Terjebak Stigma: Tantangan Vokasi dalam Bayang-Bayang S1 di Dunia Kerja
Ketimpangan antara mahasiswa S1 dan vokasi kian terasa, terutama dalam program MSIB yang lebih banyak diikuti mahasiswa S1. Stigma di dunia kerja juga memperkuat pandangan bahwa S1 lebih unggul dibandingkan Vokasi, meskipun keterampilan Vokasi lebih siap di dunia kerja.
Aspirasionline.com – Pendidikan Sarjana (S1) dan pendidikan Vokasi kerap menjadi topik perdebatan dan perbandingan di masyarakat. Perdebatan ini menimbulkan stigma bahwa mahasiswa S1 dianggap lebih unggul dibandingkan Vokasi. Akibatnya, mahasiswa Vokasi seringkali dipandang sebelah mata, meskipun mereka memiliki keterampilan praktis yang lebih siap diterapkan di lapangan kerja.
Sayangnya, stigma tersebut tidak hanya berkembang di kalangan masyarakat umum, tetapi juga merambah ke dunia kerja, ketika mahasiswa S1 dinilai lebih berkompeten dibandingkan dengan mahasiswa Vokasi. Hal itu semakin terlihat jelas pada implementasi program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang diusung Nadiem Makarim pada tahun 2021 silam.
Program MSIB sendiri dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pengalaman praktis kepada mahasiswa. Namun, program ini justru memicu perdebatan mengenai ketidaksetaraan kesempatan antara mahasiswa S1 dan Vokasi.
Pasalnya, mahasiswa S1 sangat mendominasi kuota mahasiswa yang diterima pada program MSIB. Padahal, program magang seharusnya menjadi arena khusus mahasiswa Vokasi untuk mempraktikkan keterampilan mereka.
Namun, praktik yang terjadi justru mengakibatkan mahasiswa Vokasi merasa memiliki kesempatan yang terbatas, hal ini akhirnya menimbulkan ketimpangan antara kedua jenjang pendidikan tersebut.
Dampak Stigma Vokasi terhadap Peluang Kerja
Ketidaksetaraan peluang antara mahasiswa S1 dan Vokasi pada program MSIB bukan kali pertama terjadinya ketimpangan jenjang pendidikan yang memiliki dua fokus berbeda tersebut. Faktor penyebabnya bukan hanya diakibatkan oleh alokasi kuota penerimaan program MSIB yang tidak merata, tetapi juga oleh stigma yang berkembang di perusahaan.
Stigma ini memengaruhi bagaimana perusahaan memilih kandidat magang maupun pekerja, dengan anggapan bahwa mahasiswa S1 lebih mampu melakukan berbagai hal di dunia pekerjaan. Akibatnya, perusahaan seringkali lebih memprioritaskan mahasiswa S1 dibandingkan mahasiswa Vokasi.
Selain itu, stigma ini berasal dari anggapan bahwa Vokasi adalah jalur yang kurang bergengsi dibandingkan dengan S1. Dengan realita di lapangan pekerjaan yang menyebabkan mahasiswa maupun lulusan kedua jenjang pendidikan tersebut kerap bersaing untuk posisi yang sama, mahasiswa Vokasi mereka merasa lebih sulit untuk membuktikan kompetensi mereka di dunia kerja karena tingginya persaingan dan stigma yang berkembang.
Kesulitan ini juga disampaikan oleh pengguna X, @nosanitysane, dalam cuitannya pada Agustus lalu. Sebagai lulusan sekolah Vokasi, ia menyatakan bahwa banyak lowongan kerja yang lebih sering mensyaratkan kualifikasi S1. Padahal menurutnya, keterampilan yang diperoleh dari pendidikan Vokasi lebih siap dibandingkan lulusan S1.
Melalui unggahan di platform tersebut pula, ia merasa bahwasanya pekerjaan yang ditawarkan pun sebenarnya lebih sesuai dengan kurikulum Diploma 3 yang merupakan bagian dari pendidikan Vokasi. Oleh karena itu, ia merasa pemerintah perlu turun tangan untuk mengatasi ketimpangan ini agar lulusan Vokasi mendapatkan kesempatan yang lebih adil di dunia kerja.
Secara kurikulum, mahasiswa S1 lebih banyak menerima teori dibandingkan praktik. Namun, mengapa mahasiswa S1 seringkali dinilai lebih diterima dalam pekerjaan dibandingkan mahasiswa Vokasi?
Menurut publikasi jurnal bertajuk “Will Finding Employment be Easier for Higher Education Graduates?” yang ditulis oleh (Setyanti et al., 2021), pendidikan tinggi juga dipandang sebagai investasi yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan, sehingga pemegang gelar sarjana dianggap lebih menarik bagi perusahaan.
Pada dasarnya, kedua jalur pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda sehingga sangat terdengar tidak adil untuk dibanding. Pendidikan S1 lebih fokus pada pengembangan keterampilan dan pemahaman mendalam dalam disiplin tertentu, serta kemampuan berpikir analitis. Sementara itu, pendidikan Vokasi bertujuan mempersiapkan keterampilan praktis agar mahasiswa siap bekerja segera setelah lulus.
Oleh karena itu, ketimpangan yang terjadi seharusnya dipertimbangkan dengan lebih objektif, dan solusi untuk mengatasi ketidaksetaraan ini perlu melibatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebutuhan industri dan tujuan dari masing-masing jalur pendidikan.
Harus ada upaya yang lebih besar untuk memastikan bahwa semua mahasiswa, baik dari jalur S1 maupun vokasi, mendapatkan peluang yang setara untuk mengaplikasikan keterampilan mereka dalam dunia pekerjaan.
Hal ini tidak hanya akan memperbaiki ketimpangan yang ada, tetapi juga meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan di kedua jalur, sehingga lulusan dan mahasiswa dari kedua jalur tersebut dapat berkontribusi secara maksimal di dunia kerja.
Penulis: Safira | Editor: Natasya Oktavia
Ilustrasi: Syifa Aulia