Penghapusan Uji Publik, Tinggalkan Polemik
Penghapusan uji publik dalam Undang-undang Pilkada, menjadi polemik tersendiri. Sebagai gantinya adalah sosialisasi calon kepala daerah yang dijalankan lewat partai politik. Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi Perludem, sangat menyayangkan hal ini.
Menurut Fadli Ramadhanil dari Perludem, ketentuan uji publik adalah terobosan baru dalam pengajuan kepada daerah. Selama ini pelaksanaan bakal calon oleh partai politik, selalu identik dengan uang. Siapa yang punya modal banyak dan siapa yang askesnya kuat terhadap pimpinan partai politik , maka dia berpeluang menang.
Sementara ukuran kemampuan dan potensi calon pemimpin, dikesampingkan. Dengan adanya gagasan uji publik, diharapkan ada mekanisme yang terbuka dari partai politik, untuk menyeleksi bakal calon yang potensial untuk diusung menjadi kepala daerah. Ia juga menjelaskan, seandainya uji publik tetap dipakai, mekanismenya diperbaiki dan di sederhakan. Untuk penyelenggaraan dan mekanismenya diserahkan pada partai politik sendiri, supaya calon potensial yang tidak punya modal banyak tetap bisa berkompetisi.
Sementara, KPU dalam hal ini cukup memverifikasinya saja. “Kita ingin pastikan proses penjaringannya, siapa yang berpotensi menjadi kepala daerah maka dialah yang seharusnya diusung. Kemarin itu, momentum (uji publik) yang baik sekali untuk proses penjaringan dan calon kepala daerah. Sayangnya konsep ini hapus dan direvisi dalam RUU Pilkada kemarin,”‘ ujar Fadli. Ia berharap ada proses pembaharuan dalam pemilihan kepala daerah agar figurnya bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat.
Apalagi, tanpa uji publik dikhawatirkan proses pilkada menjadi tidak transparan, rawan dengan praktik kecurangan dan terjadi transaksi di belakang. “Kita berharap, ada mekanisme yang terbuka dari parpol. Jika terjadi lagi pencalonan kepala daerah yang tidak terbuka, artinya kita jalan ditempat. Harusnya kita bisa mengambil pelajaran-pelajaran sebelumnya, ” tambah Fadli.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR, Ahmad Riza Patria, mengatakan, ada 3 faktor yang menjadi pertimbangan dihapuskannya uji publik sebagai salah satu rangkaian calon yang diusung dalam Pilkada serentak nanti. Yang pertama, pengusungan pasangan calon itu menjadi kewenangan partai politik . Kedua, uji publik yang dijelaskan dalam Perpu tidak dapat menggugurkan atau meluluskan seseorang.
Sifatnya hanya satu rangkaian kegiatan, setelah selesai akan diberikan sertifikat. Sementara, menurut Riza, yang namanya ujian, harus ada hasilnya, lulus atau tidak. Perpu yang lama tidak membahas soal ini. Faktor yang ketiga, uji publik itu dimaksudkan adanya interaksi antara calon kepala deerah dengan masyarakat, tapi tenyata KPU sendiri keberatan menyelenggarakan uji publik.
KPU berasalan, khawatir terjadi penilaian subjektifitas, karena KPU memilih panitia seleksi untuk mencari penguji yang tak bisa menjamin kenetralitasannya. Uji publik juga bisa dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk menjatuhkan lawan. “Diharapkan pendaftaran calon diserahkan pada parpol, bukan eranya lagi jika parpol tidak transparan atau diam diam mengusung pasangan calon. Kalau seperti itu tidak akan mendapat tempat yang baik di masyarakat, ” kata Ahmad Riza.
Ia menambahkan, kalau tidak ada uji publik, bisa kapan saja masyarakat atau LSM mengundang calon yang diinginkan untuk uji kelayakan, track record, potensi, atau klarifikasi kasus yang menimpanya. Calon tersebut akan rugi jika dia tidak datang. Sedangkan, jika uji publik tetap diterapkan, calon bisa saja menghindar, dengan alasan pada saat uji publik saja menghadiri undangan. Sedangkan waktu uji publik sendiri terbatas.
Meski tahapan pilkada menjadi lebih pendek dengan dihapusnya uji publik, Riza berharap masyarakat harus kritis dalam menyeleksi calon-calon yang tidak pantas dan tidak ada lagi yang mencalonkan antar kekeluargaan.
SUMBER: KBR68H