
Memperjuangkan Pendidikan yang Setara Bagi Perempuan
Ketimpangan akses pendidikan untuk kaum perempuan masih saja terjadi pada saat ini. Sayangnya, sistem patriarki dan stigma perempuan yang sebatas bereproduksi, melanggengkan fenomena tersebut.
Aspirasionline.com – Bagi Dosen Pemasaran Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Wiguna Astuti, emansipasi yang diperjuangkan oleh Raden Ajeng (RA) Kartini menjadi penting untuk kaum perempuan. Mengingat pendidikan bagi kaum perempuan merupakan sebuah cita-cita yang dimiliki oleh RA Kartini.
“Sesuai dengan cita-cita Kartini, perempuan harus juga ikut andil membuat sejarah dengan bebas menentukan masa depan serta memiliki hak pendidikan yang sama dengan laki-laki,” kata Wiguna ketika membuka sesi webinar Kartini Days pada Sabtu, (24/4) silam.
Wiguna menjelaskan, bahwa perempuan milenial telah memiliki akses untuk pendidikan tak terbatas. Sehingga pentingnya pendidikan untuk perempuan di era milenial, ialah untuk membantu merealisasikan tujuan yang diinginkan kaum perempuan.
Salah satunya adalah menghapuskan dan menghilangkan konsep patriarki, dan kekerasan terhadap perempuan.
“Apapun bentuk cita-cita dan masa depan yang anda harapkan nantinya semoga berhasil dan sukses di jenjang karir di masa mendatang, sehingga konsep patriarki dan kekerasan terhadap perempuan bisa dibantu dihilangkan dengan pendidikan yang sudah diterima,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Wiguna juga menyoroti perihal feminisme. Ia menyampaikan beberapa pandangannya melalui webinar tersebut. Menurutnya, feminisme itu adalah kesetaraan untuk mendapatkan hak yang sama. Termasuk perempuan, bisa bebas memilih melakukan apapun yang sama dengan laki-laki.
Misalnya dalam mendapatkan akses pekerjaan, perempuan juga harus memiliki kesempatan. Karena alasan ketidakmampuan gender dalam dunia pekerjaan, merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan secara Undang-Undang (UU).
“UU sudah melindungi terkait hal itu, bahwa kita sebagai manusia atau warga Indoneia berhak atas hak pekerjaan dan kehidupan yang layaklayak,” tambahnya.
Menurut Wiguna, apabila ada perusahaan menghalangi seseorang bekerja hanya karena gendernya perempuan, sudah termasuk bentuk pelanggaran. Permasalahan lainnya seperti kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah pendidikan pun Wiguna soroti dalam webinar tersebut. Wiguna menyampaikan, bahwa sebenarnya semua kampus telah memiliki buku pedoman akademik. Bertuliskan peraturan-peraturan bagi mahasiswa maupun seluruh sivitas akademika, termasuk sanksi yang diberikan kepada kampus apabila ada pelanggaran.
“Pendidikan itu seharusnya dijadikan gerbang menuju lingkup dunia yang jauh lebih luas. Sehingga suatu hal yang dilihat tidak baik, baik feminisme, patriarki, diskriminasi-diskriminasi dalam hal apapun bisa dibantu dengan pikiran yang terbuka.” serunya.
Ketimpangan Akses Pendidikan yang Masih Terjadi
Tak hanya Wiguna, Webinar Kartini Days yang diadakan oleh Bidang Minat dan Bakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPNVJ yang berkolaborasi dengan komunitas Girl Up UPNVJ ini, juga diisi oleh narasumber lainnya. Yakni Yesa Diansari, salah satu pendiri komunitas yayasan Kaka Asuh.
Yesa menyampaikan, bahwa fenomena ketimpangan akses pendidikan masih terjadi di Indonesia, terutama bagi kaum perempuan. Ia mendukung hal tersebut melalui data dari Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, dimana rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas.
“Untuk perempuan perkotaan sendiri hanya sekitar 9,31 tahun dan di pedesaan cuman 6,95 tahun,” jelas Yesa.
Menurut Yesa pun, perempuan masih dihadapkan oleh beberapa persoalan. Adanya budaya dan stigma tentang perempuan yang diciptakan oleh society, bahkan dilanggengkan oleh sesama perempuan. Faktor kemiskinan membuat perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Sebagai perempuan, Yesa juga merasakan bahwa stigma tentang perempuan yang dibatasi perihal pihak yang tugasnya hanya bereproduksi. Hal tersebut menjadikan perempuan terkekang untuk melakukan sesuatu hal seperti pendidikan.
“Padahal hidup bukan cuma tentang reproduksi dan keluarga, masih banyak sekali yang juga perempuan ingin rasakan,” tambah Yesa.
Yesa juga mengungkapkan, tak seharusnya perempuan merasa takut untuk mendapatkan jodoh karena memiliki pendidikan yang tinggi. Menurutnya yang terpenting adalah bagaimana cara pandang kita dalam menjalani hidup, bukan dibatasi dengan ruang gender.
Menjadi salah satu pendiri yayasan Kaka Asuh, memberikan pemahaman pada Yesa tentang kemiskinan yang juga menjadi faktor terputusnya akses pendidikan bagi kaum perempuan. “Dengan kita berpendidikan semakin tinggi kita semakin mengetahui bagaimana mengentaskan kemiskinan. Tapi seringkali stigma dan cara pandang itu berbeda di dalam society,” ujar mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut, sebelum webinar berakhir.
Webinar tersebut menjadi acara penutup dari rangkaian Kartini Days, dimana rangkaian lainnya adalah perlombaan puisi dan foto untuk mahasiswa UPNVJ.
Reporter: Syena Meuthia | Editor: Azzahra Dhea.