Kebenaran dan Upaya Melawan Ketidakadilan
Aspirasionline.com –
Judul Buku : Yap Thiam Hien, 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan
Tebal buku : 158 halaman
Seri Buku Tempo : Penegak Hukum
Ada anggapan yang masih dilangengkan hingga saat ini, bahwa seorang pengacara dalam menjalankan tugasnya memegang prinsip “membela yang bayar”. Prinsip itu kian dirawat dalam ingatan dan menuai citra buruk terhadap pribadi pengacara. Profesi tersebut diniscaya sebagai pekerjaan ladang basah yang dapat meraup pengasilan dan keuntungan sebesar-besarnya. Namun buku serial Tempo, Yap Thiam Hien, 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan dapat meluluhlantakkan anggapan itu, atau setidaknya meyakini bahwa tidak semua pengacara memegang prinsip yang sama.
Adalah Yap Thiam Hien, seorang pengacara keturunan Cina yang hanya membanderol tarif senilai 5-10 juta bahkan gratis untuk membela satu klien, dimana pengacara lainnya bisa mematok harga sampai 40 juta. Bagi Yap, yang terpenting ialah menjadi pembela kebenaran dan mengutarakan kebenaran itu di meja hijau, bukan perkara menang atau kalahnya, bukan pula menghalalkan segala cara untuk menang. Buku yang ditulis berdasarkan liputan khusus tim Tempo ini menguak sosok Yap mulai dari masa lalunya hingga dikenang sebagai pembela Hak Asasi Manusia (HAM). Semuanya terangkum dalam buku setebal 158 halaman.
Yap di Masa lalu
Yap terlahir dari keluarga berada, tapi mengalami kebangkrutan kala itu. Beruntung masih bisa bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Kutaraja karena status keluarganya sebagai dewan Tionghoa. Lulus dari ELS, Yap melanjutkan jenjang pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Batavia. Di Mulo ia belajar Bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Memiki kemuan belajar yang tinggi, dirinya kembali menyambung pendidikannya masuk AMS, disana ia menambah penguasaan bahasa asing, yaitu Latin.
Kemampuan berbahasa yang dimikili pria kelahiran 25 Mei 1913 ini menjadi keuntungan sendiri bagi dirinya. Pasalnya, saat itu ada peraturan kesetaraan hukum atau gelijkstelling. Dimana hak-hak seseorang sama dengan hak warga Belanda, hanya dengan menunjukan kemampuan berbahasa dan hidup dalam budaya Belanda. Permohonan kesetaraan hukum itu pun diajukan oleh ayah Yap, Yap Sin Eng, guna meningkatkan status anaknya dimata masyarakat dan mendapat penghormatan dari pihak Belanda.
Karirnya diawali menjadi seorang guru profesional di Sekolah Kristen untuk keturunan Cina, karena ia membutuhkan uang untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Perjalannnya tidak mulus, karena ia dianggap berbeda ia pun beralih menjadi direktur di Wild School dengan mengajar 200 anak mayoritas berasal dari keluarga tidak mampu. Disaat kehidupannya sedang terpuruk, ia tetap menyimpan keinginan untuk mencari ilmu di bangku kuliah. Hingga akhirnya profesi guru ditinggalkan, dan ia melanjutkan bekerja di perusahaan iklan. Penghasilannya ia sisihkan untuk menabung agar bisa kuliah kelak. Hingga akhirnya ia berkuliah di Universitas Leiden, Belanda dengan prodi Ilmu Hukum.
Pencari Kebenaran
Di masyarakat, seorang penegak hukum digambarkan dapat hidup makmur, sejahtera, dan bergelimang harta. Tapi, lagi-lagi Yap berbeda. Gelar Meester in de rechten pada dirinya tak digunakan untuk meraup keuntungan dan penghasilan yang besar, padahal jelas Yap dapat mewujudkan semua anggapan masyarakat itu. Selain tarif profesinya yang ia kehendaki jauh lebih rendah dibanding pengacara lain, ia juga tak memperdulikan latar belakang kliennya. Banyak kasus yang ia tangani, mulai dari pengadilan tukang becak hingga tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam menjalankan tugasnya, ia selalu profesional sebagai pembela. Hingga akhirnya ia dijuluki sebagai “Pembela Segala Umat” dan namanya diabadikan melalui penghargaan “Yap Thiam Hien Award,” yaitu sebuah penghargaan yang diberikan kepada seorang yang dinilai berjasa dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.
Salah satu kasus yang pernah ditangani Yap adalah kasus peledakan kantor BCA pada 1984 lalu. Basoeki, sebagai kliennya dikenal anticina, dan didakwa terlibat dalam kasus peledakan tersebut. Pada saat itu, Basoeki telah mengaku bahwa dirinya terlibat dalam kasus yang menjeratnya itu, dan Yap tetap membelanya. Sebab Yap ingin memastikan bahwa seorang yang telah mengakui perbuatannya itu tetap diberikan hak penuh dalam pengadilan atau tidak. Profesionalitas pria yang memiliki dua anak ini terbukti saat kliennya dihukum 17 tahun penjara dan terbebas dari hukuman mati.
Selain sebagai pembela di meja hijau, Yap juga sempat berkiprah di dunia politik. Sikapnya yang menentang diskriminasi, dan menegakan hak asasi membuatnya berbeda dengan politikus zaman itu. Terlalu lurus di dunia politik membuatnya tersingkir. Salah satu yang dikritisinya adalah saat Rezim Penguasa memerintahkan orang Cina di Indonesia untuk mengganti nama. Yap yang memegang teguh prinsip HAM menilai bahwa kebijakan itu melanggar hak pribadi. Perdebatan mengenai pergantian nama tersebut akhirnya dimenangi oleh Yap, namun sayang hal tersebut tidak bisa mengubah cara pandang masyarakat sekitar, karena 50% dari etnis Tionghoa tetap mengubah nama mereka.
Kepeduliaannya terhadap HAM membuat pria yang gemar membaca ini membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pertama yang bergerak di bidang HAM. Bersama keempat temannya, terbentuklah Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia guna melawan ke-otoriteran pemerintah dan ketidakpastian hukum pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru.
Yap senantiasa lantang menyuarakan kebenaran. Misalnya saja ketika membela Soebandrio, dimana tidak ada satu pun pengacara yang ingin membelanya karena dinilai sebagai orang kiri. Berbeda dengan Yap, sosok yang anti-komunis ini merasa Soebandrio tidak bersalah, ia pun mengambil kasus tersebut. Yap mungkin sering kalah dalam pengadilan, namun tujuan utamanya bukanlah untuk menang melainkan membela kemanusiaan.
Berdasarkan buku Yap Thiam Hien, 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan ini, ternyata Yap juga sempat memasuki tahanan militer karena dugaan perbuatan Makar pada aksi Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Disana, Yap justru mengajarkan para tahanan tersebut mengenai hukum. Ia menjelaskan proses persidangan dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sering digunakan oleh penyidik. Ia tetap konsisten mengajari tahanan tersebut, walaupun mereka buta huruf.
Tak hanya peduli masalah hukum, pria yang disapa John oleh teman-temannya kala itu juga sangat peduli akan pendidikan. Ia pernah mewakili Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI) untuk menemui mahasiswa yang menggelar aksi protes fasilitas dan ia berhasil membubarkan kerumunan tersebut. Selain itu, Yap bermimpi untuk mendirikan kampus yang bisa menjangkau semua golongan. Dengan bantuan Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat dan Sin Ming Huei, berdirilah Universitas Independen Tarumanegara. Sebuah Universitas yang didirikan guna mewujudkan kampus bagi semua golongan.
Demikianlah sosok Yap yang tergambar dalam buku setebal 158 ini. Singkatnya, buku ini sangat bagus dan menarik karena menghadirkan sosok Yap, sosok yang menurut saya dibutuhkan oleh Bangsa, karena dirinya memiliki idealisme dan integritas yang tinggi. Ia tidak mementingkan kliennya harus bebas dari jeratan hukum, tetapi ia selalu mengedepankan keadilan. Karena mengabaikan ketidakadilan dalam bentuk apapun sesungguhnya adalah perbuatan melanggar yang berlumur dosa. Secara pribadi, bagi saya, justru buku ini menyadarkan kepada kita bahwa masih ada penegak hukum yang mau membela kebenaran.
Oleh karena itu buku ini sangat baik untuk dibaca tidak saja oleh setiap mahasiswa atau kalangan akademisi, namun juga masyarakat luas. Hal ini dimaksudkan agar tetap mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai kebenaran.
Penulis : Nadia Imawangi |Editor : Tri Ditrarini Saraswati