Jalaludin Rumi : Bahasa yang Indah Dalam Mengenal Tuhan

Tokoh

Setiap manusia pasti melewati perjalan panjang dalam pencariannya memahami arti keberadaannya di dunia. Dari perjalanan panjang itu Jalāl ad-Dīn Mohammad Rūmī atau yang lebih dikenal dengan Jalaludin Rumi menjadi seorang sufi terbesar sepanjang masa.

Aspirasionline.com – Rumi, panggilan akrab dari Jalaludin Rumi merupakan pria yang lahir 749 tahun yang lalu atau tepatnya pada tanggal 30 September 1207 di Balkh yang saat ini menjadi bagian negara Afganistan. Rumi yang dikenal sebagai seorang sufi terbesar merupakan seorang yang pada awal pencarian spritualnya banyak didasari dengan literatur-literatur ilmiah.

Namun pada suatu ketika ia bertemu dengan Syamsudin Tabrizi, seseorang yang nantinya menjadi guru dan teman spritual Rumi. Syamsudin Tabrizi tiba-tiba masuk ke dalam ruang pembelajarannya lalu membakar buku-buku yang dipelajari Rumi.

Dari kejadian tersebut Rumi mula menyadari bahwa sesungguhnya peristiwa yang dialaminya itu amatlah penting dalam perjalanan spritualnya, tentang memahami bagaimana cara berpikirnya mengenai kehidupan yang selalu mengalami perubahan. Dari kejadian itu pula ia memahami apa yang menjadi tujuan sesungguhnya adalah pencarian dalam mencari cinta yang hakiki.

Dengan kedatangan Syamsudin Tabrizi yang secara tiba-tiba membakar buku-buku literasinya tersebut membuat alam berpikir Rumi bergejolak, Rumi pun menyadari bahwa tiada yang utama dalam hidup ini kecuali kedekatan terhadap tuhan. Setelah dari kejadian itu Rumi mulai menekuni pencarian cinta hakikinya kepada tuhan.

Buku Fihi Ma Fihi Sebagai Pengantar Pencarian Seseorang

Di dalam buku Fihi Ma Fihi yang merupakan karya terbesar seorang Jalaludin Rumi, dijelaskan mengenai bagaimana memahami makna yang sesungguhnya dari hidup. Apakah benar apa yang kita lakukan ini menuju kepada tujuan yang abadi atau hanya mengikuti dorongan duniawi semata dan melupakan hakekat tujuan dari perjalanan hidup yang sebenarnya.

Buku tersebut merupakan hasil dari catatan-catatan mahasiswanya saat mengikuti pembelajaran Rumi. Namun, tidak diketahui secara pasti kapan Rumi menuturkan kalimat-kalimat itu, tapi yang jelas bukan itu fokus utama yang ingin disampaikan. Melainkan kalimat yang dilontarkan merupakan proses pemikiran panjang Rumi mengenai kebenaran yang datang dari tuhan.

Ketika membacanya buku itu seketika membuat orang yang membacanya berpikir dengan jalan pikiran Rumi, indah namun dalam untuk diselami. Rumi mengantarkan kita kepada kebijaksanaan dengan melihat segala sesuatu mulai dari sebabnya, bukan dari apa yang ditimbulkan oleh sebab itu sendiri.

Ibarat sebuah paradoks tentang kehidupan di dunia, namun sangat masuk akal untuk dijelajahi. Seperti halnya pada bab 55 yang berjudul ”Orang Kafir dan Orang Beriman, Keduanya Sama-Sama Bertasbih”. Karena penyebab seseorang itu kafir atau beriman adalah yang “maha membuat sebab” orang itu kafir atau beriman.

Lewat buku ini, Rumi mengantarkan kita pada kebijaksanaan untuk menerima segala kehendak Tuhan di dunia ini dengan sudut pandang yang luas. Buku ini membuat kita memahami bagaimana Rumi sangat mencintai Tuhan dengan caranya sendiri. Tuhan adalah tujuan utama serta akhir dari semua perjalan mencari kebenaran, Tuhan adalah gagasan tertinggi dari semua pemikiran.

Fihi Ma Fihi menjelaskan tentang banyak hal dalam hidup dan bagaimana kita menyikapi segala kehendak Allah, seperti yang terdapat di dalam bab 45 yang berjudul “Mintalah Kepada Allah”. Bagaimana ketika permintaan seseorang dirasa sangat agung sebagai makhluk dan tugas kita adalah hanya mempercayai bahwa segala sesuatu adalah milik sang penyebab segala sesuatu itu ada.

Tanpa pikiran, bentuk-bentuk tak dapat bergerak dan mati. Sehingga, barang siapa yang hanya melihat pada bentuk, berarti dia juga mati; dia tak mampu menangkap makna. Dia adalah seorang anak kecil dan tidak matang, meski dalam bentuk dia adalah seorang syekh yang berumur seratus tahun.”

Pada akhirnya apa yang Jalaludin Rumi ingin sampaikan dalam pencariannya kepada tuhan yang melahirkan buku Fihi Ma Fihi adalah bentuk bagaimana seseorang berbahasa yang indah, karena itu merupakan bahasa tuhan sebagai bahasa yang sempurna. Seperti yang ia tuliskan indah dalam bait berikut:

Siang dan malam di dunia ini engkau mencari ketenteraman dan kedamaian, walaupun sesungguhnya tidak mungkin engkau mencapai mereka di dunia. Namun demikian, pencarianmu tentu tidak sia-sia.

Ketenteraman dan kedamaian tentu bisa hadir, meski hanya sekejap. Kedamaian apa pun yang engkau temukan di dunia ini tidaklah abadi. Kehadirannya bagai kilat yang menyambar, la hadir diseitai situasi penuh guntur, hujan, salju, dan godaan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ulasan ini merupakan bagian dari kumpulan ulasan Series Tokoh Edisi Lebaran.

Penulis: Ryan Chandra. | Editor: Vedro Imanuel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *