Digandrungi Gen Z, Thrifting Kini Jadi Pop Culture
Tren barang bekas bangkit kembali, thrifting menjadi pop culture di kalangan Gen Z yang selain berdampak terhadap kehidupan masyarakat juga berpengaruh dengan pergeseran budaya dalam dunia mode.
Aspirasionline.com — Akhir-akhir ini, istilah thrifting tengah menjadi tren yang marak dibicarakan. Berasal dari kata thrift dalam bahasa Inggris yang berarti hemat, thrifting merupakan suatu bentuk penghematan di mana seseorang menggunakan barang bekas yang masih layak pakai.
Awalnya, istilah thrifting sendiri lebih dikenal sebagai second-hand atau tweedehands yang berasal dari kata Belanda, yaitu membeli barang bekas dari seseorang. Jika dikaitkan dengan kebiasaan dan kehidupan bermasyarakat kita, thrifting jelaslah bukan hal baru di Indonesia. Eksisnya kebiasaan seperti pelimpahan baju kakak kepada adiknya, contohnya, dekat dengan kehidupan sehari-hari sedari dulu.
Istilah thrifting memberikan pergeseran makna dari istilah second-hand dan tweedehands yang dulunya memberi kesan buruk seolah seseorang tidak mampu ketika mereka membeli barang bekas. Peneliti dan Pengamat Sosial Budaya Arleti Mochtar Apin menilai bahwa hal ini kemudian menjadi siklus, di mana tren barang bekas kembali dikenal secara luas dan populer atau pop culture (budaya populer).
“Dulunya tidak diminati, thrifting seolah-olah tren baru padahal sebuah kebiasaan yang sudah pernah ada,” ujar Arleti kepada ASPIRASI pada Kamis, (29/6) melalui Google Meet.
Lebih lanjut, Arleti mengelaborasi bahwa sebelum thrifting shop (toko thrifting) dikenal, orang-orang pemilik barang bermerek akan membuka garage sale di rumah mereka ketika barang tersebut sudah habis masa pakai. Meski secara model dan bentuk masih mengikuti zaman, pada akhirnya barang-barang tersebut dijual karena timbulnya rasa bosan dari sang pemilik.
Menilik dari garage sale tersebut, lahirlah toko yang melayani thrifting sebagai solusi lain agar kegiatan ini dapat terus berlangsung tanpa harus menunggu garage sale. Berakar dari sana, kini thrifting berkembang dan menjadi wujud pergeseran budaya dalam industri mode.
“Sekarang thrifting itu berkembang dari special branded, special baju, atau special sepatu,” ujar Arleti.
Ditujukan untuk Menghemat, Thrifting Justru Berisiko Melahirkan Budaya Konsumtif
Bukan hanya sebagai bagian dari pop culture yang menarik perhatian para penggemar mode, terutama kalangan Generasi Z (Gen Z) yang lahir di rentang tahun 1997 hingga 2012, thrifting turut menjadi ramai karena ditujukan dalam agenda berbelanja hemat. Sikap atau perilaku penghematan ini tentunya mendapat penolakan dalam dunia industri.
Oleh karena itu, dilakukan cara agar barang produksi tetap laku terjual dengan mengiming-iminginya melalui tren, promosi, serta berbagai polesan yang memberikan daya tarik tersendiri. Jika dampak industrialisasi ini tidak dibatasi, maka justru akan membuat seseorang menjadi konsumtif.
“Kita digiring kepada keinginan untuk membeli oleh industri. Oleh karena konsumtif ini akan jadi tumpukkan jadi sampah fashion. Dianggapnya fast fashion, jadi sampah pula,” jelas Arleti yang juga merupakan dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB).
Perlu diketahui, fast fashion merupakan produksi besar-besaran berbagai model fashion dengan waktu singkat dan bahan baku yang tidak tahan lama.
Selain itu, tak sedikit orang yang terjerumus dalam harga barang bekas yang justru dipatok secara tidak masuk akal. Berawal dari hendak berhemat dengan membeli barang bekas, justru hal ini bergeser makna beserta tujuannya karena harga yang dipasang lebih mahal dari harga pasaran.
“Dia tidak berhemat dengan cara demikian. Dia merasa bangga apalagi kalau disebutkan ini bekas si A, B, C yang notabenenya tokoh atau idola di masyarakat. Jadi enggak apa-apa kalau bekas dia,” tutur Arleti.
Oleh karena itu, ketika seseorang ingin menghemat, seharusnya jangan hanya berpatokan dengan thrifting, tetapi juga bagaimana mendaur ulang dan menahan diri. Arleti lalu memberikan pembanding dengan bagaimana kebiasaan orang Jepang memilah barang.
Orang Jepang, tutur Arleti, memiliki sebuah kebiasaan untuk menahan diri dari sifat konsumtif. Mereka akan menentukan terlebih dahulu jumlah pakaian yang harus ada di lemari. Misalnya, jika sejak awal hanya menginginkan sepuluh baju, maka seterusnya harus berjumlah sepuluh juga.
“Ketika ia mau beli satu, maka satu harus keluar. Jadi jumlahnya hanya tetap segitu, tetapi memang agak sulit menahan keinginan,” ucapnya.
Dianggap Merusak Perekonomian, Thrifting Justru Membangkitkan Industri Tekstil dan UMKM
Di sisi lain, belakangan Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) melarang bisnis thrifting dari pakaian impor karena dianggap merusak perekonomian industri tekstil dalam negeri. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan Arleti, sikap pemerintah bertolak belakang atas klaim pernyataan tersebut.
Menurutnya, pemerintah nyatanya masih juga memasukkan impor-impor barang jadi busana atau yang belum jadi seperti produk kain ataupun bahan mentahnya ke Indonesia.
“Jadi bagaimana bisa dibilang itu membunuh karena sebetulnya pemerintah sendiri bertolak belakang. Dia melarang thrifting, tapi dia sendiri membuka pintu impor dari luar,” tegas Arleti.
Arleti menjelaskan hak tersebut dikatakan seolah ini membunuh karena nyatanya di sisi lain ada dunia industri baru yang tumbuh. Mulai dari toko thrifting itu sendiri sampai penjahit yang juga merupakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhidupi dengan adanya thrifting yang menjadi pop culture.
Ia pun menambahkan peraturan ini berpengaruh terhadap tren. Apabila Jokowi mengesahkan larangan impor barang bekas tersebut, tren thrifting akan berhenti.
“Ironisnya tidak hanya baju bekas, bahkan sampah tetap diimpor ke negara ini. Nah itu dualismenya lagi,” tutup Arleti.
Ilustrasi: Nabila Putri.
Reporter: Nabila Putri. | Editor: Novi Nur.