Menilik Kembali Makna Kampus: Sebuah Refleksi Kritis Atas Perguruan Tinggi Hari Ini

Opini

Aspirasionline.com – Sudah menjadi rahasia umum, pendidikan kita memang telah berjalan keluar dari jalur hakikatnya. Dalam agenda pemenuhan syahwat liberalisasi ekonomi global, pelan tapi pasti, pendidikan kita mulai berorientasi penuh ke pasar bebas. Semua semakin jelas terlihat dengan biaya kuliah yang makin tinggi dan segala macam mekanisme perkuliahan yang ‘rapi dan teratur’ laiknya seperti berkerja.

Khususnya dalam ranah perguruan tinggi, mulai diterapkannya sistem Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) beberapa tahun lalu menjadi celah bagi pihak swasta dan pemilik modal melebur masuk ke dalam relung-relung kehidupan kampus. Singkatnya, sistem PTN-BH memaksa pihak kampus untuk mencari dana sendiri sekaligus mereduksi peran Pemerintah dalam pembiayaan segala bentuk pendidikan di Indonesia. Pemerintah secara perlahan melepas tanggung jawabnya dalam menjamin pendidikan yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat.

Maka tak heran jika di kampus-kampus besar berdiri tegak hotel hingga kedai kopi ternama, namun disaat yang sama masih banyak masyarakat kurang mampu mengemis untuk masuk ke kampus tersebut karena tersendat biaya.

Dalam buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, David Harvey, kritikus ekonomi asal Amerika Serikat, mengatakan sistem-sistem seperti itu memang menjadi agenda pihak swasta dan pemilik modal untuk masuk ikut campur ke dalam kebutuhan dasar masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan. Dengan berbagai peraturan dan konsensus yang ada, baik dalam skala nasional maupun global, Pemerintah dipaksa untuk mengurangi perannya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. Semua dilempar sesuai mekanisme pasar. Itu salah satu dalil pokok David.

Tak hanya ihwal pembiayaan pendidikan, agenda pasar bebas juga masuk secara fundamental ke bangku perkuliahan. Mahasiswa dipaksa mengikuti segala macam peraturan yang ada di dalam kampus. Mulai dari jadwal perkuliahan padat, kelulusan mata kuliah berbasis absensi, hingga berpakaian dan model rambut pun diatur di dalam tempurung bernama kampus. Semua diramu guna ‘menciptakan sumber daya manusia yang terampil dan siap berkompetisi di dunia kerja’.

Dengan kata lain, kampus malah tidak memerdekakan mahasiswa yang menimba ilmu. Padahal jika berkaca dari sejarah, guru sekelas Ki Hadjar Dewantara dan Tan Malaka menilai fungsi pendidikan seharusnya menjadikan mereka yang terdidik untuk merdeka dan bebas berkehendak sebagai manusia. Oleh karena itu Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, Tan Malaka mendirikan Sarekat Islam (SI) School. Benih-benih revolusi kemerdekaan Indonesia memang tak lepas dari sistem pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar dan Tan.

Pembentukan sekolah-sekolah tersebut juga merupakan sebuah langkah alternatif dari sistem pendidikan formal yang ada. Mereka menilai pendidikan formal yang dibentuk oleh kolonial Belanda saat itu cenderung digunakan untuk kepentingan penguasa. Pendidikan telah keluar dari hakikat utamanya.

Mari meluangkan waktu sejenak untuk merefleksikan diri melihat bagaimana keadaan kampus hijau saat ini. Sejak penegerian dua tahun lalu, kampus hijau mulai menerapkan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan uang pangkal seharga puluhan juta. Tentu jika menggunakan akal sehat dan mengacu pada amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD), mahalnya biaya kuliah yang seharusnya menjadi tanggungjawab Pemerintah, semestinya membuat kita sadar ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.

Belum lagi bentuk penyeragaman mahasiswa dengan segala bentuk sistem dan mekanisme yang ada. Ditambah pelarangan rambut panjang dan mewajibkan pembotakan pada setiap masa adaptasi mahasiswa baru, membuat kampus kehilangan nilai intelektualitas dan keakademikannya. Padahal hingga saat ini penulis belum pernah menemukan penelitian konkret pengaruh antara pembotakan rambut dengan kecerdasan seseorang. Semua itu dilakukan tak ubahnya ‘pendisiplinan tubuh’, jika mengutip dari Michael Foucault.
Tak hanya itu, pihak kampus pun menyisipkan sebuah kegiatan yang turut membangun pandangan mahasiswa baru ke pasar kerja. Tak habis pikir bagaimana para manusia yang baru saja lulus sekolah menegah atas, yang bahkan belum memulai pendidikan perguruan tingginya, harus menerima gambaran prospek kerja yang akan diraih pasca mereka lulus dari kampus. Semuanya seperti dibuai oleh khayalan karir dan jabatan yang cemerlang. Tak heran jika paradigma ingin-cepat-lulus-kuliah berkubang dalam otak mahasiswa, karena memang hal tersebut sudah dipupuk sejak dini.

Lama kelamaan hakikat pendidikan yang awalnya berfungsi sebagai pembangunan diri sendiri agar berguna ke masyarakat luas, hanya sekedar menjadi manusia berilmu yang egoistis dan abai pada lingkungan sosial. Banyaknya contoh konflik agraria yang dialami masyarakat adat dan petani yang terjadi di beberapa daerah di Pulau Jawa, justru para akademisi dan ‘manusia berilmu’-lah yang menjadi penyongkong utama atas nama ‘pembangunan’. Pantas jika Pramoedya Ananta Toer pernah marah dan kecewa sambil mengucap, “kalau sekolah tinggi hanya menghasilkan b*ngs*t-b*ngs*t saja, maka akan runtuhlah manusia ini.”

Penulis: Haris Prabowo ||mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum, Univ. Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *