Bagaimanapun, Itu Tetap Aku

Sastra

Langkah kakiku kembali melangkah ke tempat yang sudah sekitar dua tahun ini aku datangi. Rasanya masih terasa sama, berat dan ingin kembali lagi pulang ke rumah. Namun, kenyataannya aku tidak bisa lari dari ini. 

Sudah satu jam semenjak seseorang tengah menjelaskan materi hari ini di depan kelas. Tubuhku memang hadir di kelas pagi ini. Namun, pikiranku penuh dengan menu makanan apa yang harus aku beli saat kelas selesai.

Aku benci mata kuliah ini. 

Mata kuliah yang penuh dengan angka-angka yang tidak bisa aku mengerti. 

“Hari ini kita kuis lisan, ya! Angkat tangan, nanti Ibu pilih,” ujar wanita paruh baya di depanku.  

Seketika teman-temanku berlomba untuk dilirik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang baru saja selesai dijelaskan beberapa menit lalu, sedangkan aku hanya berdiam diri menutup mataku karena rasa kantuk kembali datang dan berharap sesi kuis ini cepat selesai. 

Ada perasaan mengganjal setiap kali aku memilih untuk diam di saat semua orang berlomba untuk mengumpulkan nilai keaktifan di kelas. Aku sangat tertinggal jauh di belakang mereka. 

“Gita, kamu nggak mau jawab kuisnya?” suara itu berasal dari teman baikku, Abila, yang kerap disapa sebagai Abi. 

“Enggak, yang lain aja, deh. Nilaiku udah aman, kok,” ujarku yang dibalas dengan tawa sembunyi-sembunyi dari Abi dan juga dari diriku sendiri yang sangat tahu bahwa nilaiku bisa saja berakhir hancur di mata kuliah ini. 

***

Jeda kelas yang lumayan panjang kuhabiskan lagi dengan mengerjakan tugas yang mengharuskanku untuk kembali menatap layar laptop. Perpustakaan kampus sudah seperti base camp bagiku dan teman-temanku untuk berkumpul dan mengerjakan tugas bersama. 

Semuanya fokus mengerjakan tugas analisis untuk mata kuliah sore nanti. Tidak ada percakapan yang terjadi di meja ini. Seperti biasa, teman-temanku selalu berusaha mendapatkan nilai sempurna dalam setiap tugas yang diberikan. 

Berbeda denganku yang selalu memegang prinsip yang penting tugasku selesai, aku tidak peduli jawabanku masuk akal atau tidak. Untuk saat ini, aku tidak mengambil pusing angka berapa yang akan diberikan untuk hasil tugasku. 

Aku hanya ingin menutup laptop dan kembali menaruh kepalaku di atas meja dan melanjutkan tidur siangku yang sempat tertunda. 

“Kamu singkat banget jawabnya, emang nggak papa?” bisik temanku yang lainnya, Naomi. 

“Gapapa, sih. Kalau buatku, yang penting tugasnya selesai hehehe,” jawabku.

“Kamu ini, ya, santai banget, Git,” balas Naomi yang diiringi dengan anggukan kepalaku.

Benar juga, selama ini aku sudah terlalu santai. Tapi, tidak apa-apa kan? Aku ‘kan tetap mengerjakan, hanya saja jawabanku lebih singkat dan mungkin sedikit tidak masuk akal. 

***

Kelas terakhir telah usai. Aku berpisah dengan teman-temanku yang melanjutkan kegiatan berkumpul dengan organisasinya masing-masing. Aku sendirian lagi dengan sepasang pengeras suara kecil yang menjadi teman baikku selama perjalanan pulang.

Mahasiswa kupu-kupu, tidak asing didengar bukan?

Aku memejamkan mataku sejenak, berniat untuk beristirahat selama perjalanan pulang. Namun, lagu lama berjudul “Laskar Pelangi” tiba-tiba terputar, membuatku memikirkan apakah mempunyai mimpi itu benar-benar membuatku dapat menaklukan dunia? Namun, bagaimana jika yang aku inginkan hanyalah kedamaian? Bagaimana jika aku tidak ingin menaklukan apapun?

Selama ini, aku tidak mempunyai banyak tenaga untuk seperti teman-temanku yang mengikuti berbagai kegiatan di kampus. Aku selalu membenarkan pilihan ini dengan pikiran bahwa aku akan mengedepankan waktu istirahatku daripada mengikuti rapat sampai malam hari. 

Tidak ada hasrat bersaing dengan teman-teman kelasku untuk menjadi yang terbaik di setiap mata kuliah. Aku mencoba semampuku, dan jika aku merasa sudah tidak mampu, maka aku akan berhenti. 

Tidak bisakah dunia berjalan lebih lambat? 

Aku masih ingin hidup seperti ini. Hidup tanpa mengejar apapun dan menjalankan apa yang ada di hadapanku. Rasanya menyenangkan, aku tidak merasakan stres karena tidak dapat menjawab pertanyaan saat ujian berlangsung atau rasa tenang saat aku dapat kembali pulang ke rumah ketika kelas selesai tanpa harus datang ke sekretariat organisasi. 

Bukankah sifatku yang seperti ini tetap bagian dari diriku? Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, diriku yang apa adanya dan tidak memaksakan sesuatu. 

Tak terasa, pikiran-pikiran ini membuat hati dan mataku juga ikut merasakannya. Nyatanya, masih ada bagian dari diriku yang terkadang mengkhawatirkan hal ini. 

Apakah hidup harus selalu penuh dengan ambisi untuk mencapai sesuatu? Apakah hidup tanpa ambisi ini akan membawaku jauh tertinggal dan akhirnya bertemu fase menyeramkan berupa kegagalan?

Memikirkan soal kegagalan, aku semakin tidak sanggup untuk membayangkan hidupku beberapa tahun ke depan. Terlintas pemikiran menakutkan bahwa aku akan terhambat dalam proses melanjutkan kehidupanku setelah lulus kuliah jika aku masih mempertahankan sikapku yang sekarang. 

Bukankah setidaknya aku harus berusaha terlebih dahulu? Berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan selama kelas, meskipun jawabanku mungkin kurang tepat. Berusaha mengerti materi-materi yang aku tinggalkan karena aku menganggap materi tersebut menyebalkan dan terlalu rumit dimengerti. Berusaha mengikuti kegiatan-kegiatan di luar perkuliahan agar aku memiliki lebih banyak teman dan pengalaman. Berusaha untuk mulai merakit mimpi-mimpiku perlahan meskipun aku sendiri tidak tahu apakah mimpi tersebut sesuai dengan takdirku. 

Satu jam perjalanan kuhabiskan untuk berdebat dengan diriku sendiri mengenai apakah aku akan terus bermalas-malasan atau aku harus mulai membuang sifatku yang seperti itu. Dan akhir dari perjalanan ini membawaku pada jawaban pasti. 

Meskipun tidak dapat sekaligus kulakukan, aku akan tetap mencoba. Karena bagaimanapun, mereka bilang bahwa aku di masa depan adalah hasil dari apa yang aku lakukan hari ini. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baikku hanya untuk menormalisasikan sifat burukku. 

Aku akan menjadi versi yang lebih baik dari diriku.  

 

Ilustrasi: creativemarket.com 

Penulis: Salma Mg.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *