Aksi Bersama International Women’s Day, sebagai Perjuangan dan Perlawanan

CategoriesNasional

Hari Perempuan Internasional diperingati sebagai bentuk penyuaraan hak perempuan sekaligus perlawanan pada diskriminasi terhadap perempuan. Di samping itu juga ada seruan akan pengesahan RUU TPKS yang berpersepktif korban serta partisipatif.

Aspirasionline.com — Selasa (8/3), Kurang lebih pukul sembilan pagi para peserta aksi bersama  International Women’s Day telah berkumpul di Patung Kuda Arjuna Wiwaha. Tepat hari itu semua peserta datang sebagai bentuk solidaritas guna membela hak-hak perempuan di seluruh dunia.

 Pada aksi bersama  International Women’s Day kali ini dihiasi dengan kegiatan berupa aksi sibolis, orasi, monolog, tari, puisi, teatrikal, cap tangan dan persembahan lagu. Aksi hari perempuan internasional tersebut melibatkan berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa.

Ada dua isu penting yang dibawa. Pertama, agar segera disahkannya Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual  (RUU TPKS) yang partisipatif dalam pembahasan dan pro korban. Yang kedua, mewujudkan sistem perlindungan sosial yang tidak diskriminatif, inklusif, menghargai keragaman dan menjamin hak setiap orang untuk bebas dari kemiskinan.

Pada aksi tersebut, ASPIRASI berkesempatan untuk mewawancarai langsung Ajeng Pangesti sebagai perwakilan Perempuan Mahardika yang menjadi bagian dari aksi hari itu.

Ajeng sendiri membenarkan akan kurangnya keterbukaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia terkait RUU TPKS. “Tuntutan kita (masa aksi, red) itu untuk mendesak RUU TPKS, semenjak menjadi RUU inisiatif pembahasannya tidak terbuka oleh DPR,jelas Ajeng.

Perempuan yang sangat ramah tersebut juga mengungkapkan bahwa Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari RUU TPKS yang disampaikan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat, seperti jaringan pembela hak korban kekerasan seksual yang terus berusaha melakukan audiensi serta memberikan DIM masih tidak disambut baik oleh pemerintah.

Wujud Perjuangan

Selama ini, berbagai usaha terus dilakukan Ajeng bersama rekan-rekan lain dalam mengawasi dan memberikan masukan dalam pengesahan RUU TPKS yang lebih berperspektif korbanserta pro korban. Namun, hingga aksi hari itu terlaksana. Masih belum terlihat titik terang.

“Kami sudah melakukan banyak audiensi, aksi-aksi bahkan sebelum ini,” ucap Ajeng.

Perempuan itu menambahkan, bahwa selanjutnya ia dan para kaum puan lainnya akan terus bersurat untuk didengarkan apa yang seharusnya ada di dalam draf undang-undang tersebut.

Tidak lupa pula, Ajeng menyampaikan pemaknaannya tentanghari perempuan internasional. Ia juga menyampaikan harapan-harapannya untuk kepada pemerintah dan perempuan.

“Maknanya bagi kami hari perempuan adalah perlawanan dan pejuang selama diskriminasi dan patriarki masih mengekang perempuan maka hari perempuan bermakna perjuangan dan perlawanan. Pembebasan hak untuk perempuan,” ungkap Ajeng.

Selain Ajeng, Badan Pengurus Harian Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Revisa Ayunda, yang turut menyuarakan tuntutannya dalam orasi hari itu.

“Kita sebagai mahasiswa ingin menyuarakan hak-hak perempuan, yang mana negara masih lepas tangan tangan akan hak-hak tersebut mulai dari hak bebas dari kekerasan seksual, hak untuk tidak dipekerjakan secara semena-mena terhadap pekerjaan perempuan,seru Revisa.

Wanita berkerudung itu juga mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia sendiri laksana gunung es yang tak kunjung mencair. Serta banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual yang sampai sejauh ini belum memiliki peraturan hukum secara jelas serta berperspektif korban.

Ia juga turut serta untuk mendesak pemerintah dalam pengesahan RUU TPKS agar memperhatikan enam elemen kunci yang berperspektif korban dan juga partisipatif dengan memperhatikan masukan serta saran dari masyarakat itu sendiri.Kehadiran Revisa kali ini pun turut menyuarakan hak-hak pekerja perempuan, karena menurutnya, hak-hak pekerja perempuan masih seringkali dieksploitasi.

“Kita juga menyuarakan hak-hak pekerja perempuan, karena hak-hak pekerja perempuan masih sering dieksploitasi, hak untuk mendapatkan jam kerja yang layak masih sering dilanggar, hak untuk cuti hamil masih sering dipotong.” tutur Revisa.

Terakhir, ia berpesan kepada seluruh perempuan Indonesia untuk terus menyuarakan hak-haknya. Agar kedepannya tidak ada celah bagi negara untuk negara untuk menyepelekan hak-hak para perempuan.

Foto: Verena Nisa.

Reporter: Tegar Gempa, Ryan Chandra. | Editor: Azzahra Dhea.

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *