia yang dianggap sensitif akan diberhentikan peredarannya ke toko buku. Namun apabila sudah berada di toko buku, berita yang sensitif itu akan diblok dan dihitamkan, sehingga tidak dapat dibaca. Kontrol terhadap pers juga terjadi dalam pemilihan pemimpin redaksi sebuah media, dan puncaknya yang paling kentara adalah pembredelan pers.
Pada 1965, tak kurang dari 46 surat kabar yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kelompok kiri lainnya ditutup. “Saya menghitung ada sekitar 75 kasus pembredelan media massa selama Soeharto berkuasa,” tegas peneliti yang pernah menjadi wartawan Majalah Forum Keadilan itu.
Kontrol terhadap pers akhirnya mendapat perlawanan pada tahun 1994. Sebagai bentuk perlawanan itu, berdirilah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun yang sama. “Periode 1994 hingga 1998 itu juga ditandai dengan munculnya pers-pers bawah tanah yang kemudian memberikan informasi alternatif,” kata Ignatius. Sejak saat itu, insan pers berani melawan kontrol yang mengikatnya.
Reporter : Triditrarini Saraswati |Editor : Haris Prabowo