Urgensi Kredit Pendidikan: Untuk Apa dan Siapa? 

Nasional

Kredit pendidikan awalnya ditujukan agar kuliah juga bisa dinikmati oleh kalangan ekonomi kelas bawah. Ia juga diharapkan menjadi solusi terhadap permasalahan aksesibilitas pendidikan.

Aspirasionline.com — Ide “kredit pendidikan” dilontarkan Presiden Jokowi pada rapat terbatas yang berlangsung di kantor presiden Maret silam. Kredit pendidikan merupakan upaya pemerintah agar pendidikan tinggi dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Kemudahan aksesibilitas pendidikan tinggi diharapkan dapat meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK PT).

Alasan inilah yang menjadi salah satu landasan bagi pemerintah dalam pelakasaan kredit pendidikan di Indonesia. Mengamini hal tersebut, Direkur Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Didin Wahadin mengatakan bahwa pemerintah saat ini sedang berusaha untuk meningkatkan APK PT.

Lebih lanjut, mantan rektor Universitas Islam Nusantara (UNINUS) itu mengatakan bahwa setidaknya per Agustus 2018 APK PT Indonesia masih sebesar 31,5%. Angka ini masih belum mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2018, yaitu sebesar 32%.

Didin mengungkapkan bahwa tingkat APK Indonesia jauh tertinggal dibanding Malaysia yang menyentuh angka 37%. Namun, menurut Didin, angka tersebut tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan APK PT Indonesia. “Hal ini dikarenakan faktor yang memengaruhi APK PT suatu negara, salah satunya jumlah warga negara dalam usia produktif,” tutur Didin.

Didin menerangkan bahwa idealnya kredit pendidikan dapat menyentuh kalangan masyarakat yang tidak mampu dan belum terjangkau oleh beasiswa yang disediakan. Ia menjelaskan, setiap tahunnya pemerintah berusaha untuk meningkatkan jumlah beasiswa yang dapat diberikan, baik dana dari pemerintah itu sendiri maupun beasiswa dari pihak swasta.

“Tahun ini kita mengelola sampai 400 ribu beasiswa Bidikmisi, 130 ribu PPA (Prestasi Penunjang Akademik, red), dan bantuan lainnya. Namun, masih banyak juga yang belum tersentuh itu,” jelas pria yang dulunya aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMII).

Dalam penerapannya, kredit pendidikan diharapkan mampu membantu kelompok masyarakat perekonomian menengah ke bawah. Jadi, mobilitas sosial secara pendidikan dapat tercapai tanpa harus mengandalkan beasiswa yang jumlahnya juga terbatas dan belum tentu mencakup biaya keseluruhan.

Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi yang jelas terkait kredit pendidikan. Jika merujuk Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, disebutkan bahwa, “Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak asasi manusia yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik”.

Kemudian, yang menjadi sorotan publik adalah ayat (2) poin c yang menyebutkan, “Salah satu pemenuhan hak mahasiswa adalah dengan cara memberikan pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan”. Sehingga dalam UU tersebut, yang wajib memberikan pinjaman tanpa bunga adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau perguruan tinggi.

Akan tetapi, beberapa masyarakat menilai bahwa kredit pendidikan tidak termasuk dengan apa yang diterangkan pada UU Nomor 12 Tahun 2012. Hal ini karena pemberi kredit pendidikan ialah lembaga perbankan sehingga tidak dapat dikenakan UU tersebut. Menurut Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNESS), Edi Subkhan, pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2012 memang memiliki interpretasi yang luas sehingga perlu ditafsirkan menurut ilmu hukum.

Tidak adanya regulasi dari pemerintah membuat kredit pendidikan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan bank terkait. Beberapa perbankan berplat merah mulai mengeluarkan program kredit pendidikannya, dengan masing-masing persyaratan yang berbeda.

Syarat Berliku Pengguna Kredit Pendidikan

Salah satu perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menawarkan kredit pendidikan ialah Bank Tabungan Negara (BTN). BTN menawarkan kredit pendidikan dengan bunga 6,5% per tahun dan tenor hingga lima tahun. Nilai plafon kredit pendidikan yang diberikan BTN mencapai Rp200 juta.

Setidaknya, terdapat empat syarat yang harus dipenuhi pemohon untuk mendapatkan kredit pendidikan.

Seperti dilansir dari tirto, pertama, pemohon merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Kedua, pemohon harus merupakan debitur BTN. Ketiga, pemohon harus menjadi debitur Kredit Pemilikan Rumah (KPR)/Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) minimal satu tahun, atau minimal dua tahun untuk debitur Kredit Agunan Rumah (KAR) BTN. Keempat, memiliki riwayat pembayaran angsuran yang lancar.

Selain itu, penggunaan dana kredit pendidikan BTN juga tidak diatur secara khusus. Kredit pendidikan bisa digunakan orang tua siswa untuk apa saja, seperti dari biaya masuk kuliah, biaya SPP, dan keperluan penunjang belajar lainnya.

Lain halnya dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Melalui Briguna Flexi Pendidikan, BRI menawarkan kredit pendidikan dengan bunga 0,65-0,72 persen per bulan dan jangka waktu pinjaman maksimal 10 tahun. Dengan besaran pinjaman 75 juta sampai 250 juta. Kredit pendidikan BRI ini ditujukan untuk mahasiswa pasca sarjana (S2/S3).

Berbeda dengan BTN, BRI juga memiliki syarat tersendiri yang harus dipenuhi calon pemohon untuk mendapatkan kredit pendidikan. BRI mewajibkan pemohonnya memberikan fotokopi identitas diri, kartu keluarga, slip gaji, Surat Keterangan (SK) Pegawai, surat kuasa potong gaji, surat rekomendasi tempat bekerja dan universitas, serta dokumen lainnya. Selain itu, pemohon tersebut harus menjadi karyawan tetap di instansi atau perusahaan, dan memiliki penghasilan yang tetap selama masa pendidikan.

Pemberian kredit pendidikan BRI juga hanya berlaku untuk universitas-universitas yang telah bekerja sama dengan BRI. Per Agustus 2018, ada 15 Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan BRI mengenai kredit pendidikan, antara lain UGM, UNAIR, UNIB, UB, UM, UNPAD, UNIMED, ITS, UI, USU, UPI, IPB, ITB, UNHAS, UNDIP.

Dua Wajah Kredit Pendidikan

Melihat syarat berliku yang ditawarkan pihak bank bagi para pengguna kredit pendidikan, Edi menilai bahwa sejak awal kredit pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah memang menyasar kalangan menengah ke atas. Ia melihat usaha pemerintah dalam memberikan pendidikan bagi kalangan menengah ke bawah masih berfokus kepada pendidikan dasar dan menengah.

“Untuk masyarakat bawah memang lebih kepada SMA, atau kejuruan. Setidaknya mereka yang tidak melanjutkan studi sudah mempunyai keterampilan,” ungkap pria yang menepuh magisternya di Universitas Negeri Jakarta.

Berbeda dengan Edi, Didin mengaku tidak mengetahui persyaratan yang diberikan oleh pihak bank kepada pemohon kredit pendidikan.

“Saya belum tahu sampai ke situ. Tetapi yakini saja kalau pemerintah berkeinginan mencoba untuk menjadi pelayan masyarakat yang baik,” jelas Didin.

Meskipun tidak mengetahui persayaratan yang disebutkan, pria lulusan Universitas Pendidikan Indonesia tersebut menilai apa yang dilakukan oleh bank merupakan suatu hal yang dapat diterima. Sebabnya, pihak Bank menggunakan dana yang disimpan dari para nasabah untuk digunakan sebagai dana kredit pendidikan. Karenanya, terdapat berbagai persyaratan guna memastikan dana tersebut dapat kembali masuk ke bank tersebut dengan keuntungan bagi nasabah.

Didin menegaskan bahwa kredit pendidikan ada bukan untuk membeda-bedakan calon penggunanya. Artinya, menurut Didin, siapapun yang memiliki kemampuan untuk mengembalikan jika ingin menggunakan maka dipersilahkan.

“Karena bank berharap ada jaminan juga kan, bahwa ia bisa menarik kembali dana yang dipinjamkannya,” ungkapnya kepada ASPIRASI, Kamis (2/8).

Didin mengungkapkan bahwa pemerintah berharap tidak ada persyaratan yang kemudian akan merugikan nasabah, mahasiswa, serta pihak bank. Lebih lanjut ia menjelaskan pelaksanaan kredit pendidikan ini sudah dipertimbangkan oleh Kemenristekdikti dari berbagai aspek.

“Kita sama-sama kontrol, kita (Kemenristekdikti,red) punya Lembaga Hukum, jika ada yang tidak sesuai kita protes. Yakini kita sebagaimana pemerintah tidak akan merugikan masyarakat,” ungkapnya.

Berbeda dengan Edi, Didin meminta agar masyarakat dapat melihat bahwasanya kredit pendidikan ini dapat berdampak positif. Menurutnya saat ini masih banyak mahasiswa yang membutuhkan bantuan dana yang tidak dapat dipenuhi oleh beasiswa yang disediakan.

Rintangan di Indonesia

Penerapan kredit pendidikan dinilai menjadi polemik baru yang akan dihadapi Indonesia. Menurut Edi, permasalahan yang akan dihadapi terletak pada skema pembayaran kredit pendidikan yang dibayar setelah mahasiswa lulus. Edi pun mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

“Nyatanya saat ini sudah berapa banyak lapangan pekerjaan yang ada, berapa besar upah fresh-graduate jangan sampai malah jadinya membebani si mahasiswa,” paparnya kepada ASPIRASI pada Kamis, (26/7).

Selain itu, Edi juga mempertanyakan skema pembayaran kepada mahasiswa dari bidang pendidikan tertentu yang harus menjalani pendidikan profesi di luar masa studi tetap yang ada. Menurutnya, skema pembayaran kredit justru menjadi tidak relevan, karena mahasiswa di bidang tertentu tersebut harus menempuh studi profesi terlebih dahulu agar mendapatkan pekerjaan.

“Kalau kita ambil contoh, mahasiswa psikologi saat ini harus mengambil profesi baru bisa membuat praktik. Artinya, di sini ada semacam perpanjangan studi, lantas bagaimana kebijakannya?” katanya.

Selain itu, ia menilai  bahwa tantangan yang akan dihadapi dalam penerapan kembali sistem kredit pendidikan, salah satunya terdapat pada kebudayaan masyarakat Indonesia.

“Bagaimana sih perilaku masyarakat kita selama ini ketika dikasih hutang gitu? Hal ini yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. Apakah masyarakat kita sudah memikirkan untuk membayarnya,” jelas pria peminat pedagogi kritis tersebut.

Menanggapi permasalahan tersebut, Didin meminta agar masyarakat dapat melihat bahwa kredit pendidikan ini dapat berdampak positif.

Ia juga mengungkapkan bahwa kredit pendidikan ditujukan agar tidak ada lagi mahasiswa yang putus studi lantaran tidak ada dana. Menurutnya, saat ini masih banyak mahasiswa yang membutuhkan bantuan dana yang tidak dapat dipenuhi oleh beasiswa yang disediakan.

Didin menilai memang dibutuhkan kematangan di masyarakat dalam permasalahan kredit pendidikan. Ia mengatakan, apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini juga agar akses mengenyam pendidikan tinggi dapat lebih mudah diakses oleh seluruh masyarakat[.]

Reporter : Taufiq Hidayatullah

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *