Pendidikan Tinggi dan Mekanisme Pasar

Nasional

Pada hakikatnya pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat menikmatinya. Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia agar dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran.

Aspirasionline.com — Keberadaan pendidikan yang penting telah diakui dan memiliki legalitas kuat sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

Sayangnya, di Indonesia saat ini, Pendidikan yang menjadi hak negara itu harus terjebak dalam komersialisasi. Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga penarikan uang pangkal menjadi contoh terjadinya praktik ini.

Ali Nurudin, dalam tesisnya “Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia”, mengungkapkan komodifikasi pendidikan di Indonesia setidaknya dimulai ketika Indonesia bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) setelah meratifikasi perjanjian dagang multilateral atau biasa disebut General Agreement on Trade Service (GATS) yang menjadi dasar UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Estabilishing The World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) di masa Orde Baru. Perjanjian tersebut mengatur mengenai tata perdagangan barang, jasa, dan hak atas kepemilikan properti.

Pada Mei 2005, Indonesia sebagai anggota WTO melakukan penyesuaian struktural atas paket kebijakan yang dikeluarkan oleh IMF dan Bank Dunia, yaitu (GATS), yang bertujuan untuk meliberalisasi 12 sektor jasa. Sektor tersebut meliputi bisnis, komunikasi, konstruksi dan teknik, distribusi, pendidikan, lingkungan, finansial, kesehatan, pariwisata dan perjalanan, rekreasi, budaya, dan olahraga, transportasi.

Reformasi Pendidikan Tinggi

Pasca disetujuinya perjanjian GATS, terjadi reformasi besar-besaran di sektor pendidikan tinggi, di Indonesia dimulai dari proses pemberian otonomi khusus sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada tujuh institusi pendidikan tinggi negeri di Indonesia.

Tujuh perguruan tinggi yang memperoleh status otonomi tersebut adalah: UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair. Konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dilandasi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara (PP No.61/1999).

Dari PP 61/1999 tersebut, lahirlah serangkaian Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar hukum (Statuta) dari PP BHMN pada tahun 2000. Pada tahun 2003, menyusul disahkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas). Kemudian disusul oleh lahirnya UU Baru yang melegalkan otonomi tersebut, yaitu UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Hingga sampai kepada  UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). UU yang telah menjadi pembahasan sejak Tahun 2010 (setelah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP dibatalkan) akhirnya disahkan, menjadi landasan untuk mengatur pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Dalam “Naskah Akademik UU Pendidikan Tinggi” yang dikeluarkan Tim Perumus UU Pendidikan Tinggi di tahun 2012, disebutkan pemerintah mengklaim bahwa UU Pendidikan Tinggi dibuat untuk “memulihkan kondisi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang telah memiliki otonomi”.

Dalam naskah akademik Rancangan UU tersebut, pemerintah menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing dalam interaksi global, perlu adanya perguruan tinggi yang sehat, bermutu, otonom, dan maju.

Pendidikan Dalam Mekanisme Pasar

Sofian Effendi melalui tulisannya “GATS dan Liberalisasi Pendidikan” menjelaskan, Liberalisasi pendidikan — dengan melepaskan kontrol pemerintah melalui pengurangan subsidi dan membiarkan pendidikan diatur oleh pasar — pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia, khususnya di pasar tenaga kerja global.

Paradigma tersebut berangkat dari asumsi filosofis ekonomi neoklasik yang melihat persaingan pasar akan meningkatkan kualitas suatu komoditas. Liberalisasi pendidikan tinggi ini memiliki semangat untuk menciptakan pendidikan yang melampaui batas-batas negara-bangsa atau biasa dikenal dengan istilah Internasionalisasi Pendidikan.

Melalui pengandaian bahwa “individu memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri”, maka pendidikan yang diatur secara privat akan memberi insentif bagi produsen penyedia jasa pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya agar mampu bersaing dengan penyedia jasa (universitas) lainnya demi menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.

Untuk mendukung hal tersebut, intervensi pemerintah dalam pengambilan keputusan di level pendidikan tinggi harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai WTO melalui GATS.

Henry Levin, seorang ekonom pendidikan dengan tegas berpendapat privatisasi pendidikan tinggi merupakan pendidikan tinggi yang pengelolaannya terlepas dari kontrol pemerintah, baik tujuannya untuk mencari profit ataupun tidak. Privatisasilah yang kemudian menjadi refleksi dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan pendidikan.

Kondisi ini berimplikasi pada keharusan universitas untuk mengelola pendanaannya sendiri. “Universitas diberi otonomi penuh untuk mengelola sumber dayanya seiring intervensi pemerintah yang semakin minim,” tulis Henry dalam jurnalnya Privatisasi dalam Pendidikan: Teori dan Praktik. Di Indonesia sendiri, dalam hal ini, paling tidak porsi ketergantungan universitas pada anggaran pemerintah menjadi lebih berkurang.

Edi Subkhan, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) berpendapat bahwasanya komersialisasi pendidikan berbicara tentang pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Institusi pendidikan –yang berfungsi sebagai motor penggerak berlangsungnya laju pendidikan– tak ubahnya seperti badan korporasi bisnis yang setiap aspek kegiatannya tidak jauh-jauh dari kegiatan mengeruk keuntungan.

Dampak paling nyata dari peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi dan pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi atas pendidikan tinggi oleh pemerintah dengan dalih otonomi kampus. Konsekuensi dari pelepasan tanggung jawab negara ini adalah pembebanan tanggung jawab masyarakat dalam membiayai pendidikan.

Kendati demikian, Edi menjelaskan bahwasnya pemerintah tidak sepenuhnya melepaskan tanggung jawab terhadap pendanaan institusi pendidikan tinggi. Ia menjelaskan bahwa dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia terdapat tiga klasisfikasi, yaitu Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), Badan Layanan Umum (PTN-BLU), dan Satuan Kerja (PTN-Satker).

Lanjutnya Edi menjelaskan untuk PTN BLU dan Satker, pendanaanya masih berasal dari pemerintah, berbeda dengan PTN-BH yang lebih diorientasikan kepada kampus tersebut untuk mencari pendanaan lebih diluar pendapatan yang diterima dari pemerintah.

Hal ini  justru berakibat pada perubahan cara berpengetahuan, bahwa pendidikan justru menjadi wahana komersialisasi, subversi institusi publik oleh kepentingan privat dan mengakibatkan proses pendidikan dilakukan di atas fondasi komersial, bukan pada knowledge sharing atau pengembangan pengetahuan.

Didukung oleh kebijakan-kebijakan universitas pada bidang kurikulum yang sangat berorientasi pada permintaan pasar, mengakibatkan struktur kurikulum dengan mudah diubah menjadi lebih friendly dengan kepentingan pasar. Akibatnya, kebijakan menjadi sangat desentralistik. Hal ini secara otomatis mengubah cara universitas dalam memproduksi pengetahuan di berbagai bidang studi yang ada.

Akan tetapi, Edi mengungkapkan bahwasanya praktik komersialisasi pendidikan tinggi sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tuntutan agar institusi terkait dapat menjadi institusi bergengsi yang mendapatkan peringkat kelas pendidikan tinggi internasional.

“Untuk mewujudkan itu institusi memerlukan pendanaan yang besar. Dan itu hanya bisa di penuhi dengan istilahnya menarik itu duit melalui UKT atau Uang pangkal,” papar Edi.

Dalam konteks pembebanan tanggung jawab kepada mahasiswa, UU Pendidikan Tinggi berpotensi menutup akses mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Sementara, akses terhadap pendidikan adalah amanah konstitusi (Pasal 31 UUD 1945).

Selain berpotensi menutup akses, UU ini juga akan menjadikan biaya kuliah tidak terjangkau oleh masyarakat kalangan bawah, sehingga pendidikan tidak dapat membebaskan mereka dari kemiskinan sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 1945.

Liberalisasi pendidikan tinggi bukan sekadar subversi kepentingan modal atas institusi pendidikan. Lebih dari itu, ia juga merupakan sebuah subversi atas praktik berpengetahuan yang dilakukan di areal produksi pengetahuan paling vital: kampus. Dengan ditariknya tanggung jawab negara atas pendidikan tinggi, kepentingan-kepentingan privat mulai masuk pada praktik-praktik berpengetahuan di kampus.

Dengan kata lain, UU Pendidikan Tinggi masih berada dalam dislokasi dan tarik-ulur konsepsi pembangunan internasional dalam pendidikan tinggi. Hal ini menjadikan pendidikan tinggi sebagai entitas ‘privat’ yang bersaing untuk melahirkan tenaga kerja yang ujung-ujungnya dieksploitasi, alih-alih mencetak intelektual yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan dalam semua level profesi yang digeluti.

“Bila kita melihat realitas di kampus-kampus seluruh Indonesia saat ini, memang kita seperti tak mungkin lepas dari aspek komersil. Pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi sangat utopis,” ujar Edi[.]

Reporter: Taufiq Hidayatullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *