Refleksi Efektivitas UU TPKS: Kurang Implementasi dan Penuh Evaluasi

Nasional

Satu tahun setengah semenjak pengesahan UU TPKS, LBH APIK melakukan siaran pers untuk mengevaluasi pemberlakuan UU tersebut.

Aspirasionline.com — Setelah diresmikan pada 9 Mei 2022 silam, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seharusnya sudah berhasil diaplikasikan secara maksimal oleh pihak pemerintah. 

Namun, fakta lapangan yang masih menunjukkan hasil sebaliknya membuat Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) bersama Forum Pengada Layanan (FPL) menginisiasi konferensi pers bertajuk, “Korban Belum Terlindungi, Segera Susun Peraturan Implementasi UU TPKS!” pada Kamis, (23/11) lalu di Kafe Diskusi Kopi, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. 

Dalam berjalannya kegiatan, konferensi ini dipandu oleh Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK Dian Novita serta diisi oleh beberapa pembicara lain, yaitu Rina Prasarani dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Lilis Sumila dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Wawan dari Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), dan Zumar dari FPL. 

Maksud serta tujuan dari pengadaan konferensi pers ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membuka kembali mata publik perihal pengejawantahan UU TPKS yang masih jauh dari kata maksimal, masih jamak penyelewengan yang terjadi sehingga membuat hak keadilan dari korban kekerasan seksual belum terpenuhi.

Diskriminasi Korban Kekerasan Seksual Masih Terjadi

Lazim adanya bagi setiap korban untuk mendapatkan keadilan dari tindak kekerasan seksual yang menimpanya, terlebih dengan telah sahnya UU TPKS yang secara gamblang menaungi permasalahan tersebut. Maka, kejanggalan dapat dikatakan terjadi bilamana korban yang melaporkan kasus tersebut malah mendapat sikap diskriminatif ketika melapor.

Wawan kerap menemukan kasus ini terjadi di kalangan teman-teman pekerja seks ketika memberikan pendampingan untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual yang menimpa mereka. Bukannya mendapatkan bantuan dari kasus kekerasan tersebut, respon yang didapatkan malah berbanding terbalik dari apa yang diharapkan.

“Ada diskriminasi yang memang sering kami dapatkan, jadi pada saat kami melakukan pendampingan untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami oleh teman-teman pekerja seks,” papar Wawan secara daring melalui Zoom Meeting pada Kamis, (23/11).

Bukannya memberikan advokasi untuk korban, mereka malah bertanya terkait pekerjaan yang mereka lakoni, lalu kemudian mewajarkan jika mereka memang mendapatkan perlakuan kekerasan seksual seperti itu.

Hal yang cukup serupa turut disampaikan oleh Lilis terkait sistem Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang belum memiliki mekanisme pengaturan komplain terhadap sikap diskriminatif kepada korban yang terjadi di dalam lingkungan UPTD PPA itu sendiri.

Lilis mengaku cukup menyayangkan hal tersebut. Padahal, apabila pihak UPTD mampu memfasilitasi hal ini dengan baik, maka banyak korban pelaku kekerasan seksual akan berani untuk memberikan laporannya.

“Saya sih yakin perempuan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan berani mengadu ke UPTD,” tegas Lilis.

Sebagai anggota dari organisasi yang berfokus pada isu kekerasan pada perempuan pengidap HIV, dirinya menegaskan bahwa terdapat ketakutan yang dimiliki korban akan terjadinya sikap diskriminatif dari pihak pemangku kebijakan. Bukan tanpa alasan, para pengidap HIV kerap kali mendapatkan pandangan miring dari masyarakat sehingga keraguan tersebut wajar adanya.

Melihat hal tersebut, Lilis menuntut bahwasannya tidak cukup hanya perlindungan keamanan identitas saja, tapi diperlukan juga kerahasiaan kesehatan korban sehingga tidak ada lagi korban yang merasa malu untuk melaporkan kasus tindak kekerasan seksual yang menimpanya.

“Ketika kita lapor atau korban justru mendapatkan diskriminasi atau tidak dilayani dengan semestinya, kita bisa mengadu atau komplain,” tuturnya menjelaskan. 

Pentingnya Penekanan UU TPKS sebagai Payung Hukum

Meskipun sudah hampir dua tahun disahkan menjadi undang-undang, kenyataannya UU TPKS ini belum mampu mengakomodir bantuan hukum bagi para korban kasus kekerasan seksual yang melaporkan tuntutan untuk penanganan kasus tersebut.

Bersumber dari siaran pers FPL, masih banyak Aparat Penegak Hukum (APH) yang masih belum memahami substansi dari UU TPKS ini. Karenanya bagi mereka, ketidakberpihakan APH pada korban bisa terjadi karena kegagalan pemahaman mereka terhadap substansi dari UU TPKS yang seharusnya sudah berlaku.

Zumar selaku salah seorang anggota dari FPL juga membenarkan adanya siaran pers tersebut. Menurutnya memang banyak APH yang belum menggunakan UU TPKS sebagai sebuah acuan hukum utama.

“Undang-Undang TPKS pasca disahkan tahun 2022 kemarin ‘kan ternyata tidak membuat persoalan atau kasus kekerasan seksual menjadi prioritas. Justru makin banyak pengaduan, tapi kemudian tidak dibarengi dengan pelaksanaan dari Undang-undang itu sendiri,” jelasnya.

Pun cerita seperti ini turut dialami Wawan ketika melakukan pendampingan kepada korban kekerasan seksual. Menurutnya, sosialisasi UU TPKS belum merata sehingga masih ada saja APH yang belum paham betul dengan Undang-undang satu ini. 

Bahkan, di beberapa kepolisian atau di antara penegak hukum itu belum semuanya memahami bahwa Undang- undang TPKS ini sudah bisa digunakan,” ucap Wawan. 

Perasaan akan kurangnya implementasi UU TPKS sebagai payung hukum juga dirasakan oleh kawan-kawan disabilitas. Rina Prasani dalam akhir sesi penyampaiannya secara tersirat mengungkapkan tuntutannya untuk UU TPKS ini betul-betul digunakan sebagaimana mestinya. 

“Kami dari HWDI masih menganggap bahwa korban perempuan dengan disabilitas masih belum terlindungi dan kami ingin agar Undang-undang TPKS ini benar benar diterapkan,” tutupnya.

 

Foto: Abdul Hamid.

Reporter: Abdul Hamid. | Editor: Nayla Shabrina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *