Suara AJI untuk Kehidupan Pers yang Lebih Baik
Hari Buruh Internasional 2019 dijadikan kesempatan penting bagi AJI untuk menuntut perlindungan kekerasaan dan kesejahteraan kehidupan jurnalis di Indonesia.
Aspirasionline.com — Langit yang teduh memayungi kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, kala itu. Bertepatan dengan Rabu, (1/5) terlihat puluhan manusia berkaus hitam berjalan beriringan dalam barisan. Dibawah kibaran bendera bertuliskan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mereka bernyanyi bersama. “Lawan, lawan, lawan, dan menang,” mereka mengumandangkan bait tersebut sambil terus berjalan.
Pagi hari itu, mereka yang tergabung dalam AJI Jakarta melakukan aksi long march dari gedung sekretariat Dewan Pers menuju Patung Kuda Arjuna Wiwaha. Aksi tersebut dilakukan untuk menyambut hari buruh internasional yang jatuh setiap 1 Mei.
Setibanya di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, jumlah massa AJI Jakarta yang berada dalam barisan kian bertambah dari berbagai pihak seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Tak lama, Abdul Manan selaku ketua AJI Indonesia lalu berorasi di depan massa. Ia mengimbau para jurnalis untuk melawan kekerasan dan intervensi yang biasa dilakukan oleh pemilik media. Meski cucuran keringat telah membasahi tubuhnya dan suaranya sesekali parau, ia tetap lantang menyuarakan orasinya. Hal itu membuat kawan-kawannya yang mendengarkan ikut menyahutinya dengan lantang juga.
Abdul juga menyampaikan bahwa topeng bersimbuh darah yang dipakai para demonstran menandakan kondisi pers di Indonesia saat ini yang jauh dari harapan. Selain itu, ia juga berkata bahwa kentongan yang dibawa juga turut menyimbolkan keadaan jurnalis yang sudah darurat.
Yang melandasi aksi AJI
Jakson Simanjuntak, Koordinator lapangan aksi May Day dari AJI Indonesia, mengungkapkan isu yang diangkat tahun ini lebih kepada kekerasan dan ancaman terhadap kebebasan pers. Kekerasan tersebut meliputi intervensi dari narasumber bahkan pemilik media. “Dari tahun 2018, total kasus yang ada di data kami setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis,” ungkap Jakson. Menurutnya, jumlah ini lebih banyak dibanding dari tahun 2017.
AJI juga menuntut agar upah seorang jurnalis muda seharusnya sebesar 8,2 juta. Tuntutan ini diajukan karena seorang wartawan membutuhkan banyak fasilitas dan biaya akomodasi selama peliputan. “Jika perusahaan media tidak memperhatikan hal ini, maka yang terjadi adalah ‘ngamplop’ atau adanya suap dan gratifikasi yang diberikan narasumber atau pihak-pihak tertentu terhadap awak media tersebut,” ujar Jakson kemudian.
Pandangan dari AJI tersebut juga diamini oleh Eky, Koordinator Regional FPMJ Jakarta Selatan. Menurutnya, intervensi dari pemilik media untuk media-media lokal dan nasional turut diperparah dengan adanya kepentingan partai. Ia berpendapat bahwa petinggi partai yang menjadi pemilik media dapat menghilangkan ruang bagi independensi media untuk memberitakan berbagai macam isu yang beredar.
Salah satu anggota Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Eka juga menjadi perwakilan untuk berorasi didepan massa. Eka menggaungkan kebebasan jurnalis perempuan dari segala intimidasi dan pandangan negatif yang melekat pada kaum hawa. Eka memaparkan bagaimana seharusnya jurnalis perempuan dapat mengatasi berbagai kesulitan dalam bekerja, seperti mendapat perlakuan yang kurang pantas, pelecehan seksual dan bahkan kekerasan.
Pemimpin umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Ekonomi, Judith Dwi Prasetya turut mengemukakan beberapa poin tuntutan dalam aksi yang mereka lakukan. Yakni mengenai kriminalisasi atau kebebasan aspirasi jurnalis kampus. Hal itu ia kemukakan karena Suara Ekonomi pernah dibredel akibat memberitakan persoalan status Universitas Pancasila.
Menanggapi pernyataan Judith, Asnil Bambani ketua AJI Jakarta mengimbau agar pers mahasiswa tidak perlu berkecil hati. “Sudah ada undang-undang yang melindungi kebebasan persma. Kita juga sudah menyatakan dukungan kepada kebebasan persma,” ujarnya.
Reporter: Myranda Fae, Indah Jullanar |Editor: Fakhri Muhammad