Perjuangan Dewi Kanti Dalam Menghapus Diskriminasi Terhadap Penghayat Sunda Wiwitan

Tokoh

Diskriminasi yang dialami oleh Penghayat Sunda Wiwitan membuat Dewi Kanti terdorong untuk memperjuangkan keadilan serta kesetaraan dalam memperoleh hak-haknya.

Aspirasionline.com — Sampai saat ini, diskriminasi berbasis agama masih terjadi di Indonesia. Seperti yang dialami oleh para penghayat Sunda Wiwitan, diskriminasi yang dilakukan oleh negara dalam bentuk administrasi kenegaraan kerap mereka alami.

Bentuk diskriminasi itu mulai dari pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) hingga terhambatnya proses pendaftaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengabaikan hak-hak yang dilakukan oleh negara.

Praktik-praktik tersebut ditemui langsung oleh Dewi Kanti Setianingsih, seorang penghayat Sunda Wiwitan yang hingga kini aktif dalam memperjuangkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Sunda Wiwitan merupakan sebuah sistem ajaran, tuntunan dari para leluhur sunda. Wiwitan itu sendiri memiliki arti yaitu asal mula. Secara kompleks, Sunda Wiwitan memiliki arti yaitu sistem ajaran leluhur sunda yang mengajarkan kesadaran asal dari mana, untuk apa, dan bagaimana setelah kita hidup. Jadi itu adalah kesadaran yang menuntun penghayatnya sebagai manusia dari leluhur agar kehidupannya lebih tertata, baik dengan hubungan sesama manusia, lingkungan dan semesta, serta hubungan dengan yang Maha kuasa.

Dewi mengalami diskriminasi sejak ia mengenyam bangku Sekolah Dasar (SD). Tekanan-tekanan yang dia dapati dari gurunya semasa SD menjadi awal ia mengalami diskriminasi itu.

Lebih jauh, Dewi juga menjelaskan diskriminasi yang dialami oleh penghayat Sunda Wiwitan berawal dari diabaikannya hak mereka dalam administrasi kenegaraan.

“Kami dimatikan keperdataannya dengan alasan latar belakang politik agama,” tutur Dewi kepada ASPIRASI pada Jumat, (6/12).

Menurutnya, kebijakan yang dibuat negara terpengaruh atau dipengaruhi oleh cara pandang keagamaan masing-masing aparatur negara. Padahal, lanjut Dewi, warga negara memiliki hak yang sama dalam konstitusi sehingga praktik diskriminasi seharusnya tidak terjadi.

Kematian secara perdata yang dialami penganut Sunda Wiwitan memiliki dampak psikologis bagi mereka. Dewi menjelaskan pada era reformasi Sunda Wiwitan mendapat stigma buruk dan menimbulkan fobia di tengah masyarakat.

“Jadi bukan sekedar administrasi, administrasi itu pintu masuknya,” ujar Dewi.

Wanita kelahiran Bandung tersebut menjelaskan seharusnya cara pandang aparatur negara harus diluruskan dengan konstitusi yang sebenarnya. Menurutnya, cara pandang yang keliru ini disebabkan tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan antara konstitusi payung hukum dengan peraturan hukum di bawahnya.

Kesadaran konstitusi menjadi salah satu upaya Dewi dan penghayat Sunda Wiwitan lainnya untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Dewi selalu menjelaskan bahwa mereka tetap bagian dari warga Indonesia yang diatur dalam konstitusi.

“Pendekatan melalui budaya yang sebetulnya kami lakukan,” kata Dewi.

Saat ini Dewi juga baru saja terpilih menjadi komisioner Komnas Perempuan periode 2019-2024. Setelah melalui berbagai proses yang ia ikuti, Dewi bersyukur karena telah mampu mendapat kepercayaan sebagai komisioner di Komnas Perempuan.

“Jadi kami berproses melalui seleksi yang cukup ketat juga dan kami bersyukur juga bahwa kami mampu dan memiliki kapasitas mendapat kepercayaan dan terpilih menjadi komisioner yang merupakan amanat yang bagi kami tidak akan kami sia-sia kan,” ujarnya.

Perjuangannya dalam kesetaraan dan keadilan menjadi alasannya tergabung dalam lembaga HAM tersebut. Langkah itu ditempuhnya karena Komnas Perempuan memiliki mandat untuk memberikan rekomendasi serta masukan kepada pemerintah bagaimana seharusnya sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan untuk mencapai keadilan bagi warga negara.

“Bisa dikatakan bahwa saya representasi dari warga negara yang selama ini terabaikan,” kata Dewi.

Ia mengaku bahwa dirinya bukan hanya sebagai penghayat dari kepercayaan sunda wiwitan, melainkan juga menjadi bagian dari perempuan adat Indonesia. Berangkat dari situ, Dewi memiliki sebuah harapan agar ia masih dapat terus memperjuangkan hak-haknya baik di wilayah privat maupun di wilayah kepentingan yang lebih luas.

Tak sampai disitu, dia juga terus berupaya membangun kepercayaan diri para penghayat Sunda Wiwitan dengan memberi pemahaman kepada lembaga pelayanan publik tentang kesetaraan dan keadilan.

“Negara atau penyelenggara negara harus punya perspektif bagaimana penghormatan terhadap penguatan kapasitas perempuan perempuan Indonesia agar setara dan berkeadilan,” tutupnya.

Reporter: Ilham Mg. |Editor: Muhammad Raffi Shiddique

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *