Memotret Efektivitas EDOM Bagi Mutu Akademik Kampus
EDOM dilaksanakan rutin menjelang UTS dan UAS. Ia diharapkan dapat menjadi instrumen evaluasi yang efektif untuk meningkatkan mutu akademik kampus.
Aspirasionline.com – Sebagai pendidik profesional, dosen berperan penting dalam membangun mahasiswa yang berkualitas. Demi mencapai tujuan tersebut, kinerja kerja yang baik dari dosen diperlukan sehingga ilmu yang disampaikan mampu diterima oleh mahasiswa. Oleh karena itu, UPNVJ kemudian mengadakan Evaluasi Dosen Oleh Mahasiswa (EDOM).
EDOM dilaksanakan sebagai instrumen yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja dosen serta mutu pembelajaran. Meski begitu, masih ada tanda tanya mengenai sistem EDOM yang kerap kali timbul dalam benak mahasiswa, mulai dari efektifitas hingga perihal anonimitas mahasiswa ketika mengisi EDOM.
Joshua Elfrado, mahasiswa Fakultas Teknik, mengakui bahwa ia sempat merasa takut jika identitasnya sampai bocor. Ia mengungkapkan kekhawatirannya apabila penilaian kurang baik yang ia berikan terhadap dosen justru akan berdampak pada dirinya sendiri.
“Takutnya nanti malah berdampak ke gua sendiri, nanti malah nilainya dikurangi atau diperlakukan gak adil sama dosen tersebut,” ujar Joshua.
Menanggapi hal tersebut, Henry B.H. Sitorus, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Teknik (FT), mengungkapkan bahwa identitas mahasiswa akan terjaga. Henry mengatakan bahwa dirinya pun tidak tahu mengenai apa yang diisi oleh mahasiswa.
“Dosen tidak punya akses (untuk mengetahui identitas mahasiswa). Saya juga gak tau (mengenai identitas mahasiswa yang mengisi),” jawabnya pada Jumat (8/4).
Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Jubaedah juga mengeaskan bahwa terkait kerahasiaan data mahasiswa akan terjaga. Jadi, mahasiswa tidak perlu ragu untuk mengisi EDOM tersbeut.
“Sangat terjaga sekali. Tidak ada sama sekali dosen mengetahui siapa yang mengisi jelek, siapa yang mengisi bagus,” tegasnya.
EDOM Bukan Sekedar Formalitas
Eksistensi EDOM tidak jarang dianggap sebagai formalitas belaka. Terkadang muncul keragu-raguan yang kemudian mempertanyakan terkait keefektifan pemberlaksanaan EDOM itu sendiri.
Jubaedah menyayangkan jika sampai ada mahasiswa yang memiliki mindset tersebut. Ia menuturkan jika EDOM merupakan informasi penting ketika ingin melakukan penilaian terhadap kinerja dari para dosen.
“EDOM itu dibuat oleh pembuat kebijakan sebagai informasi untuk menilai kinerja dari dosen dalam proses belajar mengajar, bukan hanya formalitas belaka,” terangnya.
Seakan mengamini apa yang dikatakan oleh Jubaedah, Henry turut menyanggah anggapan mengenai EDOM sebagai formalitas. Ia mengungkapkan jika tujuan utama EDOM adalah untuk mendapat potret akademik kampus. Mengisi EDOM secara asal dianggap sebagai tindakan kurang baik karena dapat berdampak pada kesalahan mengambil langkah pengendalian.
“EDOM bukan hanya sekedar formalitas karena memang kita lakukan evaluasi dan tindak lanjut,” lanjut Henry kemudian.
Henry mengungkapkan bahwa di FT sendiri, terkait tindak lanjut hasil penilaian EDOM selalu dibahas dalam Rapat Tinjauan Manajemen (RTM) yang minimal diadakan setiap satu bulan. Dosen yang menerima nilai EDOM di bawah 3,00 akan dievaluasi kinerjanya dan jika diperlukan maka akan ada pemanggilan dosen yang bersangkutan.
Sementara itu, menurut Jubaedah, di FEB dosen dengan nilai EDOM yang kurang akan dilakukan pembinaan oleh fakultas. Para dosen tersebut akan diberikan workshop, sehingga kompetensi yang diharapkan dari dosen terhadap mata kuliah yang diampu itu dapat tercapai.
“Jadi dilakukan pembinaan terhadap dosen,” tegasnya.
Membenarkan pernyataan Jubaedah, Ullya Vidriza, Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan mengungkapkan jika nantinya akan ada sanksi yang diberikan kepada dosen. Terutama untuk dosen yang berturut-turut menerima penilaian EDOM buruk.
“Kalau dosen sudah berturut-turut (mendapat penilaian yang buruk), misalnya dia mengajar satu semester, anggaplah tiga sampai empat mata kuliah, empat-empatnya skornya di bawah 3, itu permasalahan dari dosen itu sendiri dan sanksinya dosen dikurangkan jumlah mata kuliahnya,” jelas perempuan yang juga menjadi dosen di FEB tersebut pada Selasa, (06/04).
Melihat EDOM dari Kacamata Dosen
Kehadiran EDOM juga tak luput dari kelemahan. Tatik Juwariyah, Dosen Program Studi Teknik Industri, menyoroti terkait poin-poin dalam EDOM yang tidak diberitahukan kepada dosen. Padahal menurutnya, poin-poin tersebut dapat menjadi pedoman bagi dosen dalam melakukan proses belajar mengajar.
“Karena kita gak tau apa pertanyaannya, jadi seperti meraba-raba,” ungkap Tatik pada Jumat, (8/4).
Seakan membenarkan apa yang diungkapkan oleh Tatik, Ullya juga mengatakan hal yang sama. Ia mengaku sama sekali tidak mengetahui terkait dengan sistem penilaian EDOM tersebut seperti apa.
“Saya gak tau ya kuesionernya seperti apa,” ujarnya.
Hal lain yang juga menjadi fokus dari dosen adalah terkait penilaian kinerja dosen yang hanya ditinjau dari sisi mahasiswa. Menurut Tatik, berdasarkan pengalamannya mengajar di tempat lain, variabel penilaian dosen tidak hanya hadir dari mahasiswa, tetapi juga pimpinan serta rekan sesama dosen.
“Kadang kan ada dosen yang kritis, EDOM ini okelah ini nilai kita, tapi apakah ini satu-satunya? Kita dihakimi oleh EDOM ini? Hanya dari mahasiswa saja, tidak ada dari faktor lainnya. Kok kayaknya IPK kita hanya berdasarkan EDOM, gak fair,” jelasnya kemudian.
Henry juga menambahkan, penilaian EDOM yang didapat oleh para dosen terkadang berpengaruh negatif. Ia mengungkapkan ketika dosen kemudian dipanggil karena hasil penilaian EDOM yang kurang, hal itu bisa saja berpengaruh ke semangat mengajar yang kemudian menurun.
“Tentu ini jadi kontraproduktif dengan harapan kita,” pungkasnya.
Namun dibalik itu semua, EDOM tetap menjadi salah satu sarana yang baik untuk menjadikan perbaikan bagi para dosen ke depannya. Hasil penilaian yang diberikan mahasiswa kepada para dosennya tentunya akan menjadi masukan yang berharga.
“Apapun yang mahasiswa tulis biasanya di komen biasanya akan saya perbaiki ke depannya, walaupun itu gak akan langsung berubah drastis ya,” terang Ullya.
Maka dari itu, mahasiswa sebetulnya diharapkan untuk melakukan pengisian EDOM dengan seobjektif mungkin. Jika memang baik katakan baik, jika memang kurang katakan kurang.
“Kita minta ke mahasiswa supaya mengisi (EDOM, red) seobjektif mungkin,” tutup Henry.
Reporter : Mahalia Mg., Yosahera Mg. | Editor: Vedro Imanuel.