Mengenal Karhutla yang Kerap Datang Kala Kemarau Ekstrim
Kebakaran hutan masih terjadi hingga saat ini akibat faktor alam atau manusia, bahkan berdampak kepada munculnya kabut asap yang bisa menjadi ancaman. Modifikasi cuaca menjadi salah satu opsi untuk upaya pemadaman kebakaran dan lahan yang ada.
Aspirasionline.com ー Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menjadi permasalahan yang serius hingga saat ini. Kebakaran yang terjadi di satu titik pada merembet ke titik lain yang mengakibatkan meluasnya kebakaran.
Faktor alam dan manusia sebenarnya menjadi pemicu kebakaran. Musim kemarau ekstrim juga menjadi salah satu pemicu, apalagi dengan adanya El Nino.
El Nino merupakan sebuah istilah dimana terjadi interaksi rumit antara laut dan atmosfer sehingga berdampak terhadap pola cuaca, ekosistem, bahkan ekonomi. Hal ini diungkapkan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Kapus Meteorologi Publik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Andri Ramdani. Berdasarkan penuturannya, kebakaran merupakan dampak dari musim kemarau dan diperkuat dengan adanya El Nino.
“Kalau kebakaran itu salah satu dampak ya, kebakaran hutan ya. Salah satu dampak itulah musim kemarau atau kekeringan yang diperkuat adanya El Nino. El Nino itu kan bisa memperkuat tingkat kekeringan ya sehingga hari tanpa hujan jadi lebih panjang,” ujar Plt. Kapus Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdani via Telepon kepada ASPIRASI, Selasa (12/9).
Lanjut, Andri mengungkapkan bahwa El Nino yang terjadi saat ini merupakan salah satu pemicu karhutla di beberapa wilayah di Indonesia. Dengan terjadinya El Nino, potensi hujan akan menjadi kecil bahkan tidak ada hujan, lalu adanya musim kemarau yang ditandai adanya muson timur dari Australia.
“Potensinya itu sangat (kecil), ibaratnya tidak ada potensi lah ya. Itu sangat sulit berbentuk awal hujan. Karena apa? Saat ini kan sudah musim kemarau, sudah pasti itu musim kemarau itu ditandai oleh muson Australia atau angin timuran untuk membawa udara kering dari Australia,” jelas Andri ke ASPIRASI, Selasa (12/9).
Andri menjelaskan bahwa lapisan atmosfer udara Indonesia pada umumnya kering. Kondisi kering ini lah yang membuat bentukan terhadap awal hujan sangat lah sulit. Belum lagi, kondisi ini akan diprekdisikan hingga Oktober di mana Oktober kita mulai akan mendapat dampak kemarau.
“Ada dua kekeringan dari supply air. Yang kedua juga tadi ada potensi bencana, kebakaran hutan. Terutama di wilayah atau provinsi tertentu didominasi oleh lahan gambut dan sebagainya,” tutur Andri menjelaskan.
Modifikasi Cuaca Menjadi Salah Satu Opsi Upaya Mengatasi Karhutla di Tengah Kemarau
Modifikasi cuaca merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan intensitas curah hujan. Dalam kondisi kebakaran hutan dan cuaca panas yang ekstrim, modifikasi cuaca dapat diandalkan untuk membantu upaya pemadaman.
Akan tetapi, upaya modifikasi cuaca bisa dilakukan ketika terdapat awan hujan yang bisa menjadi pemicu turunnya hujan. Dalam upaya memodifikasi cuaca ini, tentu diperlukan syarat tertentu, yaitu harus adanya potensi hujan. Potensi ini akan terus dipantau BMKG untuk melakukan modifikasi cuaca.
“Modifikasi cuaca itu adalah men-trigger atau pemicu terjadinya hujan. Oh, di sini ada syarat juga, yaitu harus ada potensi hujan. Kami di BMKG terus memantau hari ke depan. Seperti apa potensinya? Kita ada potensi untuk hujan atau tidak?” lugas Andri.
Sehingga, ketika awan hujan tidak ditemukan, maka akan terdapat masalah dalam upaya modifikasi cuaca. Kendala ini menjadi hal khusus yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, upaya modifikasi cuaca ini banyak bergantung pada potensi pertumbuhan awal hujan di wilayah target.
“Modifikasi cuaca saya sampaikan, itu tergantung adanya potensi pertumbuhan awal hujan di wilayah target,” ungkapnya.
Dari Karhutla Merembet ke Masalah Turunan Lainnya
Karhutla tidak bisa dianggap remeh begitu saja karena masalah ini dapat memicu masalah turunan lain seperti kabut asap. Kabut asap bahkan dapat menjadi ancaman bagi masyarakat. Andri menjelaskan bahwa dari sekian potensi masalah turunan lain karhutla, kabut asap menjadi masalah paling besar yang dihadapi.
“Kalau sudah parah, (dampaknya adalah) kabut asap. Dan apabila itu dibiarkan, apabila itu mendekat ke wilayah pemukiman, makin berbahaya lagi, bisa memakan korban jiwa,” ungkap Andri.
Selain memakan korban jiwa pada area terjadinya kebakaran hutan dan lahan, kabut asap ini bahkan juga bisa merembet ke negara-negara tetangga jika tidak ditanggulangi dengan baik.
Kondisi seperti ini pernah terjadi beberapa tahun silam ketika kebakaran hutan di Riau menimbulkan kabut asap yang sangat pekat. Kabut asap ini bahkan mencapai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
“Kalau kita tidak tanggulangi, bisa ke negara-negara tetangga, misalnya ke Malaysia, Singapura, dan sebagainya,” jelas Andri.
Dengan timbulnya masalah ini, maka kabut asap yang ditimbulkan dari adanya karhutla bisa tidak menjadi sekadar permasalahan nasional, tapi bahkan merembet menjadi permasalahan reginonal kawasan, bahkan hingga global.
“Jadi isunya (menjadi) regional, internasional. Tidak hanya nasional, kok,” tegas Andri menutup sesi wawancara hari itu bersama ASPIRASI, Selasa (12/9).
Foto: cnnindonesia.com
Reporter: Rifqy Alief. | Editor: Alfianti Putri.