Menyelami Kilas Balik Runtuhnya VOC melalui Wisata Sejarah Komunitas Bambu
Sejarah menjadi saksi bisu bahwa sesungguhnya tidak banyak yang berubah dari masa lalu, ketidakadilan masih dipelihara, korupsi terus terjadi, yang berganti hanya siapa yang melakukannya.
Aspirasionline.com — Datang dari arah selatan, banyak debu beterbangan menyambut kedatangan. Kiri dan kanan tampak banyak mobil tronton besar parkir dan berlalu lalang.
“Pasti sudah masuk daerah utara,” batinku dalam hati.
Aku pun mengitari daerah sekitar, rasanya tidak tampak seperti pintu masuk gedung bersejarah tempat dimana Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) dulu pernah berjaya. Nyatanya, lebih tampak seperti pintu masuk tempat parkir mobil tronton.
Setelah berjalan memasuki tempat tersebut, di sebelah kanan terlihat markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sepi seperti tak bertuan. Di depannya, tepatnya di kolong jembatan jalan tol, terdapat bangunan semi permanen yang dihuni warga.
“Para pekerja VOC di Hindia Belanda sebenarnya orang-orang Belanda yang di negaranya kurang mendapat status sosial dan pekerjaan yang sangat menguntungkan, maka mereka mempertaruhkan nasib mengarungi lautan berbulan-bulan untuk mencari peruntungan di tanah Hindia,” jelas seorang sejarawan, JJ Rizal, yang menjadi narasumber Wisata Sejarah Ke-29 yang digelar Komunitas Bambu di Gudang Timur, Jakarta pada Sabtu, (29/06).
Sekadar informasi, JJ Rizal merupakan sejarawan yang sudah malang melintang di dunia sejarah. Dirinya aktif mengkampanyekan situs-situs sejarah yang mulai dilupakan, salah satunya Gudang Timur.
Gudang timur merupakan bangunan gudang tertua yang dibangun pada tahun 1737. Dahulu, VOC mengfungsikan pergudangan ini sebagai pergudangan logistik mereka seperti katjang, boonen (kacang-kacangan), erwten (kacang polong), dan beschuit (biskuit gandum) untuk perbekalan kapal.
Pada pertengahan abad ke-18, VOC membangun Gudang-Gudang Gandum atau disebut Graanpakhuizen di belahan timur Sungai Ciliwung. Terkadang disebut juga dengan nama Gudang Timur (Oostzijdsche Pakhuizen). Kompleks gudang ini terdiri dari empat bangunan yang besar untuk menjadi tempat penyimpanan segala bahan makanan. (Heuken, 2016:48-50).
Wisata sejarah yang mengangkat tema “VOC, Apakah Jatuh karena Korupsi?” ini memulai petualangan dari bekas gudang penyimpanan yang sudah mulai rubuh, dan di sekitarnya dijadikan tempat parkir kontainer yang membuat bangunan gedung semakin rapuh.
Tentu hal ini sangat berbeda jauh dengan situs sejarah lain, misal jika dibandingkan dengan Gedung Fatahillah yang sangat megah dan terawat.
Melihat gudang timur yang tidak terurus dan akan runtuh jika dibiarkan, timbul tanda tanya dalam benakku.
“Apa yang membuat pemerintah sampai menelantarkan Gudang Timur yang memiliki status sebagai cagar budaya dan sudah menjadi bagian dari sejarah kota?” tanyaku dalam hati.
Ketika ditanyai tentang masa depan Gudang Timur, JJ rizal mengatakan bahwa seharusnya pertanyaan itu lebih cocok ditanyakan kepada Pemprov DKI, pusat konversi cagar budaya, dan instansi-instansi terkait yang seharusnya bertugas menjaga Gudang Timur.
JJ Rizal pun menerangkan bahwa Gubernur Jenderal VOC, Cornelis Janszoon Speelman, pernah bekerja di Gudang Timur tersebut. Perlu diketahui, Speelman merupakan salah satu Gubernur Jenderal VOC yang dituduh melakukan korupsi.
“Kosa kata ‘korupsi’ sebenarnya belum ada di zaman itu, kosa kata tersebut baru muncul saat zaman Napoleon Bonaparte,” tambah sejarawan itu.
Setelah puas melihat Gudang Timur, aku berjalan sekitar 20 meter untuk melanjutkan perjalanan. Rasanya, tiba-tiba aura yang berbeda merasukiku sebab terlihat gedung-gedung yang lebih terawat dan tertata dengan baik, dikelilingi pohon rindang dengan sebuah jembatan tua yang terlihat dari kejauhan
Menurut narasumber tur, jembatan tersebut dikenal dengan sebutan Jembatan Intan. Di zaman VOC, Jembatan Kota Intan ini berfungsi sebagai pengatur lalu lintas perahu dari pelabuhan ke bagian dalam Kota Batavia. Kapal-kapal yang ingin masuk ke Batavia harus membayar pajak terlebih dahulu dan melewati jembatan ini.
Di bawah Jembatan Kota Intan, pengunjung dapat melihat sungai memanjang yang disebut Kali Besar. Di kiri kanan sungai juga banyak gedung kantor administrasi VOC dan pertokoan berdiri tegak.
Layaknya kembali ke masa lalu, di wilayah inilah kekuasaan VOC berjalan. Pusat pemerintahan, pertokoan, kantor-kantor urusan dagang, serta pasar bergabung menjadi satu di kawasan ini.
Dari berbagai macam pertokoan, terlihat satu bangunan khas berwarna merah yang berbeda dengan bangunan di sekitarnya. Para peserta berhenti di depan toko tersebut. Speaker dan mic mulai dinyalakan.
“Baron Van Imhoff pernah tinggal di toko merah ini. Kejadian di toko merah dan sekitarnya memberikan gambaran yang cukup lengkap kenapa akhirnya VOC jatuh,” ucap JJ Rizal menjelaskan.
JJ Rizal mengatakan, toko merah tersebut merupakan bangunan asli yang sama sekali belum di rombak sejak zaman VOC, berbeda dengan bangunan lain disekitarnya yang sudah tidak berwujud asli seperti sejak zaman VOC.
Belajar dari Sejarah, Menghindari Terjebak dalam Kesalahan yang Sama
Para peserta duduk tenang di depan toko merah, bersiap mendapatkan penjelasan kisah VOC di masa lalu.
“Di zaman VOC, harga tebu sangat tinggi sehingga uang hasil korupsi di investasikan untuk membuat perkebunan tebu di luar wilayah Batavia,” ucap JJ Rizal.
Seiring berjalanya waktu, penduduk Batavia seringkali dikejutkan dengan kematian-kematian mendadak. Tingkat kematian di Batavia yang sangat tinggi disebabkan karena penduduknya minum, mencuci, dan melakukan aktivitas lainnya di Kali Besar yang sudah tercemar limbah rumah tangga dan limbah produksi tebu.
Akhirnya, kata JJ Rizal, banyak penduduk yang memilih meninggalkan Batavia akibat kematian yang tidak terkontrol. Perkebunan tebu pun lama kelamaan mengalami kebangkrutan karena harga tebu semakin menurun.
Menurut JJ rizal, perkebunan tebu yang bangkrut pun menciptakan permasalahan baru bagi VOC. Beribu-ribu masyarakat yang kehilangan pekerjaannya karena kebangkrutan perkebunan tebu pun banyak yang melakukan demontrasi, dan VOC pun mengalami krisis ekonomi.
Setelah disuguhi fakta tentang kebangkrutan VOC, JJ Rizal mengajak peserta wisata sejarah berjalan ke arah Museum Fatahillah. Museum ini dulunya digunakan sebagai Balai Kota, tempat Gubernur Jenderal VOC bekerja. Fakta menarik dari kompleks museum ini ialah di sampingnya berdiri gedung pengadilan untuk mengadili permasalahan di Batavia dahulu.
JJ Rizal menjelaskan bahwa di dalam pengadilan tersebut, keputusan hukuman selalu dilakukan secara tidak adil dan semena-mena, para terpidana tidak pernah mendapatkan persidangan yang adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku di zaman itu. Jika kita lihat di zaman sekarang, sejarah seperti berulang.
Gedung Fatahillah yang merupakan simbol pemerintahan layaknya seperti ingin memberitahu kepada masyarakat masa kini bahwa ketidakadilan yang dilakukan negara masih terus berlanjut sampai kini.
Kalau diperhatikan secara saksama, tidak banyak hal hal yang berubah sejak zaman VOC sampai sekarang. Korupsi yang menghancurkan VOC masih tetap terjadi sampai saat ini, para pengisi pemerintahan seperti menteri dan jajarannya nyatanya masih terjerat kasus korupsi.
Foto : Alfin Berkat.
Reporter : Muhammad Fadli | Editor : Nayla Shabrina.