Merenggut Banyak Nyawa, Kasus Rabies di Indonesia Dinilai Masih Belum Jadi Fokus Pemerintah
Meningkatnya kasus rabies di Indonesia menyita keprihatinan serius di kalangan masyarakat. Tidak menimbulkan pandemi, tapi sampai saat ini pemerintah masih reaktif terkait kasus rabies di Indonesia.
Aspirasionline.com – Belakangan ini, ramai kasus rabies di Indonesia khususnya Indonesia bagian timur. Melansir dari Kemenkes.go.id, Laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada Jumat, (2/6), mengumumkan setidaknya 11 kematian dengan 95 persen kasusnya diakibatkan oleh gigitan anjing yang terjangkit penyakit rabies.
Meskipun bukan suatu penyakit yang baru, tetapi sampai saat ini rabies masih saja memakan banyak nyawa. Ditambah lagi kemudahan akses internet sekarang menggambarkan kerawanan masalah rabies yang belum selesai secara memadai.
Menurut Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman, rabies di Indonesia bukan menjadi fokus utama pemerintah dan justru masih terabaikan. Dicky menjelaskan jika manajemen dari pemerintahan terhadap rabies sendiri masih cenderung reaktif, di mana responsnya dinilai tidak cukup memadai.
“Kalau proaktif itu tidak menunggu masalah dan sudah disiapkan dari berbagai aspek,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Penasihat Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk Pemulihan Pandemi itu kepada ASPIRASI pada Jumat, (7/7).
Dicky mengharapkan perbaikan oleh pemerintah dengan cara mengidentifikasi, mengecek, dan mengevaluasi sistem rujukan sarana dan prasarana penanganan penyakit rabies.
“Refreshing (perbarui) tenaga kesehatannya, kemudian juga me-refresh atau mengecek, mengevaluasi, me-review sistem rujukannya,” ujarnya.
Minimnya Pengetahuan Komunikasi Risiko
Dilansir dari BBC.com, warga Desa Fenun Kabupaten Timor Tengah Selatan panik terhadap situasi ini. Mereka selalu berjaga-jaga dengan membawa senjata tajam. Ketika bertemu anjing liar yang belum diketahui apakah terjangkit virus rabies atau tidak, warga langsung mengejar dan membunuh anjing-anjing tersebut.
Merespons hal tersebut, Dicky Budiman tentunya menentang perilaku menghabisi hewan liar. Menurutnya, perilaku membunuh tanpa alasan ini sangat berbahaya dan salah karena justru mengundang masalah lebih lanjut dan berdampak pada komunitas rantai makanan di bawahnya.
“Kalau perlu dibatasi, dipagari, dan segala macam. Namun, bukan harus diberantas. Kalau diberantas jadi masalah,” jelas Dicky.
Dicky pun menambahkan agar tidak panik, pemerintah semestinya memberikan komunikasi risiko terhadap masyarakat. Bukan hanya memberikan pengertian, tetapi juga menyampaikan serta mencari tahu apa yang dikhawatirkan oleh masyarakat.
“Komunikasi risiko tuh gitu, dia memfasilitasi supaya akhirnya bukan hanya menyampaikan informasi, tapi juga memfasilitasi pengambilan keputusan, memfasilitasi kerja sama antar pemangku kepentingan itu penting. Itu komunikasi risiko. Ini yang belum dikuasai oleh pemerintah di Indonesia,” tegas Dicky.
Melihat Potensi Rabies di Indonesia
Tak seperti Covid-19, secara riil sangat kecil kemungkinan bahwa rabies menjadi suatu Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun, menjadi wabah di daerah kecil itu sangat besar kemungkinan terutama daerah yang memiliki peternakan hewan yang berpotensi rabies. Berbeda dengan Covid-19 yang memproduksi massal vaksin untuk manusia, penyakit rabies mengutamakan vaksin untuk hewan.
Lebih lanjut, Dicky menjelaskan meskipun tidak berpotensi KLB, pencegahan rabies tetap perlu dilakukan. Upaya ini bisa dilakukan dengan distribusi vaksin rabies dan distribusi tenaga kesehatan terkait deteksi dan juga penanganan dari rabies ini baik terkait aspek manusia dan hewan.
“Di sisi lain ini baru satu aspek kesehatan yang manusia, yang hewan juga harus sama. Dokter hewan ini harus memberikan literasi atau refreshing (menambah pengetahuan baru) juga termasuk literasi pada para peternak,” jelas Dicky.
Menurut Dicky, mengetahui gejala manusia yang terjangkit rabies tidaklah penting, tetapi yang harus diketahui ialah gejala pada hewan. Jenis hewan yang umumnya mamalia bertaring seperti anjing, kucing, dan sebagainya memiliki ciri-ciri, misalnya, temperamen lebih agresif dan mengeluarkan air liur banyak.
Tidak lupa, Dicky menambahkan ketika digigit oleh hewan yang terjangkit rabies, luka gigit harus segera dicuci dengan air mengalir, diberikan obat merah jika ada, dan tidak menunda untuk pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dalam kurun waktu satu jam.
“Begitu apapun kalau tergigit, apalagi itu hewan liar atau hewan domestik yang belum divaksin rabies, segera. Itu aja yang paling penting,” tambah Dicky.
Sementara itu, Annisa Hasna Nabila, mahasiswi Program Studi Farmasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) sekaligus pemilik hewan peliharaan yang berpotensi terkena rabies, yakni kucing, turut melakukan upaya untuk mencegah terjangkitnya rabies pada hewan peliharaannya.
Ia rutin melakukan vaksin untuk hewan peliharaannya, baik vaksin rabies maupun vaksin untuk jenis penyakit lainnya. Annisa pun rutin menjaga kebersihan tempat makan dan tempat tinggal kucingnya.
“Saya juga rutin menjaga kebersihan tempat makan dan tempat tinggalnya, serta membatasi pergerakannya agar tidak bermain di luar rumah,” ucap Annisa pada Rabu, (12/7).
Annisa juga menerapkan di rumahnya untuk tidak sembarangan menyentuh hewan liar terutama hewan dengan ciri-ciri terkena rabies.
“Saya sendiri sudah menerapkannya, dengan tujuan untuk meminimalisir penyebaran rabies di lingkungan tempat tinggal saya,” tutup Mahasiswa Farmasi 2022 UPNVJ itu kepada ASPIRASI.
Foto: Kompas.com
Reporter: Nabila Adelita. | Editor: Alya Putri.