PSHK: Pidanakan FPI untuk Efek Jera
Aspirasionline.com – Beberapa pekan lalu ramai muncul wacana pembubaran organisasi FPI. Wacana itu disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, pasca aksi demonstrasi FPI yang diwarnai kekerasan di depan gedung DPRD DKI. Wacana pembubaran FPI juga mendapat dukungan dari kepolisian republik Indonesia, karena FPI kerap melakukan aksi atau menghadapi masalah dengan cara-cara kekerasan.
“Saya kira sementara ini kita telah menyidik terhadap kasus FPI beberapa waktu yang lalu ketika menola Ahok, ada tindak pidana yang mereka lakukan juga perbuatan yang melukai masyarakat termasuk anggota polri yang bertugas, ini pembuktian sudah cukup lengkap,“ kata Juru bicara Kepolisian Indonesia Ronny Frangky Sompie dalam program Pilar Demokrasi, Senin (13/10).
Ronny mengatakan ada tiga katagori pelaku yang sedang dikejar. Pertama pelaku kekerasan, kedua yang turut membantu, dan ketiga orang yang menyuruh melakukan tindakan tersebut. “Dari segi perbuatan melawan hukum areanya sangat jelas kita sedang melakukan pendalam dengan mengumpulkan alat bukti ia agar persangkaan pidana yang dilakukan FPI bisa dibawa JPU ketika disidangkan nanti,“ jelas perwira bintang dua itu.
Namun, jika bicara soal prosedur pembubaran, Ronny mengatakan itu tak menjadi wewenang instansinya. Namun kata dia pihaknya dapat memberikan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri instansi yang punya wewenang.
“Oleh karena itu penanganan pelanggaran pidana oleh FPI termasuk yang terakhir dan kita gabungkan dengan kasus yang pernah dilakukan sebelumnya, itu bisa menjadi bahan yang direkomendasikan oleh polri kepada kementerian dalam negeri, berkaitan dengan pembubaran FPI atau seperti apa solusinya, artinya polri akan memberikan dukungan secara faktual bisa dibuktikan dan juga ada kepastian hukum yang telah dibuktikan di pengadilan,“ kata pria kelahiran Manado itu.
Saat ini Ronny mengatakan pihaknya sedang mengumpulkan barang bukti, untuk menjerat otak pelaku peristiwa di depan gedung DPRD Jakarta. “Polri sedang menegakan hukum dengan memproses dengan alat bukti yang kita peroleh, termasuk alat yang bisa membuktikan bukti pentunjuk, bagaimana kita bisa membuktikan ada peran organisasi ini tidak mudah karena untuk membuktikan peran organisasi, belakangan saja mereka sudah berkelit padahal ada petunjuk rencana mereka sudah bisa kita lihat fakta di lapangan, kita nanti lihat secara transparan kita ajukan ke sidang pengadilan sama tidak dengan pemikiran hakim, jaksa dan perjalanan sidang.“ Terang Ronny.
Dalam penanganan kasus ini sesuai dengan undang-undang, polisi punya waktu 20 hari unutk mengusut apabila belum cukup akan di perpanjang masa tahannya 40 hari kedepan. “Jika bekas perkara ini tidak diserahkan ke jaksa akan lewat, artinya paling lama 60 hari berkas perkara diterima oleh jaksa, setelah itu jaksa bisa bawa ke pengadilan,“ kata Ronny.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Eryanto Nugroho menilai yang dilakukan polri dalam menindak FPI, sudah ditunggu oleh masyarakat.“Bahwa orang yang melakukan ditindak dan diproses di pengadilan hal ini lah yang ditunggu masyarakat,“ terang Eryanto Nugroho.
Jika berbicara pembubaran FPI ada masalah kompleks yang menghadang, salah satunya undang-undang ormas itu sendiri. Karena undang-undang yang tersedia uu ormas yang merupakan yang dibangkitkan yang zaman dulunya sudah bermasalah sehingga banyak kerancuan dalam pelaksaan uu ini,“ teramg Eryanto.
Menurut Eryanto, pemerintah harus menyamakan persepsi dulu tentang defenisi ormas itu sendiri. Kata dia selama ini pengertian ormas selama ini hanya dilihat dari pendekatan politik bukan dari pendekatan hukum.
“Jadi kalau hukum sebetulnya ada organisasi yang berbadan hukum dan tidak, yang berbadan hukum itu seperti yayasan dan perkumpulan, uu ormas itu mencapur adukan semua sehingga ketika berbicara pembubaran ormas ketemu kerumitan misalnya materi hukum,“ kata Eryanto.
Inilah yang menurut Eryanto yang mengganjal pembubaran FPI. „FPI badan hukum atau tidak?, jika dia bukan badan hukum mana bisa, dia tidak bisa dibubarkan karena dia bukan subjek hukum sehingga yang bisa dilakukan adalah mencabut surat keterangan terdaftar sehingga hal ini tidak berdampak signifikan karena dia bisa berganti nama dan buat kegiatan baru,“ terang Eryanto.
Eryanto mengatakan pencabutan SKT tidak berarti jika tidak ada tindak pidana yang diberikan aparat kepolisian. “Di sinilah aparat berperan, untuk melaksanakannya,“ kata Eryanto.
Menurut Eryanto untuk menjerat organisasi yang menggunakan kekerasan, undan-undang ormas harus segera dicabut, dan kembali ke rangka hukum organisasi yang benar.
“Justu kalau kita ingin kembali ke rangka hukum yang benar uu ormas ini harus dicabut, dan kita kembali ke kerangka hukum yang benar organisasi yang terdiri dari sekumpulan orang atau perkumpulan atau yang tidak berbasis anggota disebut yayasan, tidak mencampur adukan istilah lama yaitu ormas, kita kenal persyarikatan Muhamaddiyah setelah rezin orde baru kita sering menyebutkan sebagai ormas, sebetulnya kalau kita lihat akte pendirian itu persyarikatan perkumpulan kenapa sejak 1985 diintrodusir istilah ormas adalah konteks politik untuk stabilias politik diperkenalkan ormas azas tunggal yang kita sudah lewat,“ kata Eryanto.
Menurut Eryanto organisasi yang didirikan berazaskan kedamaian tidak boleh dibubarkan, namun ketika menebarkan kebencian harus dibubarkan melalui pengadilan. Ini yang menjadi PR bagaimana membawa ini ke pengandilan, dalam konteks saat ini yang paling tepat tindak pelakunya dengan KUHP, kedepan kita harus revisi dan mengkji UU perkumpulan sehingga bisa seret pelaku,“ tutup Eryanto.
Sumber : KBR68H