Post-Truth di era digital semakin memengaruhi media dan mendorong pemilih muda mengambil keputusan politik berdasarkan emosi, bukan fakta, dan meningkatkan risiko misinformasi dan apatisme politik.
Aspirasionline.com – Istilah Post-Truth semakin sering terdengar, terutama di era digital yang kian terhubung dengan teknologi informasi.
Salah seorang dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), Ratu Nadya Wahyuningratna, menjelaskan bahwa Post-Truth adalah situasi dimana sebuah berita yang tidak benar menjadi benar setelah di konsumsi masyarakat.
“Sebuah berita yang sebenarnya itu tidak benar, tapi saat dikonsumsi oleh masyarakat dan pihak pihak tertentu menjadi seolah olah itu adalah sesuatu yang benar karena terbawa emosi,” jelas Ratu saat diwawancarai ASPIRASI pada Jumat, (6/9).
Sejalan dengan Ratu, dosen Ilmu Komunikasi UPNVJ lainnya, Rut Rismanta Silalahi, menjelaskan bahwa istilah Post-Truth pertama kali muncul pada tahun 1992 dalam sebuah artikel berjudul A Government of Lies oleh Steve Tesich.
Istilah Post-Truth kemudian kembali dipopulerkan pada tahun 2016 oleh Oxford English Dictionary sebagai Word of the Year, yang mendefinisikan Post-Truth sebagai kondisi di mana fakta objektif kalah pengaruh dari emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini publik.
“Dia (Tesich) bilang masyarakat Amerika mulai menghindari kebenaran, karena kebenaran dianggap sebagai berita buruk dan masyarakat Amerika udah gak mau berita buruk lagi. Jadi mereka justru berharap pemerintah dapat melindungi mereka dari pahitnya kebenaran,” jelas Rut kepada ASPIRASI pada Jumat, (20/9).
Lebih lanjut, menurut Rut, situasi Post-Truth ini bukan sekadar soal kebohongan tetapi menggambarkan era dimana perbedaan antara kebenaran dan kebohongan menjadi tidak relevan.
“Bukan masalah bohong dan enggak bohong, sekarang masalahnya adalah siapa yang kemudian bisa kuat-kuatan untuk menciptakan truth (kebenaran) nya sendiri yang buat dipercayain sama orang,” ujar Rut.
Pengaruh Post-Truth Terhadap Media dan Politik di Era Digital
Post-Truth memiliki dampak yang sangat signifikan, terutama dalam ranah media dan politik, di mana pembentukan opini publik lebih dipengaruhi oleh narasi yang menonjolkan emosi daripada fakta.
Menurut Rut, fenomena Post-Truth menempatkan media dalam situasi yang rumit dan kompleks. Hal ini terjadi karena di era Post-Truth, informasi yang beredar sering kali tidak lagi dinilai berdasarkan kebenarannya, melainkan dari seberapa kuat informasi tersebut dapat menggugah opini publik.
“Media itu punya kekuasaan dan kekuatan serta efek yang sangat dahsyat buat publik gitu ya, dalam membentuk bahkan memanipulasi opini publik,” ungkap Rut.
Riset yang dikutip oleh Rut menegaskan bahwa misinformasi sering kali menyebar lebih cepat daripada klarifikasi atau informasi kebenarannya, mengakibatkan informasi yang keliru tertanam lebih dalam di benak publik.
Sementara itu, Ratu berpendapat bahwa media di era Post-Truth berpotensi memicu perang digital antara pihak-pihak dengan pandangan politik yang bertentangan.
Di masa ini, media seringkali lebih mengutamakan berita yang sensasional dan sarat emosi demi menarik perhatian khalayak luas.
“Mereka (media) mulai mementingkan berita yang sifatnya sensasional, berita yang penuh gebrakan, yang bahkan bukan berita-berita yang sebetulnya penting buat kepentingan publik,” jelas Rut.
Kendati demikian, dengan menghadapi fenomena Post-Truth, media dituntut untuk berpegang teguh pada kode etik jurnalistik agar dapat terus dipercaya oleh masyarakat.
“Wartawan atau media harus menguji informasi, memberitakan secara berimbang, enggak mencampurkan fakta dan opini, enggak bikin berita bohong, enggak fitnah,” tukas Rut.
Menyoal Post-Truth Terhadap Pengambilan Keputusan politik pemilih muda
Generasi muda, yang dikenal sebagai digital native atau generasi yang tumbuh di era kemajuan teknologi dan informasi yang pesat, kerap kali menjadi lebih rentan terhadap hoaks dan misinformasi.
Rut juga menguraikan pandangan psikologis terkait fenomena Post-Truth melalui konsep cognitive miser, yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk memilih pola pikir yang lebih efisien dan meminimalkan penggunaan energi mental.
“Secara psikologis, pada dasarnya kita tidak selalu bisa berpikir secara objektif, dan kita memang tidak nyaman untuk memperoleh informasi yang bertentangan atau kontradiktif sama apa yang sudah kita yakini,” ungkap Rut.
Ketika pemilih muda tidak terampil dalam mengevaluasi kebenaran sebuah informasi, keputusan yang mereka buat dalam hal politik sering kali tidak berdasar pada pemahaman yang objektif.
Bahkan, hoaks yang beredar kerap kali mengarahkan mereka pada opini yang tidak akurat terhadap kandidat atau isu politik tertentu. Hal ini menyebabkan kecenderungan apatis, di mana mereka memilih untuk tidak terlibat dalam politik karena merasa bingung atau sinis terhadap informasi yang ada.
“Saking bingung banyaknya (informasi), jadi ‘aduh pening deh, mana yang mau dipercaya, enggak tahu’ akhirnya bisa apatis juga ujung-ujungnya. Jadi muncul rasa sinisme terus enggak percaya, sehingga ya sudahlah, enggak mau terlibat dalam aktivitas politik,” pungkas Rut.
Di sisi lain, Ratu menyatakan pengambilan keputusan politik juga berpengaruh melalui popularitas figur publik yang sebaya dengan generasi muda, sehingga menambah kepercayaan generasi muda terhadap informasi yang mereka terima di media sosial.
“Apalagi dengan influencer-nya juga dicari yang seumuran kalian nih jadi, seolah-olah kayak itu tuh terdengar benar gitu, padahal sebenarnya enggak, belum tentu kan gitu,” jelas Ratu.
Reporter : Tia | Editor: Rara Siti
Ilustrasi : ASPIRASI/Tia