Suara dari Daerah yang Terdepan Sekaligus Tertinggal
Polemik ketidakjelasan status dosen dan tenaga kependidikan Perguruan Tinggi Negeri Baru (PTNB) terjadi tak hanya di Pulau Jawa. Mulai dari mereka yang ikut membangun kampusnya dari awal, namun tak mendapat posisi strategis, hingga gaji dibawah UMR.
Aspirasionline.com – Kamis (18/5) lalu, massa yang terdiri dari dosen dan tenaga kependidikan (tendik) PTNB itu mengutarakan tuntutannya kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. “Kami sudah tidak percaya lagi dengan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, red). Sudah kami tolak,” ujar salah satu dosen dari Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), Zainuddin Losi.
Semenjak penegerian, status para dosen dan tendik PTNB menjadi abu-abu. Menurut Zainuddin, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) Nomor 5 Tahun 2014 menjadi salah satu penyebab ketidakjelasan status ini. Di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa syarat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah dengan menempuh ujian. “UU ini tidak bisa diberlakukan kepada kami karena kami ini dosen tetap. Jadi kami menolak pemberlakuan UU yang tidak adil ini,” jelasnya.
Hingga kini, mereka belum mendapat kejelasan status dikarenakan Surat Keputusan (SK) yang mereka miliki adalah keluaran dari yayasan yang sudah dibubarkan. Salah seorang dosen Politeknik Negeri Bengkalis, Malik Ahmad menjelaskan bahwa adanya SK Honorer hanyalah akal-akalan dari rektor atau direktur yang tidak memiliki kekuatan hukum. “Ini masalah krusial. Nantinya bisa saja Inspektorat mengatakan bahwa pembayaran gaji selama ini ilegal karena statusnya tidak jelas,” ujarnya.
Ketidakjelasan status ini menimbulkan permasalahan pada kesejahteraan dosen dan tendik yang masih berada dalam naungan yayasan lama. Bahkan Zainuddin mengatakan bahwa gaji yang diterima oleh dosen dan tendik Unsulbar berada di bahwa Upah Minimum Regional (UMR) Sulawesi Barat, yaitu sebesar Rp. 1.800.000,-. UMR di Sulawesi Barat sendiri adalah Rp. 2.017.780,-
Zainuddin berkata bahwa sebelum penegerian, gaji yang mereka terima jauh lebih banyak dibandingkan setelah penegerian. Meskipun tidak memiliki gaji tetap, namun ada tunjangan lainnya yang jika ditotal justru lebih menyejahterakan. Semenjak penegerian pada 2013, tunjangan yang mereka terima diberhentikan karena tidak ada di dalam anggaran. “Penegerian itu memiskinkan kami yang sudah sejahtera,” ujar lulusan Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia ini.
Senada dengan Zainuddin, Wakil Rektor III Universitas Bangka Belitung Fadillah Sabri mengatakan bahwa gaji yang diterima semenjak penegerian mengalami penurunan. Ada yang di bawah UMR, ada juga yang tidak. Namun, gaji mereka tetap berada di bawah Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Berbeda dengan Zainuddin dan Fadillah, Malik dan rekan-rekannya di Politeknik Negeri Bengkalis memiliki nasib yang lebih beruntung. Ia berujar bahwa setelah penegerian pada tahun 2011, kesejahteraan yang mereka rasakan tetap sama. Hal ini dikarenakan kepedulian dari Pemerintah Daerah (Pemda) Riau. Selama enam tahun, Pemda Riau memberikan bantuan berupa dana hibah yang digunakan untuk membayar gaji mereka selama ini. Menurutnya, gaji mereka tak berkurang sepeser pun.
Non-PNS yang Terpinggirkan
Selain penurunan kesejahteraan, hal lain yang dikeluhkan oleh para dosen dan tendik PTNB adalah larangan bagi para karyawan non-PNS untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Seperti jabatan Rektor, Wakil Rektor II, dan bidang-bidang lain yang berhubungan dengan keuangan serta sarana dan prasarana. Namun, menurut Malik, kenyataan yang terjadi di lapangan adalah tidak semua pimpinan memahami hal ini. Akibatnya, seluruh jabatan yang ada hanya bisa diduduki oleh PNS.
Padahal banyak dosen dan tendik PTNB yang merupakan pendiri dari perguruan tinggi atau telah berpuluh-puluh tahun mengabdi dan membangun perguruan tinggi tersebut. “Ini kan ibaratnya kapal sudah mau berlayar, tapi yang membuat kapal tidak dibawa, malah dibuang ke laut. Orang baru masuk yang akan mengendarai kapal tersebut,” ucap salah satu pendiri Politeknik Negeri Bengkalis itu.
Senada dengan Malik, Zainuddin pun mengecam dengan keras kebijakan ini. Menurutnya, mereka telah lama mengabdi dan membangun perguruan tinggi tempat mereka bernaung. Namun, kedudukan tinggi di tempatnya hanya bisa diduduki oleh PNS sedangkan mereka sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. “Padahal mereka tidak ikut membangun sejak awal. Hak kami dibedakan dengan PNS, sehingga wajar apabila kami menuntut keadilan,” ujarnya.
Ketidakjelasan status dan ketidakadilan yang mereka terima tak membikin mereka putus asa. Malik berujar bahwa ia dan rekan-rekannya sudah berkomitmen untuk bergabung dengan rekan-rekan lainnya yang bernasib sama dan berjuang bersama. Menurut Dosen Bahasa Inggris, ini jika ia mencari pekerjaan di tempat lain, maka ia telah lari dari perjuangan dan kenyataan. Karena itu ia berharap agar tuntutan yang mereka perjuangkan dikabulkan dan pemerintah segera mengeluarkan peraturan tentang pengangkatan mereka menjadi PNS. “Negerikan kita sebagai SDM-nya (Sumber Daya Manusia, red). Jangan hanya ambil aset-aset fisiknya,” tutup Zainuddin menambahkan.
Reporter : Aprilia Zul P. |Editor : Hersa Khoirunnisa.