Kata Nenek, Ada yang Lebih Seram daripada Setan
Namaku Kasmirah, anak pertama dari empat bersaudara. Ibu sudah pergi sejak aku umur tujuh, bapak kawin lagi lantas tinggal di kampung yang jauh. Sejak Bapak pergi, nenek terpaksa menghidupi aku dan adik-adik dengan jadi buruh cuci. Hingga umurku yang ketiga belas, nenek yang semakin sakit-sakitan membuatku putus sekolah. Dengan upah yang tidak seberapa, setidaknya aku bisa menyekolahkan adik-adik dan membeli jagung untuk makan sehari-hari, menggantikan peran nenek. Pagi hingga petang mengangkut gabah demi mengais upah menghidupi keluarga.
Aku memang hanya punya ijazah SLTP. Tapi setidaknya aku punya semangat yang tinggi dan pengetahuan umum yang tak kalah jauh dari para sarjana, begitu kata nenek. Berbekal koran yang dibuang para pekerja kantor di terminal usai pulang kerja, aku jadi melek wawasan dan peka terhadap kabar berita.
Sejak umur delapan belas, aku bekerja di pabrik sepatu dari pagi hingga malam. Sebenarnya nenek kontra dengan pekerjaan baruku itu. Katanya, “Kalau pulang malam banyak gangguannya, ada yang lebih seram daripada setan, Mir!”.
Sejujurnya aku masih bingung dengan kalimat nenek, tapi dia sendiri juga tak mau menjelaskan dan biasanya memilih untuk beranjak pergi. Perdebatan pun berhenti ketika adik-adik butuh biaya sekolah dan Bude Tatik yang menagih uang kontrakkan.
Waktu itu aku bilang pada nenek, kalau ada setan bisa kubacakan ayat kursi dan kulempari kotoran ayam milik tetangga. Kalau ada harimau tidak mungkin, semua wilayah kampung telah disulap jadi pasar dan pabrik, sudah tidak ada habitat harimau disini. Lantas apa lagi yang harus nenek takutkan akan terjadi padaku selain kedua hal menakutkan tersebut?
Nenek menghela napasnya, kukira ia bersiap memberi bantahan. Tapi sejurus kemudian ia mengangguk, “Jaga diri ya, ndok,” ujarnya menasihati. Aku selalu ingat empat kata dari nenek yang ia ucapkan dengan penuh penekanan pada setiap katanya itu, seakan ia bukan menasihati, tapi sedang memberiku peringatan.
Aku tersenyum mengingat nenek dan adik-adik di rumah. Dengan nasi bungkus gratis yang kudapat dari gerombolan massa yang turun ke jalan tadi sore, aku optimis akan membuat ketiga adikku tersenyum lebar malam ini. Aku berjalan di bawah cahaya remang-remang lampu jalan. Setelah turun dari angkot, aku masih harus berjalan hingga sampai ke kontrakkan yang letaknya di pelosok kampung.
Tiga sosok bayangan yang berjarak sekitar lima meter di depanku membuatku langsung mengucapkan lantunan ayat kursi. Aku melihat sekeliling, tidak ada kotoran ayam milik tetangga, karena aku masih berada jauh dari tempat perkampungan warga. Rimbunnya pohon jagung yang siap untuk dipanen dan kelap-kelip lampu jalan yang sudah minta diganti membuat nyaliku ciut. Apalagi ketika sudah kubacakan ayat kursi, tapi ketiga mahluk itu belum juga beranjak pergi.
Jarak yang kian dekat membuatku langsung tertuju pada tubuh bagian bawah ketiga orang tersebut. “Oalah, kakinya masih menapak tanah,” gumamku, berangsur lega ketika tahu ternyata ketiga mahluk itu bukan dedemit, melainkan tiga pria berumur sekitar kepala empat.
Aku melewati mereka sambil melukiskan senyum di wajah. Bude Tatik bilang, perempuan seumurku harus sering-sering senyum, katanya lelaki tidak suka perempuan berwajah masam. Ia lantas melanjutkan dengan menyalahkanku kalau tidak ada lelaki manapun yang melirikku karena wajahku yang terbilang pas-pasan dan raut muka yang masam.
Satu dari tiga pria yang telah kulewati merangkul bahuku. Aku spontan memberikan gerakan refleks dengan menyikut lengannya. Ia dan teman-temannya tampak terkejut. Aku mengernyitkan dahi, seakan bertanya apa yang mereka inginkan.
“Sendirian aja, dek yu, mau ditemani nggak?” pria itu kembali mencoba merangkul.
“Maaf Mas, saya cuma mau pulang,” jawabku sambil menunduk dan berjalan cepat.
Aku merasakan tarikan pada tangan kananku, membuat tubuhku terbalik dan kembali menghadap ketiga pria tersebut. Tanpa babibu, salah satu di antaranya memukul kepala belakangku dengan sebuah benda tumpul hingga membuat penglihatanku gelap.
Sakit. Aku hanya ingin pulang.
Aku melihat sekeliling. Aku bukan lagi berada di jalan remang-remang di antara rimbunan pohon jagung. Aku seperti berada di bilik yang sempit dan dingin. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Setan-setan di hadapanku berseringai, mereka dibasahi peluh keringat yang membuatku jijik. Aku mengerjapkan mata lagi, seluruh pakaianku terkoyak. Bungkus nasi yang ingin kupamerkan pada adik-adik terhempas jauh ke sudut bilik. Aku mencoba menggapainya, namun sebuah kayu tumpul mendarat di pergelangan tanganku membuatku mengerang. Aku menelan ludah susah payah, rasa keram di perutku kini ditambah dengan nyeri pada tulang tangan yang kuyakini telah patah.
“Kok sudah bangun?” tanya seseorang dengan nada meledek.
Aku melihat ke sumber suara. Setan-setan di hadapanku berubah menjadi tiga orang yang kutemui di jalan pulang tadi. Aku tak sadar bahwa sedari tadi ternyata mereka bukanlah demit, melainkan manusia, sama sepertiku.
Aku mengedarkan pandangan. Pria yang tadi bertanya dengan nada mengolok bergeser. Kemudian pria berkepala plontos bergantian menjalankan aksinya atas tubuhku. Aku malu. Apa yang akan nenek katakan padaku setelahnya? Aku membayangkan nenek menahan segala amarah dan kasihan padaku sambil berkata, “Sekarang kamu tahu apa yang lebih seram daripada setan.”
Aku lagi-lagi ingat ucapan nenek. Katanya, kalau sudah miskin jangan cari masalah. Kalau ada berita orang miskin hilang, tidak ada yang peduli, tidak ada yang mau cari. Nama itu akan hilang begitu saja, tanpa peringatan, tanpa ucapan belasungkawa, tanpa karangan dan tabur bunga.
Tapi aku tidak mau hilang, aku hanya ingin pulang. Makan malam dengan adik-adik yang sudah menunggu di rumah, lalu membaca koran bekas dan mengisi teka-teki silang. Aku tidak pernah berdoa pada Tuhan untuk mengirim tiga orang biadab yang semena-mena bergerilya atas tubuhku. Aku hanya ingin pulang dan tidur tenang dalam semalam, lalu besok pagi kembali memikirkan cicilan hutang dan menangis atas kejamnya kehidupan. Aku tidak mau dibuang, aku ingin selalu dikenang.
Pria berkumis tebal mengeluarkan sebuah benda tumpul dari saku belakang celananya. Aku tahu persis apa benda itu. Pistol. Rupanya ia berasal dari kaum yang punya kuasa, karena tidak sembarang orang bisa punya barang itu. Ah, akan kuberi tahu Laras, Gendis, Sari, dan gadis-gadis lainnya supaya menyingkir dari para penguasa.
“Mau mati cepat atau mati lama?” tanyanya dengan seringai.
Aku terbayang Ibu. Dulu saat Ibu meninggal, apa malaikat juga bertanya seperti itu pada Ibu? Apa pilihan Ibu? Tapi lagi-lagi aku tersadar, Ibu orang yang baik dan mulia. Pasti saja malaikat membawa Ibu pergi dengan hati-hati.
“Bisu kamu?” si kepala plontos kembali bersuara setelah selesai dengan urusannya terhadap tubuhku. Tak kunjung menjawab, sejurus kemudian dia membenturkan kepalaku ke tegel bilik yang keras itu. Aku meringis, darah kembali keluar lewat hidung, penglihatanku buram, lidahku kaku, untuk berteriak pun aku tak sanggup. Kalau ada Bude Tatik disini, pasti dia mengeluarkan sumpah serapah seperti, “Cah gendeng! bukannya teriak malah nangis!”.
Aku menatap mereka satu persatu. Aku ingin masuk ke dalam pikiran mereka, ingin tahu apakah masih ada sisa rasa kemanusiaan pada isi kepala itu. Namun sesaat kemudian, tubuhku dibalikkan. Wajahku mencium tegel bilik yang dingin. Benda tumpul menyentuh kulitku, aku menutup mata. Tepat pada hitungan kelima, suara tembakan dan eranganku mengisi heningnya malam.
Hampa. Aku melayang di udara. Dalam bayanganku, Ibu tersenyum miris melihat gadisnya hilang nyawa begitu saja. Selanjutnya, kudengar gelak tawa. Kuyakini itu pasti bukan manusia.
Ilustrasi: Daffa Almaas.
Penulis: Daffa Almaas.