Melawan Korupsi dari Segala Lini

Nasional

Para pegiat anti korupsi rentan diancam, dikriminaslisasi, dan mengalami kekersan fisik. Sebab, mereka tak hanya mampu menjadi penggerak dalam melawan korupsi, mereka juga mampu memobilisasi berbagai lapisan masyarakat untuk ikut melawannya

Aspirasionline.com — Dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, Transparency International Indonesia (TII) menyelenggarakan sebuah acara perlawanan terhadap korupsi bertajuk United Against Corruption di kantor TII, Pejaten Barat, Jakarta Selatan pada Rabu, (19/12) lalu.

Acara ini dihadiri oleh Nanang Farid Sjam selaku Direktorat Pembinaan Jaringan dan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid.

Dalam membuka diskusinya, Nanang Farid Sjam membahas bahwa sampai saat ini belum ada kejelasan terhadap penyelesaian kasus kekerasan Novel Baswedan sebagai salah satu penggiat anti korupsi. “Hari ini kalau saya enggak salah hitung, masuk ke hari 617. Tapi kami tetap optimis dan kami terus berkoordinasi dengan Amnesty International, dan dengan banyak pihak untuk tetap berupaya memperjuangkan hak-hak sebagai rakyat,” ujar Nanang. Ia mengungkapkan apa yang dialami Novel sebenarnya juga dialami oleh pegawai KPK lainnya. Bedanya, tak begitu diekspos oleh media.

Jika bicara gerakan anti korupsi, kata Nanang, tentu tak terlepas dari penegak hukum itu sendiri. “Kalau penegak hukumnya diciderai, dikriminalisasi, dan kemudian negara tidak hadir, lalu kita mau berlindung kepada siapa lagi?” kata pria berambut gondrong itu.

Senada dengan Nanang, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan bahwa telah banyak kekerasan dan ancaman yang dialami oleh pegiat anti korupsi. Selanjutnya, ia menjabarkan bentuk-bentuk kekerasan dan ancaman tersebut sesuai data yang merujuk dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

“Pertama, banyak intimidasi dan teror baik secara langsung maupun tidak langsung melalui telpon, sms, email, surat. Kedua, kriminalisasi. Biasanya digunakan delik pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan. Yang ketiga adalah kekerasan, pemukulan, penganiayaan. Keempat, kampanye kotor. Kelima, percobaan untuk penyuapan. Keenam, percobaan pembunuhan. Dan yang ketujuh, penggunaan cara-cara yang tidak rasional,” terang Usman.

Ia mengutip kasus-kasus pegiat anti korupsi yang mengalami kekerasan sebagaimana yang disebutkan di atas. “Saya kasih contoh di Riau ada Daud Hadi di Desa Sialang Godang yang sangat kritis terhadap kasus korupsi di tingkat desa. Ia berkali-kali diteror, bahkan berusaha dibunuh oleh oknum desa setempat,” ucap laki laki yang juga menjabat sebagai Dewan Pengurus TII itu.

Selain itu ada kasus Yertin Ratu yang mengalami percobaan pembunuhan berupa penikaman oleh orang orang tak dikenal (OTK) di depan Bank Sulawesi Selatan, Palopo. “Usaha pembunuhan ini persis ketika dia sedang melakukan proses korupsi,” kata Usman.

Usman mengatakan kasus-kasus ini rentan dialami para pegiat anti korupsi karena mereka menjadi satu penggerak dalam melawan korupsi. Mereka juga memobilisasi kelompok masyarakat diberbagai golongan: menengah ke atas, menengah ke bawah, kelompok kampus, intelektual, kelompok perburuhan, petani.

Agar para pegiat anti korupsi tidak mengalami kekerasan dan kriminalisasi, Usman mengatakan perlunya gerakkan dari lapisan masyarakat. “Yang perlu dikembangkan sebenarnya bukan sekadar metode-metode gerakan organisasi non pemerintah seperti ICW, tapi juga harus dikembangkan sebagai sebuah gerakan,” katanya.

Usman menilai, andalan untuk menyuarakan korupsi adalah media. Namun, menurutnya, media tak mampu menjangkau semua strata dimasyarakat. “Media dalam artian media televisi, media koran, ataupun media sosial, hampir bisa dipastikan lapisan yang menjangkau itu adalah lapisan kelas menengah, tapi belum menjangkau lapisan bawah, atau lintas kelas,” ujarnya.

Kasus-kasus korupsi besar seperti korupsi di ranah politik dan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, pada lazimnya rentan diserang, ditembak, bahkan dibunuh. Dua jenis korupsi ini lah yang menurutnya belum terbongkar tuntas, karena dalangnya merupakan orang-orang yang secara legitimasi memiliki kekuasaan.

“Kalau kalian ingat kasus Abraham Samad atau Bambang Widjojanto dikriminalisasi karena mencoba membongkar korupsi petinggi penegak hukum, begitu pula Novel Baswedan ketika ditangkap, juga tidak lama ketika KPK menetapkan petinggi penegak hukum sebagai tersangka,” ujar Usman mencontohkan.

Bagaimanapun, Usman mengatakan bahwa Indonesia telah banyak mencapai kemajuan dalam penyediaan pranata korupsi dan pelibatan masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi meski tetap saja, masih perlu pembenahan. “Tapi kita masih belum mampu membongkar korupsi yang besar. Satu, korupsi politik. Yang kedua, korupsi aparat penegak hukum,” tutupnya sore itu.

Reporter: Faisal Mg. |Editor: Syifa Aulia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *