Sudah Tepatkah Sanksi Bagi Masyarakat yang Menolak Divaksin?
Perpres Nomor 14 Tahun 2021 resmi disahkan oleh Presiden Jokowi. Ketentuan mengenai sanksi terhadap penolakan vaksin pun menjadi polemik di masyarakat.
Aspirasionline.com − Pada (9/2) lalu, Presiden Jokowi secara resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Lantas, Perpres tersebut langsung mendapat sorotan dari publik, terutama mengenai masalah sanksi bagi penolak vaksin.
Ketentuan mengenai berbagai sanksi bagi penolak vaksin terangkum dalam Pasal 13A Perpres Nomor 14/2021. Berdasar pasal tersebut, sanksi berupa penundaan atau penghentian jaminan sosial hingga dikenakan denda, merupakan bentuk sanksi administratif bagi mereka yang menolak divaksin Covid-19.
Selain itu, dalam Pasal 13B Perpres tersebut juga disebutkan kemungkinan dikenainya sanksi lain sesuai ketentuan Undang-Undang Tentang Wabah Penyakit Menular. Pemberlakuan sanksi tersebut pun menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Ede Surya Darmawan mengatakan, negara seharusnya lebih fokus pada langkah pencegahan di masyarakat. Hal ini dikarenakan, vaksin merupakan langkah proteksi terakhir setelah prinsip pencegahan. Sehingga perlu kebijakan negara yang jelas, tegas, dan sinkron.
“Tolong diingat kalau vaksin saja akan membutuhkan waktu yang lama banget, yang ideal itu kan sebenarnya kasus (positif Covid-19, red.) itu dikecilkan,” katanya saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Jumat, (19/2).
Selaras dengan Ede, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnama Sari mengatakan, bahwa wacana pengenaan sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksin tidaklah tepat. Apalagi, polemik mengenai pemidanaan vaksin, sudah menjadi polemik sejak awal Februari. Meski akhirnya disahkan juga.
“Artinya, sebelum Perpres ini terbit sudah banyak sekali suara publik yang menentang soal vaksin. Apakah ini suatu kewajiban atau yang harus kemudian dilekatkan sanksi pidana disitu atau bagaimana,” terangnya saat dihubungi ASPIRASI pada Kamis, (18/2).
Penolakan Vaksin Bukan Tanpa Alasan
Era mengungkapkan, penolakan yang dilakukan masyarakat dilatarbelakangi karena ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Era menilai, sikap awal pemerintah yang cenderung tidak serius, informasi yang simpang siur, miskoordinasi, kebijakan yang kontraproduktif. Apalagi, pengelolaan dana bantuan yang koruptif merupakan hal-hal yang seharusnya disadari oleh pemerintah.
Menurut Era, pengenaan sanksi bagi mereka yang menolak vaksin, apalagi sanksi pidana, sangatlah tidak tepat dan merupakan cara berpikir yang represif. Era beranggapan, banyak pendekatan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat mau divaksin.
Era beranggapan, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah ialah meyakinkan masyarakat, bahwa vaksin tersebut sudah teruji secara klinis. Selain itu juga harus transparan dan digratiskan.
“Dalam situasi pandemi sekarang, ketika itu dibebankan kepada warga negara dalam situasi warga negara yang kehilangan banyak sumber penghidupan, ya orang akan memilih tidak divaksin,” ujar Era.
Menurut Ede pun, penerapan sanksi terhadap masyarakat yang menolak divaksin, perlu dipikirkan lebih matang lagi. Ia menambahkan, alangkah baiknya untuk meyakinkan masyarakat dengan cara mengedukasi dibanding menakut-nakuti dengan ancaman sanksi.
“Kecuali setelah disanksi itu, dia jadi langsung kebal gitu. Bisa gak begitu? kan jadi engga ada manfaatnya sanksi itu,” tutup laki-laki yang juga bekerja sebagai Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tersebut.
Reporter: Vedro Mg | Editor: Dilla Andieni