Kala Penistaan Agama Lebih Disorot dibanding Pelecehan Seksual
Alih-alih fokus pada konten yang menormalisasi pelecehan seksual, publik lebih fokus kepada Oklin yang dianggap menista agama.
Aspirasionline.com — Pengguna media sosial dihebohkan dengan konten tidak senonoh yang dipublikasikan dalam media sosial oleh seorang content creator berhijab bernama Oklin Fia. Konten yang diposting oleh Oklin Fia merupakan konten seorang wanita berhijab menjilat es krim yang diposisikan berada di tengah kelamin seorang pria.
Dalam media sosialnya, Oklin kerap mengunggah foto atau video menggunakan hijab, tetapi dibarengi dengan menggunakan pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Konten jilat es krim tersebut menyita banyak perhatian masyarakat. Publik menggap bahwa konten tersebut merupakan konten yang menistakan hijab.
Sebelum konten jilat es krim ini viral, Oklin pernah menjadi buah bibir pengguna sosial media khususnya Tiktok karena kontennya yang dianggap sebagai konten yang tidak etis, yaitu penggunaan jilbab yang tidak sepatutnya dibarengi dengan pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Diperburuk dengan postingan konten jilat es krim, publik dibuat makin geram.
Dianggap sebagai penghinaan terhadap hijab dan dianggap menista agama, Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) melaporkan hal tersebut ke Polda Metro Jaya. Laporan didasari dengan dugaan pelanggaran Pasal 27 ayat 1 Jo Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dilansir dari detik.com, merespon isu yang ada, Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum Ikhsan Abdullah menyatakan bahwa isu tersebut tidak memenuhi unsur penistaan agama yang ada, ia menyatakan bahwa hal tersebut lebih kepada persoalan akhlak, etika dan moral.
Semua Bisa Jadi Korban Pelecehan Seksual
Dalam kasus ini, nampaknya alih-alih fokus kepada isu pelecehan terhadap laki-laki, publik lebih fokus kepada anggapan bahwa Oklin telah menista penggunaan hijab, padahal dengan mengenakan hijab ataupun tidak, konten Oklin dapat menjadi suatu normalisasi terhadap terjadinya pelecehan namun, hal tersebut tampaknya luput dari perhatian publik.
Adanya komentar yang menyatakan bahwa lebih baik Oklin melepas hijabnya bila akan membuat gaya konten yang seperti ini, seakan-akan mendukung normalisasi terjadinya pelecehan.
Seakan-akan, bila Oklin tidak menggunakan hijab dan membuat konten yang sama, publik akan memaklumi hal tersebut. Padahal, inti tindakannya masih merupakan suatu pelecehan terhadap laki-laki.
Semua objek pelecehan seksual, baik wanita maupun laki-laki memerlukan perhatian yang sama. Semua objek yang menjadi korban pelecehan seksual perlu dibela oleh publik, seharusnya publik, tidak boleh timpang dalam membela korban pelecehan seksual.
Ekspektasi dalam masyarakat masih menganggap bahwa pelecehan seksual terhadap laki-laki masih terbilang minim. Padahal walaupun minim, pelecehan seksual tersebut tetap dapat terjadi pada laki-laki.
Faktanya pada 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data bahwa korban pelecehan seksual didominasi oleh anak laki-laki daripada perempuan, 60 persen korban kekerasan seksual adalah laki-laki dan 40 persennya adalah anak perempuan.
Dari kasus Oklin, tampak masyarakat yang masih patriarkis terhadap korban pelecehan seksual, kerentanan laki-laki sebagai korban pelecehan seksual masih dianggap sebagai hal sepele.
Hal patriarkis semacam itu tentunya sangat merugikan, terutama pada korban pelecehan seksual laki-laki, saat melaporkan kasusnya korban bisa merasakan tidak tervalidasi, perasaan takut untuk disalahkan hingga malu karena menjadi korban pelecehan seksual.
Baik laki-laki atau perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual perlu mendapatkan respon yang sama baiknya, semua bentuk pelecehan seksual tidak dapat dinormalisasi baik terjadi pada laki-laki maupun perempuan, baik yang menggunakan hijab atau tidak.
Ilustrasi: ASPIRASI/Daffa Almaas.
Penulis: Anita Ambar, mahasiswi semester 5 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPNVJ.