Hujan, Kopi, dan Teh

Sastra

Hari ini turun hujan, padahal Mirna sudah susah payah mencuci baju, terpaksalah ia jemur pakaiannya itu di dalam. Mana Mirna tahu kalau hari ini akan hujan? Dari kemarin hari selalu cerah, karena itulah Mirna memutuskan untuk mencuci baju hari ini. Mirna tahu bahwa tumpukan pakaian kotor itu belum terlalu menumpuk, bahkan bisa dibilang kurang, namun dengan cara inilah Mirna bisa menenangkan dirinya selain dengan bersih-bersih atau memasak.

Hening. Mirna bukanlah orang yang asing dengan keheningan, ia justru termasuk orang yang menyukai keheningan. Namun entah sejak kapan keheningan ini malah membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah jika hal ini terus berlanjut maka dirinya akan semakin gila. Hanya ada satu hal yang bisa mengatasi ini, kopi.

Suaminya, Alfian, selalu bertanya-tanya mengapa ia sangat menyukai kopi. Menurutnya kopi itu tidak menarik dan ia tidak pernah mengerti kenapa banyak orang yang menyukai sebuah minuman yang terbuat dari biji-bijian.

“Alfian, kamu tidak lihat dirimu sendiri? Kamu sendiri penggila minuman yang terbuat dari daun mati,” ujar Mirna yang kesal karena minuman favoritnya dihina.

“Teh itu memang minuman yang terbuat dari dedaunan, tapi dia punya cita rasanya sendiri,” jawab Alfian.

Mirna memutuskan untuk tidak menghiraukan pendapat kekanak-kanakkan suaminya itu. Dulu mungkin Mirna akan kesal kalau Alfian memulai perdebatan kekanak-kanakkan ini, tapi sekarang Mirna rela membayar berapapun demi bisa merasakan hal seperti ini lagi dengan Alfian.

Lamunan Mirna terhenti ketika ketel air berbunyi, menandakan bahwa air sudah matang. Mirna segera beranjak dari duduknya dan pergi menuangkan air panas ke dalam cangkir hadiah dari Alfian di ulang tahunnya yang ke-25. Ini merupakan kebiasaan Mirna ketika dirinya sedang banyak pikiran, membuat secangkir kopi dan duduk menikmatinya, sebuah kebiasaan yang akhirnya sering ditiru Alfian.

Entah sejak kapan mereka berdua suka duduk berdua menikmati teh dan kopi, mengobrol tentang ekonomi, politik, dan apa saja yang muncul dalam pikiran mereka. Tapi sekarang Mirna hanya sendiri, dan tidak ada teh yang sekiranya dapat menggantikan kehadiran Alfian.

Sekarang Mirna hanya duduk sendiri di meja makan kecil milik mereka. Tidak ada Alfian yang duduk menemaninya dengan secangkir teh kesukaannya, tidak ada lagi gelak tawa dan candaan khas lelaki itu, Mirna sekarang hanya sendirian.

Mirna tahu bahwa dirinya tidak boleh egois, bahwa di luar sana ada banyak orang yang membutuhkan bantuan suaminya, berkali-kali keluarganya mengatakan hal yang serupa, bahwa yang bisa dia lakukan hanyalah mendukung dan mendoakan keselamatan suaminya.

Tapi apa mereka mengerti perasaan Mirna? Bagaimana perasaannya ketika Alfian ditempatkan di garis depan sebagai petugas medis yang menangani pasien virus corona.

Mirna menyesap kopinya lagi, berusaha menahan air mata yang akan keluar tiap kali dirinya memikirkan tentang Alfian. Berusaha meyakinkan diri bahwa suaminya akan baik-baik saja, bahwa suaminya sedang melaksanakan tugas mulia, bahwa dirinya mendukung penuh keputusan suaminya untuk pergi ke garis depan.

Tapi Mirna bukanlah pembohong yang baik dan semua orang tahu itu. Air mata yang sedari tadi ia tahan kini mengalir tak tertahankan.

Mirna meletakkan mug-nya, tiba-tiba tak berselera. Ia ingin teh, ia ingin minum minuman yang tidak ia sukai itu, ia ingin minum minuman yang terbuat dari daun mati itu. Karena hanya dengan teh lah ia bisa sedikit merasakan kehadiran Alfian. Namun tak ada teh lagi di dapur, semua sudah habis diminum Mirna tak lama setelah Alfian pergi.

Berbagai cara telah Mirna lakukan untuk mengalihkan pikirannya dari Alfian untuk sementara, mulai dari menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah, mengurus bantuan yang nantinya akan disumbangkan ke rumah sakit, dan berbagai hal lainnya.

Namun semua hal itu sia-sia. Kesunyian yang dulu ia nikmati kini terasa menyesakkan, ia benci menunggu dalam ketidakpastian seperti ini. Awalnya ia memang yakin semuanya akan baik-baik saja, namun dengan banyaknya korban yang terus berjatuhan, kepercayaan diri Mirna mulai goyah.

Namun Mirna tahu bahwa dia tidak bisa apa-apa, dia bukan orang yang ahli dalam bidang medis. Yang bisa dia lakukan hanyalah mendukung suaminya dari jauh. Dengan pikiran seperti itu, Mirna kembali menyesap kopinya.

Hujan masih terus turun hari itu. Mirna menikmati kopinya dalam sunyi, merindukan kehadiran Alfian dan teh kesukaan suaminya itu.

Foto: Google

Penulis: Biancha Mg.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *