Pendanaan Menjadi Sorotan Dalam Pembangunan Ekonomi Hijau
Dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi hijau, Harian Kompas bersama Greenpeace Indonesia menyelenggarakan webinar dengan topik “Peluang Pendanaan Dalam Implementasi Ekonomi Hijau”
Aspirasionline.com – Indonesia mempunyai kekayaan energi dan sumber daya alam yang melimpah. Tentu saja hal tersebut menguntungkan sekali bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tapi, tidak dapat dipungkiri jika eksploitasi dan perusakan alam juga menjadi ancaman yang begitu besar.
Pemerintah Indonesia dan Global Green Growth Institute (GGGI) bersama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) telah melaksanakan Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia sejak tahun 2013. Program ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan demi pembangunan Indonesia yang lebih baik.
Harian Kompas bersama Greenpeace pada Selasa (5/4) menyelenggarakan seminar yang dilakukan secara daring yang bertemakan “Peluang Pendanaan dalam Implementasi Ekonomi Hijau” untuk membahas lebih dalam lagi mengenai bagaimana langkah yang tepat untuk mendorong dan memanfaatkan program Ekonomi Hijau dengan optimal.
Ekonom Senior dan Tokoh Lingkungan Hidup, Emir Salim dalam webinar tersebut menegaskan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dunia ialah peningkatan gas rumah kaca hasil dari enegeri batubara, minyak bumi, dan sebagainya, yang terbukti dapat mengancam perubahan iklim secara drastis.
Menanggapi hal tersebut, Emir seraya mengajak seluruh umat manusia untuk mengurangi penggunaan batubara dan minyak bumi sebagai energi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun juga menuntut pembangunan hijau (Green growth) yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga seluruh masyarakat dapat menghirup udara yang bersih dan segar.
“Yang mencemarkan dihapus diganti dengan yang menyehatkan alam kita,” tegas pria yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru tersebut.
Tata Mutasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia juga menjelaskan bahwa terkait pembangunan ekonomi hijau kini sedang mendapatkan momentumnya. Minyak bumi yang dulunya merupakan salah satu devisa utama untuk pembangunan bangsa, setelah beberapa tahun sekarang menjadi sumber defisit neraca yang terbesar.
“Ini memberi pelajaran bagi kita bahwa kita tidak bisa selalu bergantung pada energi fosil,” terangnya.
Lebih lanjut tentunya dalam mewujudkan pembangunan ekonomi hijau di Indonesia dibutuhkan dukungan dari pemerintah. Apalagi jika menengok realita bahwa kebijakan energi negara dalam beberapa waktu terakhir masih cenderung mendorong penggunaan energi kotor.
Dian Lestari, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral kemudian menjelaskan lebih lanjut terkait ekonomi hijau tersebut. Menurutnya, dari pihak pemerintah memang sudah ada kebijakan ke arah pembangunan ekonomi hijau. Hanya saja, masih perlu dipastikan terkait ketersediaan pembiayaan yang cukup.
“Artinya tidak menjadi menambah beban ekonomi atau anggaran dengan keinginan kita untuk mencapai ekonomi hijau tersebut,” terangnya.
Terkait ketersediaan pembiayaan, menurut Poppy Ismalina, akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. Pembiayaan tidak hanya cukup dari sisi pemerintah saja, namun dibutuhkan juga dari pihak swasta. Poppy beranggapan dana publik, terutama APBN tidak akan mencukupi sekalipun ada peralihan kebijakan subsidi dari bahan bakar fosil ke proyek hijau
“Tetapi ingat, bahwa APBN itu hanya bisa meng-cover atau menutupi 20-27% dari total pendanaan yang dibutuhkan,” ujar Poppy.
Hal tersebut kemudian dijelaskan oleh Dian telah dilakukan oleh pemerintah. Dimana dalam hal ini terkait dengan pembentukan BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup) sebagai inovatif dari financing mechanism untuk menjalin kerja sama.
“Jadi BPDLH ini yang nanti nya akan mengelola dana tersebut selain ada porsi APBN nya, ada juga di mobilized dari internasional dan swasta yang nanti nya digunakan untuk membiayai program lingkungan hidup,” jelasnya.
Hal itu kemudian coba ditimpali oleh Benedikta Atika, Impact Investment Lead dari ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Menurutnya terkait konteks pendanaan masih terdapat pula alternatif lain. Ia mencoba mencontohkan dengan modal ventura hingga private equity.
“Mereka (modal ventura dan private equity, red) juga sebenarnya sudah berorientasi ke ekonomi hijau,” paparnya kemudian.
Sebagai penutup, Tata kembali menegaskan bahwa komitmen yang dipegang sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun, masalah pendanaan masih menjadi persoalan pokok yang harus ditindaklanjuti.
“Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah program Ekonomi Hijau ini akan memadai dan apakah akan tepat waktu. Karena sejujurnya kita tidak mempunyai waktu yang banyak,” tutupnya.
Reporter: Nayla Mg., Agnes Mg. | Editor: Adhiva Windra.