Willow Project: Dilema Politik Amerika, Ekonomi, dan Environmentalisme

Forum Akademika

Proyek pengeboran minyak “Willow Project” menimbulkan polemik atas isu ketahanan ekonomi Amerika dengan dampak kerusakan lingkungan yang menimbulkan tuntutan pencabutan izin atas pengeboran minyak di Alaska.

Aspirasionline.com — Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden belakangan ini santer diperbincangkan. Presiden ke-46 AS itu pada akhirnya memberikan izin terhadap proyek pengeboran minyak secara masif di Alaska pada 13 Maret 2023 lalu.

Proyek pengeboran minyak ini diinisiasikan oleh ConocoPhillips, perusahaan pengeboran minyak asal AS. Dalam laman resminya, ConocoPhillips mengklaim bahwa mereka telah bertanggung jawab terhadap eksplorasi energi di Alaska selama lebih dari 50 tahun.

Willow Project, begitu lah nama proyek pengeboran minyak ini diperkenalkan oleh ConocoPhillips kepada publik. Melalui proyek ini, ConocoPhillips mengaku jika mereka bisa menghasilkan sebanyak 180.000 barel minyak per hari ketika mencapai puncaknya.

Dosen Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Raden Maisa Yudono menjelaskan bahwa Willow Project merupakan salah satu cara yang AS gunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas (migas) lantaran perubahan politik internasional.

“Istilahnya gini, perubahan politik internasional membuat dia juga akhirnya harus mengeksplorasi potensi migas di Amerika Serikat sendiri,” ujar Maisa kepada ASPIRASI pada Jumat, (14/4).

Maisa juga menambahkan jika sejatinya, Alaska sendiri sudah menjadi “tabungan migas” AS sejak lama. Oleh karena itu, proyek ini ada untuk mengeksplorasi tabungan investasi tersebut seusai disetujui oleh Joe Biden pada 13 Maret 2023.

Keputusan Biden tentu saja melahirkan berbagai kontroversi, terutama dari para aktivis lingkungan. Selain itu, pertarungan politik domestik antara Partai Republikan dan Partai Demokrat dalam mengelola energi juga bisa timbul. 

“Jadi, kontroversi kan itu di lingkungan hidup, tapi juga memang dibutuhkan. Dan juga ada perubahan dari politik domestik sehingga membuat dimensinya lebih berlapis,” ungkapnya.

Polemik Lingkungan Hidup dan Politik Domestik Amerika

Beragam reaksi datang dari masyarakat Amerika Serikat dalam menanggapi perizinan Willow Project. Sebagian besar warga Amerika, khususnya pemilih muda, merasa kecewa serta menyayangkan keputusan yang Biden ambil dalam menyetujui perizinan The Willow Project.

Menurut Maisa, penolakan tersebut tidak lepas dari bagaimana Biden yang berkomitmen kepada dunia jika ia akan menurunkan emisi gas di Amerika. Biden yang pada awalnya memprioritaskan perubahan iklim serta transisi menuju energi bersih, justru bertindak kontradiktif melalui persetujuan izin Willow Project.

Tindakan kontradiktif Biden itu, Maisa yakini terjadi karena dalam praktiknya, ada hal yang tidak dunia internasional pahami mengenai polemik yang terjadi di Amerika.

“Jadi, Amerika itu kembali lagi ke kebijakan negara federal. Itu belum tentu disetujui sama negara state atau negara bagian. Nah, negara bagian kayak Alaska, berprinsip itu masih haknya untuk mengeksplorasi migas,” tutur Maisa.

Dalam artikel yang diterbitkan New York Times disebutkan bahwa banyak pemilih muda yang mengancam untuk tetap tinggal di rumah saat pemilu 2024 sebagai aksi protes terhadap Biden. 

Namun, Maisa menjelaskan sudah sejak lama banyak orang yang tahu jika dalam upaya menekan pemerintah, hal itu tidak bisa dilakukan hanya dari negara federal saja, tetapi juga negara bagian. Belum lagi, Biden masih memiliki posisi yang kuat sehingga segala protes tersebut belum tentu dapat mengubah basis pendukungnya.

“Apakah basis pendukungnya akan berubah? Enggak. Masih tetap akan didukung. Dia masih kuat. Cuma yang jadi permasalahan dari kelompok pendukung kayak environmentalism dan orang Demokrat adalah, setelah Biden siapa lagi yang akan melanjutkan kebijakan clean energy ini?” jelas Maisa.

Maisa menilai terjadi dilema antara isu ekonomi dan environmentalism yang kurang diperhatikan kaum muda. Dilema terkait isu ekonomi yang dihadapi pemerintahan Biden adalah terkait dengan inflasi yang mempengaruhi kenaikan harga energi. Jika tekanan datang untuk menghentikan proyek ini, pemerintahan Biden perlu mencari solusi yang cermat demi kebaikan ekonomi negara.

“Yang jadi permasalahan Biden itu sampai detik ini saya belum melihat project-project dia yang signifikan menggantikan project semasif Willow Project yang di Alaska,” ujar Maisa ketika mengungkapkan tanda tanya di kepalanya.

Isu lain yang Maisa anggap tidak kalah penting ialah perihal tragedi kemanusiaan akibat kerusakan lingkungan yang dapat berdampak di Amerika bahkan secara global. Untuk di Amerika sendiri, Maisa menyebutkan perihal tragedy of commons, yaitu eksploitasi sumber daya alam yang mampu berdampak pada displacement (perpindahan) lantaran daerah yang tidak bisa ditempati lagi.

“Nah itu tragedy of commons, jadi bisa aja Alaska itu lingkungannya udah rusak, gak bisa dihidupi lagi. Orang Alaska terpaksa terjadi migrasi besar-besaran ke negara bagian lain. Nah, itu yang gak pernah ter-address ya dari Amerika. Ada sih, studinya, tapi gak pernah jadi prioritas,” ucap Maisa menyayangkan hal tersebut.

Untuk dampak secara global, Maisa memaparkan jika ada kerja sama antara negara-negara di Arktik yang berkomitmen untuk tidak melakukan eksploitasi dan eksplorasi migas di kawasan Arktik. 

Hal ini terjadi sebab kawasan Arktik merupakan tolok ukur lingkungan hidup di mana ketika temperatur dunia sedang tidak baik, maka dapat terlihat di bagian Arktik.

“Apabila Arktik itu rusak, yang secara global yang kena duluan itu adalah negara-negara besar di kawasan utara, yaitu kalau enggak Amerika, Kanada, Rusia, Eropa. Nah, semuanya itu yang akan menjadi terkena dampaknya pertama. Jadi, secara global, itu satu drilling aja nanti akan merubah lingkungan hidup di Arktik itu,” tegas Maisa.

Minyak dan Persoalan Dunia Internasional

Keputusan untuk menyetujui izin pengeboran minyak di Alaska oleh Joe Biden mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak bahkan dari dunia internasional. Pasalnya, proyek ini akan memberikan dampak yang sangat buruk bagi lingkungan hidup dan iklim dunia.

Bahkan, jika proyek ini selesai dibangun, akan menambah 9,2 juta metrik ton tambahan emisi karbon ke atmosfer setiap tahunnya. Dilansir melalui laman The Natural Resources Defense Council (NRDC), emisi ini bahkan setara dengan polusi yang dihasilkan oleh dua juta mobil bertenaga gas.

Lebih jauh, dampak kerusakan yang ditimbulkan juga mampu dirasakan negara-negara yang jauh seperti Indonesia. Dampak langsung yang ditimbulkan berupa kenaikan permukaan air laut yang mengancam negara-negara kepulauan seperti Indonesia. Secara jangka panjang, proyek pengeboran minyak ini juga dapat mempengaruhi perikanan dan perubahan ekologi.

Meski begitu, proyek ini nyatanya juga memberikan pengaruh terhadap ekonomi global. Maisa memaparkan jika proyek ini tetap dijalankan, maka Indonesia dan negara-negara lain memiliki alternatif untuk membeli migas.

Semenjak adanya perang Rusia dan Ukraina, harga minyak menjadi naik. Terlebih, Amerika tidak dapat lagi bertumpu pada kepada teluk Meksiko akibat ketahan energinya. Maka, sebagai salah satu negara eksportir, Amerika perlu mengeksplorasi dan mengeksploitas migas di Alaska untuk diekspor pada negara-negara seperti Jepang, China, atau beberapa negara lainnya dengan harga yang terjangkau.

“Itu (migas yang diekspor) akan memberikan revenue (pendapatan) kepada Amerika Serikat, otomatis menggerakkan ekonomi di luar perang,” jelas Maisa.

Sebaliknya, jika proyek ini harus ditunda, maka menurutnya Amerika harus menaikkan harga migas untuk memperoleh keuntungan dan juga menimbulkan kelangkaan akibat harga migas yang melonjak.

“Kalau pun si Willow Project ini ditunda, kita gak pernah tau akan ada intervensi apa lagi. Akan selalu ada faktor-faktor lain,” tutup Maisa.

 

Foto: www.umlconnector.com

Reporter: Natasya Oktavia. | Editor: Mahalia Taranrini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *