Mahasiswa Non-Biner dan Bagaimana Inklusifitas Gender dalam Kampus

Opini

Beberapa waktu lalu jagat dunia maya sempat ramai oleh video mahasiswa UNHAS diusir oleh Wakil Dekan III. Hal itu terjadi setelah mahasiswa tersebut mengidentifikasi dirinya sebagai non-biner saat kegiatan ospek.

Apirasionline.com – Ospek sejatinya merupakan salah satu tahapan bagi mahasiswa baru sebelum memasuki dunia perkuliahan. Para mahasiswa baru akan diberikan pengenalan mengenai lingkungan kampus mereka masing-masing.

Sama halnya dengan universitas lainnya, Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar juga menyelenggarakan ospek. Namun, ospek di UNHAS ternyata sempat ramai diperbincangkan terkait video yang tersebar dimana seorang mahasiswa yang mengidentifikasi dirinya sebagai non-biner saat kegiatan ospek diusir keluar dari acara saat itu.

Hal itu kemudian memicu perdebatan publik terkait tepat atau tidaknya keterbukaan oleh mahasiswa terkait identitas gendernya di depan umum. Maupun juga terkait dengan langkah pengusiran yang dilakukan oleh pihak kampus.

Menilik Definisi Non-biner

Non-biner sendiri merupakan sebuah istilah yang dikenal untuk menggambarkan seseorang yang tidak mengidentifikasi dirinya secara eksklusif sebagai laki-laki atau perempuan. Seiring berjalannya waktu istilah tersebut menyebar luas khususnya dikalangan generasi muda.

Hal ini menjadi pertanyaan apakah memang sebenarnya non-biner termasuk gender legal di Indonesia. Karena segelintir masyarakat sudah mulai permisif terhadap keberagaman gender. Keterbukaan yang membuat banyak orang mendukung pengakuan Nabil. Padahal tidak ada dalam peraturan manapun yang mensahkan gender diluar laki-laki dan perempuan termasuk non-biner.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), biner berarti serba dua atau ditandai oleh dua bagian. Sistem gender biner artinya hanya ada dua gender – laki-laki dan perempuan. Di dalam KBBI pun gender masih memiliki arti sama dengan jenis kelamin.

Yang mana di dalam hukum positif di Indonesia hanya terdapat dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Lantas mengapa seolah-olah pengakuan dari Nabil harus didukung jika memang istilah gender tersebut tidak masuk dalam yurisprudensi.

Dari sini yang membedakan gender dan jenis kelamin adalah makna. Jika jenis kelamin dalam artian biologis mengacu pada alat kelamin laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender memiliki makna sosial-budaya berkaitan dengan peran, kedudukan, norma, nilai-nilai yang berkaitan dengan laki-laki maupun perempuan.

Gender erat kaitannya akan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Hal ini terbentuk oleh  faktor sosial dan budaya di masyarakat. Bentuk dari sosial itu yang mulai membentuk karakter perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, irasonal  sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional dan perkasa.

Peran Masa Lalu dalam Membentuk Pribadi

Realitanya, sifat-sifat yang melekat dapat berubah dari waktu ke waktu artinya bisa saja perempuan kuat dan rasional juga ada pula laki-laki lemah lembut dan irasional. Terkadang yang membuat perbedaan diantara laki-laki dan perempuan ialah peraturan yang berbeda. Sehingga ketika kodrat masing-masing sudah disosialikasikan ke masyarakat akan berbeda kedudukan antara laki-laki dan perempuan.

Alhasil banyak peraturan yang bisa menimbulkan ketidakadilan gender, marginalisasi perempuan, subordinate dan diskriminasi lainnya. Contohnya pekerjaan di bidang teknik yang hanya boleh diikuti oleh laki-laki atau perempuan hanya cocok dalam bidang memasak dan mengurus rumah tangga.

Stigma – stigma yang seperti ini terkadang membuat permasalahan bagi sebagian orang atau sekelompok masyarakat karena terlalu mengilhami kodrat tersebut. Seperti salah satu pengakuan dari pengalaman dua orang yang mengaku non-biner akibat trauma akan perundungan yang dilakukan teman-temannya.

