Ripped Pages

Sastra

Di bawah temaram lampu kamar, aku memeluk lututku dengan erat mencoba mencari kehangatan sekaligus berharap bahwa dengan hal ini, aku mampu menghapuskan segala jeritan keputusasaan yang terus terngiang di kepalaku.

Mulutku tak berhenti berdesis karena merasakan sebuah kesakitan. Sebuah kesakitan yang tak mampu aku jelaskan lewat kata-kata. Kesakitan yang tak memberimu waktu untuk bersiap-siap. Kesakitan yang akan menerjang kapanpun. Kesakitan yang bergerumul di batinmu. Sejenak kulihat kaca di kamarku yang memantulkan sosok dengan rambut berantakan, mata sembap dan bibir yang pucat di sudut ruangan. Aku tersenyum sinis. Betapa memalukannya diriku saat ini.

Aku membiarkan punggung ini bersandar di dinginnya tembok putih kamarku. Seolah hanya dia, tempatku bersandar untuk beristirahat dari segala kepenatan. Ingin rasanya aku menangis namun tak kunjung setetes air matapun keluar. Kurasa kantong air mataku sudah menemui waktu untuk berhenti beroperasi. Aku membenturkan kepalaku ke arah tembok dan mulai mengutuk semua yang telah merubahku menjadi seorang wanita kerdil nan lemah seperti ini. Tak memiliki kemampuan untuk melawan atau sekedar meminta bantuan. Tak punya kesempatan untuk mengendalikan dirinya sendiri.

Kau tau bagaimana rasanya ada di dalam sebuah ruangan berbentuk kubus yang sempit dan tidak ada jendela atau pintu disana? Orang yang mengidap claustrophobia pasti dapat membayangkannya. Tempat itu akan membuatmu kesulitan bernapas karena hawa pengap yang menenggelamkanmu perlahan demi perlahan. Setelah membaca kondisi, lalu kau mulai mencoba menggunakan seluruh tenaga yang kau miliki untuk keluar dari tempat itu. Kau bahkan melukai dirimu sendiri. Sampai akhirnya kau memanfaatkan tenaga terakhirmu untuk berteriak dan menangis. Memohon dengan amat sangat berharap ada seseorang yang mendengarkan jeritan pilumu itu. Namun, hasilnya nihil. Kau terjebak selamanya di tempat itu. Tak ada jalan keluar. Setelah kau ditampar oleh kenyataan kau tak dapat tertolong, kau hanya terduduk lemas lalu memeluk tubuhmu. Mencoba memberikan stimulus bahwa ‘Kau akan baik-baik saja’ atau ‘Kau dapat melewati ini’ kepada dirimu namun sekali lagi itu sia-sia. Semakin kau mencoba bangkit, hawa pengap semakin mencekikmu. Berharap kau mati, itulah yang sedang aku rasakan.

Stimulus itu tak cukup ampuh membunuh mereka yang terus menerus berteriak lantang di kepalaku. Seolah mereka mengejekku karena tak mampu mengambil alih atas tubuhku sendiri.

“Kau bodoh. Seharusnya kau tak dilahirkan,” ucap sosok dalam pikiranku.

“Lihat, orang lain berada selangkah lebih depan dari pada kau. Akui saja kalau kau memang pecundang,” kali ini ia berkata sambil menatapku tajam dan tertawa sinis.

“Kau tak akan pernah bisa sebahagia mereka. Cih. Teganya kau membandingkan dirimu yang hina dengan mereka?” dan sekarang suara lain mulai menimpali.

“Kau harus tahu tempatmu. Kau tidak cantik. Kau tidak kaya. Kau sangat biasa. Wajar jika kau adalah kaum terbuang. Camkan,” sekarang suara itu semakin kencang dan memaksamu merasakan kesakitan itu lagi.

Cukup.

Berhenti.

Tidak. Jangan.

Kumohon berhenti.

Aku bilang berhenti.

Aku berdiri dari posisi semulaku. Sejenak aku sempat linglung karena tak mampu menopang berat badanku sendiri. Padanganku sedikit kabur dan kakiku benar benar tak dapat diajak bekerja sama. Aku rasa dalam beberapa detik, aku akan roboh. Sebelum hal tersebut terjadi, dengan cepat aku mengambil pisau kecil bewarna perak di ujung tepinya. Pisau itu tergeletak di meja belajarku.

Ah tidak. Aku jatuh terduduk di lantai. Namun, terukir senyum puas setelah akhirnya aku mendapatkan pisau itu.

“Kalian diam. Atau aku akan mengakhiri semuanya. Kalian tahu aku tak pernah main-main,” ujarku setengah berbisik kepada sosok yang mendiami kepalaku. Namun mereka tidak berhenti. Mereka kembali mengingatkanku bahwa aku manusia yang lemah, pecundang, tak berguna dan layak untuk mati. Tidak bisakah kalian berhenti. Aku sudah menyadarinya bahwa memang aku manusia yang tak berguna. Tak ada gunanya memperjelas. Netraku menggelap karena air mata yang mendesak keluar. Kukira air mataku sudah habis setelah kukuras beberapa hari ini. Aku menghembuskan nafasku dengan dalam lalu mengarahkan tengan lemahku yang menggegam pisau ke arah pergelangan tangan.

“Baiklah kalau ini mau kalian,”

Bau anyir mulai menyeruak masuk ke indra penciumanku setelah aku berhasil membuat luka goresan yang dalam di pergelangan tanganku. Cairan berwarna merah pekat keluar dengan deras dari sayatan yang aku torehkan. Sejenak, bisikan di kepalaku mulai mereda. Pening yang aku rasakan mulai berkurang.

Aku mendongakkan kepalaku. Masih di tempat yang sama. Di kubus sempit nan pengap, namun kini aku bisa mulai bernapas. Aku menikmati kesunyian sambil menikmati tetes demi tetes darah yang keluar sebagai alunan lullaby yang selama ini aku impikan. Rasa kantuk kini mulai menyerangku. Kelopak mataku mulai menutup.

Namun kemudian aku dibuat sadar ketika kaca yang membentuk kubus itu mendadak retak. Awalnya sedikit lalu mulai membesar. Aku ketakutan sambil menanti apa yang akan terjadi. Tak lama kubus itu pecah. Aku terhisap kebawah bersama serpihan kaca menuju tempat entah berantah. Nyaring sekali suara pecahan yang dihasilkannya. Namun ada yang aneh pikirku. Aku juga mendengar suara pintu digebrak lalu diikuti dengan suara derap langkah seseorang.

“Adek!!” ah, itu suara kakakku. Namun aku tak melihat wujudnya. Aku berteriak meminta bantuannya. Aku takut. Sekelilingku gelap tak ada penerangan sama sekali. Aku terus meronta namun tubuhku tetap dalam keadaan terjatuh tak berkehabisan.

Kakakku sepertinya mengambil sebuah kain untuk menutupi lukaku. Sedetik kemudian, ia memeluk tubuhku yang lemah. Mengelus surai coklatku. Memegang pipiku untuk menyadarkanku. Namun nihil. Aku tak disana kak. Aku disini. Aku ketakutan. Bagaimana ini kak, aku hanya mendengar suaramu namun tidak wujudmu.

“Ayah! Ibu! Telpon rumah sakit,” kakakku berteriak cukup kencang. Suaranya terlihat sangat panik namun mencoba untuk tenang.

Kakakku mulai terisak kemudian memelukku semakin erat. Tak lama kemudian aku mendengar derap langkah lain menuju kamarku. Kemudian suasana mendadak ricuh tak terkendali. Ibu meraung-raung sedangkan ayah terdengar mencoba menenangkannya sekaligus mencoba menelpon rumah sakit. Namun aku masih mendapati suaranya yang bergetar karena ketakutan. Apa yang telah aku perbuat?

Keadaanku masih melayang jatuh bersama pecahan kaca.  Aku mencoba menggerakan netraku. Aku mulai bergerak tak karuan berusaha mencari celah agar aku mampu mengendalikan tubuhku lagi dengan segenap kekuataan yang aku miliki. Aku berdoa minta agar diselamatkan. Hal yang mungkin jarang aku lakukan. Ajaibnya tubuhku mendadak ringan. Aku tertarik oleh sesuatu kemudian semua menjadi putih. Sedetik kemudian aku ada disebuah hamparan rumput yang hijau. Tak ada luka sayatan dan darah. Semua terlihat baik-baik saja.  Ttak hanya itu, aku mampu mengendalikan tubuhku kembali.

Mungkinkah aku sudah ada di surga? Suara kecil di batinku mulai bertanya.

Kemudian datang seorang perempuan dengan surai hitam legam yang mengkilap, dress sutra indah yang melekat pada tubuhnya dan senyuman yang ia torehkan padaku.

“Kau tahu kau mampu melakukannya. Tak apa menjadi berbeda dengan yang lain. Kau layak mendapatkan segala kasih sayang dan cinta yang melimpah. Ingat itu sampai kapanpun,” ia berbicara padaku dengan suaranya yang lembut.

“Siapa kau?”

“Tak perlu tahu dan tak penting untuk tahu. Sekarang kembalilah. Dengarkan suara mereka yang mencintaimu. Jangan pernah menyerah apapun keadaan yang kau alami,” kemudian ia menghilang diiringi dengan hembusan angin yang terasa sejuk menerpa wajahku.

Tak lama kemudian aku mendengar suara ayah, ibu, kakak dan beberapa suara lain yang akrab di telingaku. Ah, mungkin temanku. Mungkin juga tidak. Suara mereka berasal dari langit. Aku mengikuti perintah perempuan tersebut. Berlari dan berlari bertelanjang kaki. Menikamati sensasi rumput basah yang aku injak. Sungguh rasanya menyenangkan.  Lalu semua gelap.

Tak lama setelahnya, aku tersadar dan  mencium bau yang selama ini aku benci. Bau khas rumah sakit dan obat-obatan. Dengan kekuatan seadanya aku mencoba mengerjapkan mata. Percobaan pertama terasa sangat berat sekali. Namun aku berhasil membuka mataku. Ayah dan ibu ada di sebelah ranjang yang kutiduri. Mereka menggenggam tanganku erat sembari tertunduk dan berdoa. Telingaku menangkap rintihan kesedihan yang cukup mendalam. Ingin rasanya aku merengkuh tubuh tua mereka dan mengatakan aku baik-baik saja. Keadaan kakakku nyaris serupa dengan kedua orang tuaku. Matanya memerah. Tubuh kurusnya terlihat letih. Ia terus merutuki dirinya yang dianggap telah lalai menjagaku. Oh, lihat perbuatanku.

Kedua sahabatku saling berpelukan di  belakang kakakku. Mencoba membangunkan aku dengan berbagai macam ucapan. Terselip untaian kata tulus di dalamnya. Ah, aku rindu bermain dengan mereka.

“Kau sudah bangun?!” Sontak semua perhatian tertuju padaku. Kakakku menjadi orang pertama yang memeluk tubuh ringkihku.

“Kenapa kau menanggungnya sendirian? Sungguh aku kakak yang tidak becus. Kau harus tahu aku, ayah, ibu dan teman-temanmu menyayangimu melebihi apapun di dunia ini. Aku tidak akan menginterogasimu mengenai alasan kau berbuat demikian. Aku hanya akan memelukmu dan mengatakan bahwa kau akan baik-baik saja. Kau berharga. Kau patut untuk dicintai. Jadi cepatlah sembuh”

Aku tertegun. Selama ini ternyata aku bukan memerlukan orang yang mendengarkan ceritaku. Karena aku sadar  sebagian besar dari mereka hanya penasaran lalu setelah itu mencoba mengguruiku dengan berbagai macam solusi yang terbaik menurut mereka. Aku hanya perlu pelukan. Ya, sesederhana itu. Aku butuh orang yang memelukku di masa-masa terkelamku lalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Semua akan selesai pada waktunya. Aku mampu melewatinya. Aku kuat.

Cairan bening mulai keluar dari netraku. Ah. Kenapa aku terlambat menyadarinya. Mereka obat yang selama ini aku cari. Lalu keadaan menjadi mengharu. Semua orang memelukku. Terima kasih sudah memberikan kesempatan padaku untuk bertemu mereka yang mencintaiku.

“Baiklah, silahkan masuk,”

Pintu berderit dan menampakkan seorang wanita mungil berwajah pucat dan terlihat letih. Ia berjalan pelan kearahku. Keadaannya mengingatkanku pada keadaan yang menimpaku beberapa waktu silam.

“Duduklah, nikmati waktumu disini teman. Kalau tak salah temanku hari ini bernama Ciara. Apakah aku benar?” Ia mengangguk namun tak kunjung duduk.

Aku mendekatinya lalu memeluknya. Pelukan hangat seorang teman kepada teman lama. Ya, teman lama. Aku melihat sosok yang dulu sempat menghantuiku beberapa waktu silam bersemayam di dalam tubuhnya. Mencoba mengerogoti jiwa seorang perempuan yang baru aku temui selama lima menit ini. Tetapi aku tetap memanggil sosok itu sebagai teman. Teman yang memberikanku banyak pengajaran. Teman itu bernama depresi.

“Kau kuat. Kau mampu melewatinya. Aku tidak akan bertanya alasan kau kesakitan kecuali jika kau mau membagikannya denganku. Mungkin itu dapat meringankanmu. Kalau tak, biarkan aku memelukmu dan mengusap kepalamu. Hanya satu hal yang harus kau patri. Kau berharga. Kau patut dicintai. Kau istimewa. Jangan pernah melukai dirimu sendiri. Aku tau kau mampu melewati ini. Camkan itu,” ucapku sambil mepuk-nepuk bahunya.

Ia mulai menangis dalam diam.

“Tak apa. Ketika kau merasakan hal ini. Kau tak perlu melawannya. Ibarat buku, merobek satu halaman akan membuat keseluruhan isi buku menjadi tak padu. Walaupun itu bagian yang kau benci, tak usah merobeknya. Biarkan ia tetap ada. Kau hanya pikirkan apa yang bisa kau lakukan untuk memperindah bagian tersebut. Depresi bisa kau lewati dengan bersama orang-orang yang mencintaimu, menyayangimu dan memperlakukanmu dengan baik. Tak perlu melawan depresi, karena itu akan menyakiti dirimu sendiri. Depresi akan hilang ketika kau ada dalam lingkungan yang positif dan mencintaimu sesederhana itu, ”

Ya, tak usah merobeknya.

Kau hanya perlu mencintai dirimu sendiri dan bersama orang-orang yang mencintaimu. Cinta adalah sebuah bentuk yang mampu mengalahkan apapun didunia ini. Begitupun dengan  depresi.

Untuk kalian diluar sana yang berpikiran bahwa kalian tak berharga, kalian bodoh dan tak layak untuk hidup. Percayalah ada seseorang atau sekumpulan orang yang menyangi kalian dengan tulus tanpa alasan. Jadikanlah mereka alasan untuk tetap hidup. Jika tidak berhasil menemukannya, temui aku. Aku akan jadi orang pertama yang memelukmu.

Tertanda,

Seorang teman.

FIN.

Oleh : Thalitha Avifah Yuristiana,

mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), semester II.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *