Pendidikan Mulai Diperdagangkan, Pers Mahasiswa Melawan
Komersialisasi pendidikan mendapatkan perhatian dari pers umum dan pers mahasiswa. Perhatian yang begitu luas menunjukkan bahwa komersialisasi pendidikan tidak hanya merupakan isu kampus melainkan juga isu nasional.
Pers mahasiswa pun menunjukkan keberpihakan yang tegas. Mereka memposisikan diri anti komersialisasi pendidikan.
Wacana komersialisasi pendidikan memunculkan perdebatan berdasarkan perspektif ideologi neoliberal dan sosial demokrat. Mereka yang mengusung ide neoliberal –liberalisme ortodoks– menganggap bahwa campur tangan negara dalam dunia pendidikan tinggi mesti dihilangkan. Konsekuensinya, biaya kuliah begitu mahal dan ditanggung oleh masyarakat.
Di sisi lain, kelompok sosial demokrat menganggap bahwa komersialisasi pendidikan merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokratisasi yang diamanatkan dalam konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945.
Di negara-negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia pendidikan itu gratis. Akses masyarakat terhadap pendidikan dibuka seluas-luasnya. Bahkan di Amerika Serikat yang sering dianggap paling liberal, pemerintah mengusahakan warganya bisa mengakses pendidikan tinggi terutama di universitas negeri. Dengan kata lain, komersialisasi lebih banyak terjadi di universitas swasta.
Perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan muncul ketika pers mahasiswa masih dilanda dilema sebagai konsekuensi dibukanya keran demokrasi pada 1998. Perubahan sistem politik secara drastis memaksa pers mahasiswa menyesuaikan diri.
Dilema tersebut muncul karena di negara berkembang seperti Indonesia, mahasiswa memang dituntut sumbangan pemikirannya terhadap masalah sosial, ekonomi, dan politik kemasyarakatan sejak ia masih duduk di bangku kuliah. Secara naluriah mahasiswa akan terus mempertanyakan apabila kondisi negeri tidak sesuai dengan harapan ideal seperti yang ia pelajari di kelas. Maka, pers mahasiswa yang dikelola oleh para mahasiswa juga secara otomatis akan terdorong untuk menyajikan informasi yang berkaitan dengan masalah kebangsaan.
Pada titik ini, pers mahasiswa harus merumuskan kembali peran dan posisi agar tetap bisa menunjukkan eksistensinya.
Di negara maju, pers mahasiswa secara jelas berorientasi pada komunitasnya sendiri yaitu sivitas akedemika. Ia menjadi satu komunitas surat kabar. Sebabnya, nyaris tidak ada celah bagi pers mahasiswa untuk menulis berita-berita nasional. Penetrasi internet pun mencapai angka 70% sampai 80%. Kondisi ini membuat pers mahasiswa tidak memiliki celah untuk ikut mengangkat isu nasional.
Bila dibandingkan dengan Indonesia, kondisi berbeda jauh. Oplah media cetak sebesar 20 juta dan 300 stasiun televisi untuk 200 juta penduduk. Sementara penetrasi internet hanya berkisar di angka 20%. Celah ini yang bisa digunakan pers mahasiswa untuk tetap menunjukkan eksistensinya. Konteks tersebut berguna untuk memahami problem yang melanda pers mahasiswa. Peranan ganda dalam mengangkat isu nasional sekaligus isu lokal tetap harus diambil. Namun pendekatan dalam dalam peran ganda tersebut mesti diubah.
Dalam sistem demokratis, informasi yang ditampilkan mesti menampilkan sudut pandang atau perspektif yang berbeda. Penerapan prinsip-prinsip jurnalistik yang ketat menjadi pegangan dalam menyajikan informasi tersebut. Ketika sudah memutuskan bergerak di dunia pers, pers mahasiswa mesti peduli terhadap prinsip-prinsip jurnalistik. Berita yang ditampilkan harus bisa diverifikasi kebenarannya.
Dilema amatirisme dan profesionalisme yang merupakan persoalan klise pers mahasiswa tidak akan pernah berakhir. Profesionalisme menuntut keterampilan dalam mengelola organisasi, dari mulai rutinitas periode terbit sampai pembiayaan penerbitan. Namun karena pengelolanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang dibatasi waktu aktif kuliah di kampus maka sifat amatirisme menjadi tak terhindarkan.
Dilema tersebut juga merupakan konsekuensi dari peran ganda pers mahasiswa. Hal tersebut bisa menjadi kekurangan sekaligus juga kelebihan. Geraknya yang bebas membuat pers mahasiswa bisa memberitakan berbagai berita tanpa takut diberedel..
Gerak bebas inilah yang semestinya bisa dimanfaatkan. Apalagi perkembangan teknologi internet membuat pers mahasiswa memiliki banyak pilihan untuk menerbitkan tulisan-tulisannya dengan mengabaikan keterbatasan dana. Jaringan organisasi pers mahasiswa di tingkat nasional juga tidak bisa dipinggirkan. Sebagai sebuah jaringan, organisasi di tingkat nasional dibutuhkan sebagai ajang tukar pikiran sesama pers mahasiswa.
Sampai di sini, kehadiran buku ini menjadi penting di tengah minimnya literatur tentang pers mahasiswa. Studi ini melengkapi kajian Amir Effendi Siregar (1983), Francois Raillon (1985), Ana Nadhya Abrar (1992), Didik Supriyanto (1998), serta Satrio Arismunandar (2005). Selain melengkapi literatur tentang pers mahasiswa, buku ini juga membantu para pegiat pers mahasiswa untuk melihat gejala atau problem yang selama ini melanda. Dengan pembacaan atas gejala, ia berguna untuk melihat posisi dan peran pers mahasiswa Indonesia.
Judul : Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan
Penulis : Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit : Indie Book Corner
Tahun Terbit : 2013
Tebal : vii+161 halaman
Penulis : Sultan M. Fadhil