Sistem Pendidikan Menindas Bernama UKT
Indonesia telah memasuki umur ke 72 di tahun ini. Namun setelah puluhan tahun merdeka, kondisi kemerdekaan di negeri ini masih perlu dipertanyakan, khususnya kemerdekaan bagi kaum miskin. Padahal sejatinya kemerdekan merupakan kesejahteraan dan keadilan yang harus dirasakan oleh seluruh masyarakat, seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Demi mewujudkan kemerdekaan yang sejati, pemerintah berkewajiban memastikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pendidikan merupakan jalan bagi kaum miskin untuk mengangkat harkat dan martabat mereka. Tentunya, pemerintah yang bertugas untuk membuka akses kepada masyarakat untuk memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak.
Namun, masalah pendidikan dan kehidupan yang layak menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Masyarakat akan mendapat kehidupan yang layak ketika berhasil memperoleh pendidikan tinggi dan stigma ‘ada uang, ada barang’ alias pendidikan tinggi yang baik harus ditebus dengan biaya yang mahal terus tertanam.
Sayangnya stigma yang terus tertanam itu merupakan implikasi dari mahalnya biaya kuliah yang terus mencuat dan menjadi masalah yang dialami calon mahasiswa dan juga orang tua hingga saat ini. Harapan mereka untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar dapat menjejaki bangku kuliah dengan biaya terjangkau tak menemukan titik terang, justru kian sirna.
Penetapan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan uang pangkal yang diusung oleh pemerintah sejak tahun 2013 lalu, didasarkan pada ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 55 tahun 2013 tak menjadi solusi. Sistem UKT ini merupakan sistem pembayaran kuliah yang menggantikan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Biaya UKT ini meniadakan pemungutan uang gedung, almamater, wisuda dan pungutan lainnya. Sehingga mahasiswa hanya perlu membayar UKT pada tiap awal semesternya. Namun sayangnya, implementasi penerapan sistem UKT yang diharapkan nampak tidak sesuai dengan regulasi.
Pembagian sistem pembayaran UKT inipun tidak sama rata untuk tiap mahasiswanya, ada sedikitnya lima sampai delapan golongan UKT yang akan ditetapkan pihak pendidikan tinggi kepada mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Namun, setelah empat tahun sistem ini diberlakukan nyatanya justru makin banyak mahasiswa yang terbebankan. Mahasiswa tak hanya berpikir bagaimana menjalankan kuliah, tetapi juga harus memikirkan bagaimana ia lancar membayar biaya kuliah hingga akhir.
Bagaimana tidak, UKT dengan golongan terendah yakni golongan I dan II, hanya dapat dinikmati masing-masing lima persen mahasiswa dari jumlah seluruh mahasiswa yang diterima di jurusan tersebut dan sisanya menerima UKT golongan III sampai dengan VIII seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) No. 39 tahun 2016 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan UKT pada Pasal 5 Ayat 1 dan 2.
Tentu putusan tersebut menghantarkan kepada makin beratnya beban yang harus dipikul oleh mahasiswa yang tidak menerima UKT rendah terlebih bagi mereka yang mendapat golongan tertinggi. Beban mahasiswa yang mendapat UKT yang tinggi seakan makin berat karena perbedaan biaya antar satu golongan dengan golongan lainnya cukup menyekat nafas.
Bagi mereka yang dapat lolos melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) mungkin sedikit bisa bernafas lega. Mereka mungkin sedikit lebih beruntung karena tidak harus membayar uang pangkal.
Namun, lain halnya dengan mereka yang lolos melalui Seleksi Mandiri Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMMPTN). Mereka yang lolos melalui SMMPTN selain membayar UKT adapula uang pangkal yang dibebankan dengan nominal yang sangat fantastis, seakan mereka yang lolos melalui SMMPTN adalah orang-orang yang memiliki ekonomi menengah ke atas.
Meski pemerintah sudah mengeluarkan Permen nomor 39 tahun 2016 yang tertulis di pasal 10 ayat (2) bahwa uang pangkal harus tetap memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua, masih banyak universitas menetapkan uang pangkal secara sepihak tanpa ada campur tangan calon mahasiswa dan orang tua. Pada akhirnya, siswa yang telah berhasil melewati proses seleksi tak serta merta dapat langsung menjejaki PTN, biaya yang mahal berakibat pada mereka yang berhasil terpaksa memilih untuk mundur. Bahkan adapula kebijakan universitas yang menetapkan mahasiswa yang lolos melalui jalur SMMPTN berkewajiban membayar UKT golongan tertinggi tanpa bisa menyanggahnya.
Tentu ini menjadi bentuk diskriminasi, melebarkan jurang kesenjangan antara si kaya dengan si miskin. Sehingga ketidakadilan begitu menusuk si miskin, mempersempit ruang gerak mereka untuk berkembang yang berujung pada tertindasnya kaum miskin.
Sudah jauh-jauh hari Paulo Freire, filsuf sekaligus pendidik asal Brazil, mengkritik sistem pendidikan yang menindas masyarakat miskin. Dalam bukunya yang termahsyur Pendidikan Kaum Tertindas, ia berpendapat tatanan tidak adil yang melahirkan kekejaman pada kaum penindas (pemerintah, pemilik modal, pihak kampus), yang kemudian melahirkan dehumanisasi terhadap kaum tertindas (masyarakat, terutama kaum miskin).
Pemerintah seharusnya mampu menjadi jembatan bagi kaum miskin untuk menghantarkan kepada mimpinya. Bila hanya berakhir dengan mengenyam bangku sekolah akan membuat padamnya harapan. Tak adanya harapan hanya memutus mimpi yang besar. Lalu bagaimana Indonesia mewujudkan cita-citanya, bila akses untuk kaum miskin selalu tertutup.
Bila hanya mereka yang berkecukupan yang dapat memperoleh pendidikan tinggi yang layak. Pantaskah Indonesia saat ini dikatakan negara yang merdeka, bila masih banyak masyarakatnya menangis di bawah gubuk kecil yang rapuh?
Oleh : Maharani Putri Yunita, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), semester III.