Dilansir dari voaindonesia.com, Reymi mengaku bahwa dirinya dibully oleh teman-temannya karena bersuara seperti perempuan. Mereka merpersepsikan dirinya bukan seorang laki-laki karena hanya memiliki suara seperti perempuan.

Pengakuan lain datang dari Chris Derek yang merasa ia tumbuh dikelilingi oleh teman-teman yang bercanda melebihi batas personal. Ketika ingin ke toilet dirinya sering diganggu oleh teman-temannya.

Pengalaman seperti ini membuat mereka tidak mempunyai ruang aman dalam identitas diri. Sehingga lambat laun mulai mempertanyakan rasa aman dan percaya di dalam identitas kelamin haruskah sebagai laki-laki atau justru perempuan.

Hal ini yang membuat beberapa generasi di Indonesia saat ini sering percaya kodrat yang tidak seharusnya ada. Muncul juga pengaruh global yang memang sudah mulai permisif terhadap keberagaman gender. Perkembangan ilmu pengetahuan soal keberagaman gender dan seksualitas marak di internet.

Seperti yang terjadi pada Nabil hingga viral di media sosial khususnya twitter. Banyak masyarakat yang mengomentari video tersebut dengan sindiran maupun nasihat. Salah satu cuitan akun yang memviralkan video tersebut dengan bertuliskan :”ditolak kampus karena mengaku non-biner. Ada ya aturan kampus soal profesi seksual?”.

Salah satu koran ternama yaitu Koran Tempo memberikan pendapatnya bahwa kampus semestinya bersifat inklusif dan tidak diskiriminatifatas pilihan gender serta orientasi seksual seseorang. Ada yang justru menganggap bahwa non-biner sah sah saja seperti cuitan salah satu akun @Zidniadnan. Dirinya menuliskan mereka yang menganggap LGBT, gay, lesbian, ataupun non-biner boleh saja asal tau tempat dalam mengutarakan pengakuannya, tidak dilakukan ditempat umum apalagi saat acara kampus berlangsung.

Namun tidak sedikit pula yang justru membela keputusan yang dilakukan oleh sang dosen. Mereka menganggap keputusan sang Wakil Dekan kala itu sudah tepat karena sebagai pengajar sudah seharusnya tidak boleh permisif, harus keras dan tegas. Argumennya juga jelas karena dalam hukum positif tidak ada jenis kelamin non-biner.

Mengurangi Asumsi Pribadi

Penyimpangan terjadi karena adanya kesalahpahaman yang ditanamkan dari perilaku. Melihat gambaran dari kasus Nabil, Dinas Pendidik mengusulkan untuk Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan menerbitkan surat edaran pencegahan pemahaman dan perilaku menyimpang.

Permasalahan disini adalah banyak generasi muda yang sudah lebih terbuka pada keberagaman gender seiring dengan banyaknya informasi berhamburan di internet. Menganggap bahwa ilmu pengetahuan tersebut harus dipahami dan dimengerti atau bahkan dicontoh karena mungkin mereka merasakan hal yang sama.

Seharusnya masyarakat, instansi, dan juga pemerintah menjamin keselamatan dan kesehatan mental para mahasiswa atau masyarakat yang menyatakan bagian dari kelompok minoritas gender lewat perlindungan dan konseling. Bukan alih-alih melakukan pengusiran yang dapat menimbulkan perasaan terintimidasi.

Ayu Saraswati, Associate Professor Women’s Studies di University of Hawai’i Mānoa, menyebutkan ada baiknya kita tidak mengasumsi gender seseorang, termasuk saat seseorang itu ‘tidak terbaca gendernya’. Asumsi dari teman-teman atau bahkan masyarakat di dunia maya yang hanya akan memperolok dan mulai memperdebatkan yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan.

Meskipun kasus ini sudah diselesaikan secara baik-baik, namun masyarakat tetap akan banyak membicarakan tentang keberagaman gender. Dan mungkin akan tetap berbicara yang bisa melebihi batas personal seseorang.

Sejatinya, tidak adanya pengakuan secara konstitusional mengenai pilihan gender inilah yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah khususnya dunia pendidikan. Keragaman gender yang baru bahkan asing di telinga sebagian masyarakat Indonesia dan belum diatur dalam produk hukum manapun.

Ilustrasi : Google

Penulis : Alya Zhafirah. | Editor : Tegar Gempa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *