Salah Paham Mengenai Kekerasan Seksual

Nasional

Aspirasionline.com – Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia dinilai bukan hanya karena kesalahpahaman masyarakat, namun budaya patriarki pun turut melegitimasi hal tersebut.

Kekerasan seksual bukan lagi menjadi topik yang baru dalam ranah media di Indonesia. Banyaknya kasus pemerkosaan membuktikan bahwa kesadaran masyarakat akan penghormatan dan perlindungan terhadap kaum perempuan sangat minim. Dalam kasus pemerkosaan itu sendiri, perempuan seringkali dianggap sebagai faktor utama dari tindakan kekerasan seksual yang menimpa dirinya sendiri. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Nisaa Yura dari lembaga Solidaritas Perempuan. “Ketika ada satu kasus kekerasan seksual, maka semua masyarakat nge-judge wanit karena menggunakan pakaian terbuka, karena sering pulang malam, karena duduk ngangkang,” ungkapnya dalam diskusi publik dengan tema Selaras Paham Lawan Kekerasan Seksual yang berlangsung di Coffeewar, Kemang, Minggu (29/5).

Nisaa mengungkapkan bahwa setelah kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, mereka justru belum sepenuhnya merasa aman. Ia menjelaskan banyak kasus dimana ketika wanita melaporan kejadian kekerasan seksual, mereka mengalami reviktimisasi atau ‘menjadi korban lagi’ yang acap kali dilakukan baik oleh polisi, lingkungan masyarakat, bahkan keluarga.

Lalu dengan melihat akar permasalahan, maka akan terlihat berbagai tindakan dan reaksi negara terhadap kasus itu sendiri. Nisaa pun meragukan mengenai hukuman kebiri kimiawi yang wacananya akan dilakukan ke pelaku kekerasan seksual. Ia berpikir hal tersebut tidak menutup kemungkinan pelaku akan melakukan lagi kekerasan setelah masa hukumannya selesai. “Disini hanya dilihat dengan kacamata sempit,” tegasnya.

Nisaa mengatakan adapun mindset yang telah membudaya bahwa laki-laki memperkosa karena mereka merasa memiliki hak atas tubuh wanita, bahwa tubuh perempuan dapat dikontrol. “Dan ironisnya mindset itu yang dianut oleh negara kita, negara kita yang mengontrol tubuh perempuan dengan membuat kebijakan-kebijakan Peraturan Daerah di beberapa daerah seperti di Aceh dan Kediri, yang mengatur tentang tata cara berpakaian perempuan,” katanya.

Berdasarkan salah satu penelitian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa lebih dari 70% perkosaan dilakukan oleh pasangan baik kekasih ataupun yang sudah sah menjadi suami istri. “Hal ini menandakan bahwa pria merasa punya kuasa terhadap perempuan. Perkosaan bukan hanya sekedar libido, perkosaan bukan sekedar ingin berhubungan seksual, tapi mindset yang selama ini berlaku dan dilegitimasi dan diteruskan oleh budaya patriarki yang sampai saat ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tapi belahan dunia lainnya,” jelasnya panjang lebar. Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial, dengan wanita berada dibawahnya.

Dalam merubah mindset berarti kita perlu mengubah budaya. Dan budaya itu tidak lepas dari hukum, pendidikan, media, hingga opini publik. “Jadi saya pikir dari sini saja sebenernya mau seperti apa pun hukumnya kalo secara perspektif dan mindset tidak berubah, cara apapun tidak berubah, kekerasan seksual akan selalu ada. Jangan sampai Rancangan Undang-Undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual malah mengatur perempuan dengan alasan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual,” ujarnya.

Dalam paparannya didiskusi publik tersebut, Nisaa menegaskan bahwa bukan hanya aktivis saja yang dapat melawan kekerasan seksual, tetapi setiap orang bisa, sebab kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja. “Berusaha merebut wacana publik dan melawan stigma masyarakat yang sudah terprovokasi mindset patriarki,” tutupnya.

Reporter: Salma Decilia |Editor: Haris Prabowo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *