Bungkam atau mati.
Sesaat aku menghirup udara, menatap pantulan tubuhku pada cermin beruap. Aku basahi rambutku hingga basah kuyup, kutenggelamkan kepalaku pada genangan air yang kubuat di dalam wastafel, jeritanku terbatas, bersamaan dengan buih-buih yang mengatup pada permukaan. Jiwaku hampir memegang kuasa jika aku tidak melampiaskannya pada kaca tak bersalah. Refleksiku terpecah berai karena retakan.
Lampu hangat menerangi meja yang biasa kududuki pada jam malam, mencoba untuk menutup indera. Tidak seperti biasanya aku duduk pada siang hari terik dan mengurung diri dalam kegelapan ruang. Jari-jariku yang terluka menggulir dengan lincah pada layar laptop yang kuredupkan, memprediksi apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan. Tiga hari sudah sejak buletinku berada pada peringkat satu di website nasional.
”Jangan sendirian, Janu,” ungkap atasanku sepuluh menit yang lalu lewat sambungan telepon.
Ponselku tidak kunjung berhenti berdering setiap detik aku memijak keramik di indekosku, bahkan setelah atasanku selesai menelepon. Aku menjawab salah satu telepon lagi sembari menahan amarah. Suaranya masih sama, kalimatnya masih sama. Sumpah serampah kupekikkan dalam hati sebelum dengan berani kumatikan teleponnya secara sepihak, kemudian kuhempaskan ponselku pada dinding, seolah tak memiliki nilai.
Bohong kalau aku tidak kalut. Gertakan-gertakan itu terus datang, membuatku secara impulsif mengendarai sepeda motor melebihi kecepatan minimum. Aku tidak mau bersembunyi lagi. Dalam kemacetan yang melanda, netraku tak lepas dari baliho-baliho yang berdiri dengan kokoh ditengah hiruk-pikuk kota, kulihat mereka sebagai antek-antek dusta.
Tanda merah beralih menjadi kuning, kemudian bertukar dengan hijau. Aku tahu semua hal yang tidak semua orang tahu, aku tahu seluruh rahasia sejagat raya yang disembunyikan dengan muslihat, aku tahu kebejatan dibalik kodak-kodak terpuji para raja. Aku berapi-api, wajah-wajah mereka begitu lugu dan naif, tidak mungkin kusembunyikaan sebuah kebenaran seorang diri. Kupastikan seluruh dunia harus tahu.
Dua jam yang lalu aku mengendarai sepeda motor seperti kesetanan, melarikan diri dari tempat persembunyian, sehingga mereka berhasil menangkapku.
Sejak dulu aku tidak suka ruang hampa dan dinding kedap suara ini. Para algojo yang bertengger di kedua sisiku pun hampir tidak berkedip. Aku dihujani seribu satu pertanyaan tajam disertai dengan desakan, tetapi seribu satu kali juga aku mengatakan bahwa aku tidak akan menghapus tulisanku. Pria berseragam dengan kumis tipis dihadapanku beringsut keluar ruangan. Aku lihat dia menerima sebuah telepon darurat. ”Halo, Pak.” kudengar ucapannya sedetik sebelum pintu ruangan tertutup.
Aku melirik ke sudut langit-langit ruangan, ada banyak kamera peloncong di sana yang memerhatikanku. Ah, aku jadi malu. Entah perasaan apa yang tiba-tiba berlabuh padaku, sekilat euphoria mengalir dalam darahku. Aku terkekeh dalam diam. Mungkin pion-pion di balik dinding ruangan saling bertatap, jurnalis gila. Pikiranku terbang ke antah berantah sebelum jatuh dalam kegelapan dunia yang tiada duanya.
Telingaku menangkap senandung lembut yang dipadu dengan ketukan jari membahana. Sayup-sayup aku membuka mata, mengernyitkan dahi dan langsung berhadapan dengan meja kayu jenjang yang sepertinya menjadi ornamen dominan dalam ruangan ini. Sorot lampu hanya membidik padaku, tetapi aku bisa langsung tahu, ketika singgasana di ujung meja itu berputar ke arahku, dia lah induk bala dari seluruh ancaman yang tertuju padaku.
”Sudah saya hapus.”
Ragaku sepintas bergetar, menatapnya tajam dari jarak jauh dalam gulita.
Tik, tok.
Tik, tok.
Tik, tok.
”Mau siapa dulu, Janu? Saya atau kamu?” dia terkekeh karena aku tidak membalas perkataannya. Aku melihat bayangan perawakannya mendekat ke arahku dengan perlahan. Kupastikan intensitas jantungku meningkat hanya karena mendengar suara sol sepatunya yang menggema. Dalam sekali rengkuh ia tarik isolasi yang menutup mulutku. Perih sekali.
Tubuhnya merendah, wajahnya kami saling berhadapan dengan jarak yang dekat, dia mentapku dengan panas.
”Kenapa kamu menulis soal itu tentang saya?” ada penekanan di setiap kata yang dituturkannya. Dia tarik daguku dengan satu tangannnya sampai-sampai kedua pipiku menjadi lebih tembam. Masih tidak ada keinginan dariku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Aku masih fokus pada kedua tangan dan kakiku yang terbatas bergerak.
Tubuhnya menjadi kembali tegap dan dia berjalan-jalan tidak tahu arah dengan kedua tangannya yang ia tautkan di belakang tubuhnya. Keheningan melanda bagai bencana begitu saja, aku memerhatikannya dengan garang.
”Aku hanya menjalankan tugasku.”
”Saya rasa semua rakyat berhak tahu tabiat calon pemimpin mereka seperti apa.” aku dapat merasakan seringai yang dia buat atas kalimatku.
”Sudah saya peringatkan kamu dari awal,” kudengar mulutnya berdecak sebelum kembali menghadapku, “ Jaga isi tulisan-tulisanmu.”
Langkahnya melintas di belakang tubuhku. Telingaku dapat merasakan deru nafasnya. “Apa perlu saya potong jari-jari kamu agar kamu berhenti menulis?”
Kulimpahkan segala kutukan dan racauan di dalam hatiku untuknya, aku terus memperingatkan diri agar tidak gegabah dan terburu-buru. Sejak awal aku mengusutnya, aku tahu resiko apa yang akan aku ilhami. Aku tahu akan berhadapan dengan siapa.
Akulah jurnalis penggila fakta. Aku tidak takut mati.
“Kelakuan Anda seperti binatang, menggelikan.” aku meludah ke arahnya, jatuh tepat di samping sepatunya.
Aku berdecih, merenggangkan leherku yang sudah mulai kaku. “Jadi seperti ini Anda melenyapkan Arya lima tahun yang lalu?”
Butuh waktu satu detik untuk para algojo membungkam mulutku, mengais wajahku, mendepak tubuhku hingga terbengkalai di permukaan.
Pandangan mataku kabur ketika aku berhadapan langsung dengan ujung sepatu hitam miliknya. Aku mendongak sebelum ia dengan niat berjongkok di hadapanku sembari menarik suraiku.
“Temannya Arya rupanya. Pantas tulisan kamu tidak bermutu.” ia hempaskan kepalaku begitu saja. Menarikku masuk ke dalam alam bawah sadar.
Janu. Kurang lebih namaku memiliki arti busur yang dapat berpikir jauh ke depan. Ibuku yang memberikan nama itu. Angin malam menerpa kulitku, seolah seseorang sedang mengendalikanku dengan panahnya. Aku berharap penutup mata ini tidak dibuka. Entah karena namaku atau memang kondisinya yang begitu mendukung, rasanya aku berada di antara batasan hidup dan mati.
Sebenarnya pilihan hidupku hanya ada dua. Bungkam atau mati.
Ternyata begini rasanya jauh dari langit dan meraup-raup angkasa. Aku kedinginan, tetapi dadaku panas, meletup-letup seolah sebentar lagi akan meledak. Aku bertanya-tanya ketika tenggelam dalam ruang biru yang membatasi nafas.
Kapan aku bebas dari belenggu para Raja?
Detik-detik aku mati, yang kuingat justru adalah perkataan Arya lima tahun lalu.
Lebih baik seribu kali mati daripada membungkam fakta.
Foto: Pinterest.
Reporter: Ronaa Mg. | Editor: Nabila Adelita