Wacana Regulasi Sertifikat Mengemudi Dinilai Perluas Potensi Calo

Nasional

Penerbitan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 2 Tahun 2023 mengenai kebijakan sertifikat mengemudi menuai pro kontra di masyarakat. Kebijakan ini dinilai memberatkan dan membuka potensi calo.

Aspirasionline.comBaru-baru ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengeluarkan kebijakan terbaru untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Di dalam kebijakan tersebut, para pemohon diharuskan untuk memiliki sertifikat mengemudi yang berasal dari lembaga pendidikan terakreditasi. 

Kebijakan terbaru mengenai sertifikat mengemudi menuai pro kontra di masyarakat. Meskipun belum dijalankan dan masih dikaji lebih lanjut, masyarakat menilai kebijakan ini cenderung membebankan.

“Kalau menurut gua bikin SIM tanpa sertifikat aja udah ribet, apalagi ditambah syarat-syarat yang kayak gitu,” tutur Nurah, salah satu warga yang belum memiliki SIM saat diwawancarai ASPIRASI pada Sabtu, (1/7).

Dosen Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Fathkuri menilai masyarakat Indonesia lebih memilih hal yang serba instan. Ia mengatakan kebijakan sertifikat mengemudi sebagai syarat mendapatkan SIM yang mengharuskan masyarakat mengikuti pelatihan terlebih dahulu dinilai kurang tepat.

“Masyarakat kita cenderung maunya fast track, tidak mau terbebani oleh biaya-biaya gitu ya. Kalau ada kebijakan misalnya harus 40 jam dengan misalnya biayanya 5 juta, saya yakin mungkin hanya satu dua aja yang mau. Kelas menengah aja yang bisa mengakses itu,” ujar Fathkuri kepada ASPIRASI pada Sabtu, (1/7).

Pria itu menyebut, beban masyarakat tidak hanya disoalkan oleh biaya, tetapi waktu yang cukup menyita dari kegiatan sehari-hari. Sebab, katanya, untuk mendapatkan sertifikat mengemudi nantinya masyarakat harus mengikuti pelatihan yang cukup lama.

“Apa iya mereka punya cukup waktu untuk mengikuti kursus kalau misalkan harus empat bulan? Sekarang kita harus meluangkan waktu dengan waktu yang segini dan biaya yang begini, saya yakin dari sisi masyarakat tidak siap,” ujarnya.

Ada Potensi Calo di Lembaga Kursus Sertifikat Mengemudi

Pengamat Kepolisian dari Institute For Security & Strategic Studies (ISSES) Bambang Rukminto mengkritisi kebijakan sertifikat mengemudi tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut justru akan membuat celah kecurangan atau calo di lembaga kursus mengemudi.

“Ya kalau memperkecil calo di internal bisa, tapi ini akan mengalihkan calo di lembaga kursus kalau tidak ditata dengan bagus,” ujar Bambang kepada ASPIRASI pada Jumat, (30/6). 

Ia mengatakan potensi calo bisa terjadi karena tidak adanya peraturan yang jelas terkait pungutan liar (pungli) di masyarakat. Misalnya saja pungutan biaya tes psikologi, kesehatan, hingga asuransi yang dibebankan kepada masyarakat.

Menurutnya, pungutan tersebut memanglah tidak dilakukan oleh pihak kepolisian secara langsung, tetapi masyarakat tetap harus membayar biaya tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan SIM.

“Padahal kalau kita merujuk pada Peraturan Undang-undang ya, Undang-undang (nomor) 12 Tahun 2017 terkait dengan pendapatan negara, seharusnya kepolisian tidak boleh menetapkan ini seenaknya sendiri, harus ada landasan undang-undang atau minimal Peraturan Pemerintah terkait dengan pungutan di masyarakat,” kata Bambang.

Selain itu, kebijakan sertifikat mengemudi juga dinilai Bambang kurang efektif dalam mengurangi angka kecelakaan lalu lintas, berbanding terbalik dengan tujuan yang dicanangkan pihak Polri. 

Menurut Bambang, yang seharusnya dijadikan fokus utama Polri dalam mengurangi angka kecelakaan ialah penegakan kedisiplinan para pengguna jalan. Meskipun kemampuan berkendaranya tidak terlalu baik, Bambang yakin angka kecelakaan bisa diminimalisasi jika Polri tegas dalam aturan dan para pengguna jalan selalu mematuhi rambu lalu lintas.

“Kalau polisinya tidak tegas, masih juga main-main dengan aturan, melakukan pungli di jalanan,  dampaknya ya masyarakat yang melanggar peraturan di jalan ini ya akan tetap terus terjadi seperti itu,” ungkapnya.

Perlu Banyak Kesiapan Infrastruktur dan Kultur

Fatkhuri dalam wawancaranya menilai wacana kebijakan pengadaan sertifikat mengemudi belum siap diterapkan di Indonesia saat ini. Salah satunya yakni soal iklim perizinan di bidang mengemudi masih belum sehat.

Maraknya kelompok-kelompok yang membuka Lembaga Penyedia Kursus (LPK) ilegal disertai dengan lemahnya tindak tegas dari Polri menjadi hal yang sia-sia jika kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengemudi itu diresmikan.

“Pertama, bisa enggak polisi menindak tegas kelompok-kelompok yang membuka sekolah mengemudi secara ilegal? Kalau kondisi ini dibiarkan, maka apapun bentuk kebijakannya tidak akan bisa menjawab masalah,” ujarnya lantang.

Analis Kebijakan Publik itu mengatakan, perizinan legalitas LPK harus diawasi dengan ketat, terutama instruktur dan infrastruktur pelatihan yang memadai, seperti lahan pelatihan, kantor, dan kendaraan yang benar-benar dalam kondisi baik.

“Kemudian kurikulum harus ada menyangkut teori, biasanya 30 persen teori 70 persen praktik. Selama ini, banyak LPK yang tidak memiliki kurikulum yang jelas,” lanjutnya.

Setelah memiliki legalitas, kata Fatkhuri, LPK diharuskan mengikuti akreditasi sesuai dengan kebijakan yang diterapkan. Selain itu, badan standarisasi yang dimiliki LPK juga harus jelas.

Untuk itu, ia mendorong agar Polri membuat kebijakan dengan seluruh Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dan menyeluruh.

“Apabila melihat Perpol 2023 masih terlihat abstrak dalam bentuk SOP, menurut saya. Kepolisian harus menerbitkan SOP bagaimana teknis implementasi dari Perpol itu,” tutupnya.

 

Foto: Tempo.co

Reporter: Nasywa Aliyya. | Editor: Miska Ithra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *