Konferensi Pers Amnesty International Indonesia 2024/2025 mengungkap polemik HAM serta kebebasan pers Indonesia yang kian tercekik.
Aspirasionine.com – Amnesty Internasional Indonesia telah merilis laporan tahunan Hak Asasi Manusia (HAM) 2024/2025 dalam konferensi pers bertajuk “Dunia makin Otoriter?” pada Selasa, (29/4).
Berdasarkan siaran langsung Youtube Amnesty International Indonesia, yang meliputi 150 negara, laporan ini mengungkapkan tren global yang mengkhawatirkan.
Dalam laporannya, Amnesty menilai dunia kian terjerumus ke dalam otokratisme. Hal ini ditandai dengan adanya pelemahan supremasi hukum, pembungkaman kebebasan berekspresi, penyalahgunaan teknologi yang melanggar HAM, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan pengingkaran komitmen iklim global.
Lebih lanjut, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, juga menyatakan bahwa pengingkaran perjanjian oleh para pemimpin negara telah menjadi pemicu ketimpangan global. Namun, yang lebih memprihatinkan, Usman mengungkapkan bahwa kelima fenomena tersebut kerap terjadi di Indonesia.
“Fenomena pengingkaran kebijakan-kebijakan Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim yang dilakukan oleh banyak pemimpin negara sehingga mengakibatkan ketimpangan sosial, ekonomi dan juga lingkungan seluruh dunia. Nah, kelima fenomena inilah yang sebenarnya juga terjadi di Indonesia,” ungkap Usman dalam konferensi pers pada Selasa, (29/4).
Kilas Balik Karut-marut HAM di Indonesia
Di Indonesia sendiri, demonstrasi publik belakangan ini kerap dibalas dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Aksi #PeringatanDarurat pada Agustus 2024 menjadi bukti nyata dari situasi tersebut.
Kondisi ini diperkuat dengan adanya penangkapan ratusan massa aksi, puluhan korban luka-luka, termasuk jurnalis yang turut mengalami pemukulan dan intimidasi oleh aparat keamanan.
Hal ini menunjukkan pola kekerasan yang semakin mengkhawatirkan dalam penanganan aksi protes di Indonesia. Respons aparat yang represif terhadap suara-suara kritis, bahkan ketika aksi dilakukan secara damai.
“Ketika aparat melakukan kekerasan dan kekuatan berlebihan setiap ada pandangan yang kritis terhadap pemerintah. Padahal mayoritas ekspresi itu sangat-sangat damai, sangat sah. Serangan berulang ini kemudian menjadi norma baru,” terang Usman Hamid.
Usman turut menuturkan bahwa kini aparat bahkan tak ragu menggunakan gas air mata di pemukiman warga. Diperkuat dengan video kekerasan di Bandung dan Semarang yang mendapatkan validasi publik, namun pelaku tetap bebas.
Kekerasan fisik dan verbal oleh negara bukan lagi pengecualian, tetapi kini seolah menjadi prosedur standar, dan yang lebih buruk, dianggap sebagai hal yang normal.
“Seolah-olah memukul demonstran dan wartawan itu tidak salah, bahkan menyiksa mereka itu tidak salah. Itu adalah normalisasi apa yang sebenarnya tidak normal dalam sebuah kerangka norma,” ujar Usman.
Temuan Amnesty International Indonesia menjelaskan ada 123 kasus serangan terhadap pembela HAM. Kasus ini meliputi dilaporkan polisi, penangkapan sewenang-wenang, bahkan dikriminalisasi.
“Serangan terhadap kebebasan berekspresi ini juga ditujukan kepada para pembela hak asasi manusia. Ada 123 kasus serangan terhadap pembela HAM dalam 1 tahun terakhir,” ujar Usman.
Laporan Amnesty yang dirilis pada Mei 2024 juga mengungkap temuan mengejutkan terkait praktik pengawasan digital secara tidak sah di Indonesia.
Penelitian tersebut menyoroti aktivitas Indonesia dalam pembelian dan penggunaan perangkat pengintai (spyware) serta teknologi pemantauan canggih yang dilakukan antara tahun 2017 hingga setidaknya 2023. Aktivitas ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap ancaman terhadap kebebasan sipil dan hak privasi.
“Jelas sekali Indonesia membeli peralatan sadap itu dari Israel, dari Yunani, dari Singapura, dan lewat Malaysia. Dan alat-alat sadap itu sangat berbahaya untuk kebebasan berekspresi, untuk kebebasan pers, untuk privasi warga. Karena itu, harus ada transparansi,” jelas Usman.
Perangkat tersebut diketahui diimpor dan digunakan oleh berbagai institusi nasional, termasuk Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan sejak 2022 dan resmi diberlakukan per 17 Oktober 2023, pelaksanaannya dinilai belum optimal. Pemerintah belum sepenuhnya membentuk badan pengawas data independen yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU), maupun merampungkan seluruh aturan pelaksanaanya.
Putu Elvina, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), turut menegaskan bahwa pengintaian ilegal bukanlah cara yang tepat dan tentu saja bertentangan dengan hak asasi manusia.
“Kebijakan terkait pengintaian ilegal, spyware tentu saja ini bertentangan dengan HAM dan tentu saja ini bagian dari upaya mengontrol masyarakat, tetapi dengan cara yang tidak tepat,” pungkas Putu Elvina pada Selasa, (29/4).
Pembungkaman Pers jadi Korban Otoritarianisme di Indonesia
Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menilai bahwa gejala otoritarianisme di Indonesia bukan lagi sekedar kekhawatiran, tetapi sudah menjadi kenyataan yang nyata dan dekat.
“Menurut saya pribadi, kalau dalam konteks Indonesia, bukan lagi apakah Indonesia makin otoriter, tapi otokratis sudah di ruang tamu kita gitu loh,” tegas Setri dalam Konferensi Pers Amnesty pada Selasa, (29/4).
Situasi ini semakin mengkhawatirkan, ditandai dengan tindakan doxing yang menimpa jurnalis Tempo. Nomor Whatsapp milik wartawan Tempo, termasuk keluarga mereka, diambil alih, sebagai bentuk tekanan mental dan pembungkaman.
“Cica, wartawan Tempo yang dikirim itu (kasus teror kepala babi dan bangkai tikus), nomor Whatsapp ibunya diambil orang,” ungkap Setri.
Setri turut menegaskan turunnya indeks kebebasan pers indonesia dan kekerasan terhadap jurnalis. Dalam 2024 saja, terjadi setidaknya 123 serangan terhadap pembela HAM, termasuk jurnalis yang mengalami kriminalisasi, intimidasi, hingga percobaan pembunuhan.
“Data-datanya sudah begitu terang. Indeks kebebasan pers nasional turun, (termasuk) indeks kebebasan pers Indonesia yang dirilis oleh lembaga internasional turun,” ungkap Setri.
Bagi Setri, ancaman terhadap jurnalis tak bisa dipandang sebelah mata. Ia menekankan bahwa fungsi pers dijamin oleh konstitusi, sehingga setiap tindakan intimidasi adalah pelanggaran langsung terhadap hak asasi.
“Mereka (wartawan) itu menjalankan pekerjaan profesinya yang dijamin oleh konstitusi untuk memenuhi Asasi warga negara mendapat informasi. Kan itu kan fungsi pers tuh itu. Jadi kalau mereka diintimidasi dan diteror sama saja ini melanggar hak asasi dua ini. Hak asasi wartawan sebagai pekerja pers, dan hak asasi publik untuk mendapatkan informasi,” tukas Setri.
Foto: Youtube/Amnesty International Indonesia
Reporter: Zahra Awaliany S | Editor: Tia Nur