Tolak Pengesahan RKUHP, Masyarakat Sipil dan Mahasiswa Demo Depan DPR
Dinilai masih bermasalah, Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi gelar aksi menolak pengesahan RKUHP.
Aspirasionline.com — “STOP KRIMINALISASI PEREMPUAN”, tulis salah satu poster yang diangkat oleh massa aksi di depan Gedung DPR/MPR RI, Senin, (16/9).
Siang itu Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi dan mahasiswa menggelar aksi tolak pengesahan RKUHP. Sebab, beberapa pasal di dalamnya mengandung masalah.
Pantauan reporter ASPIRASI, sekitar seratusan massa memulai aksi di depan gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pukul 13.30 WIB. Mahasiswa dari macam-macam warna almameter mulai memenuhi depan gedung dewan. Di tengah-tengah mereka ada mobil komando yang dipasangi pipa hingga berbentuk seperti jeruji penjara.
Di balik ‘jeruji penjara’ itu, massa aksi yang mewakili organisasi ataupun secara individual, berorasi secara bergantian. “Ini di depan kita ada semacam gambaran jeruji besi, menggambarkan ketika RKUHP disahkan akan memenjarakan masyarakat,” jelas salah satu orator.
Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi ini dihadiri oleh banyak organisasi non-profit dan serikat buruh, seperti Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Masyarakat, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesian Corruption Watch (ICW), REMOTIVI, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), dan Perempuan Mahardhika.
Koordinator Lapangan Aksi Lini Zurlia mengatakan bahwa pengesahan RKUHP oleh DPR begitu dikebut kendati di dalamnya masih banyak pasal bermasalah. Sehingga, kata Lini, penggelaran aksi ini menjadi hal yang krusial untuk dilakukan saat ini.
“Urgensi kita turun aksi karena RKUHP ini jadi ancaman mati totalnya demokrasi yg kita nikmati sekarang ini. Banyak sekali pasal-pasal bermasalah yang bisa berpotensi memidanakan, mengkriminalisasi, dan memenjarakan warga negara,” jelas Lini kepada ASPIRASI di depan pagar DPR, di hari yang sama saat aksi.
Sebelum aksi tolak pengesahan RKUHP digelar, Lini menyebut sebelumnya sudah melakukan beberapa upaya untuk ikut mereformasi RKUHP, seperti mengadakan public hearing, penelitian, kajian-kajian, dan seminar. Bahkan sampai memberikan opsi-opsi bunyi pasal yang ada dalam RKUHP yang ia nilai masih sarat “semangat memenjarakan”.
“Jadi kita enggak cuma turun ke jalan aja. Tapi ketika kita sudah mengupayakan, ya tetap saja,” tuturnya bernada kecewa.
RKUHP Bermasalah Tapi Dikebut
Lini menegaskan bahwa aksi ini bukan menolak agar KUHP direvisi karena pihaknya pun memiliki semangat untuk mereformasi KUHP. Persoalannya, RKUHP yang akan disahkan akhir September ini nyatanya tak sesuai kemauan masyarakat.
“Kita tak menolak revisi KUHP-nya. Tapi, upaya merevisi dengan menghidupkan pasal-pasal kolonial bukanlah mereformasi melainkan membunuh demokrasi dengan menggunakan hukum pidana,” ungkap perempuan yang sekaligus aktivis gender ini.
Dalam RKUHP terdapat pending issue, jumlahnya ada 17. Pending issue ini di luar dari masalah persoalan-persoalan seperti tindak pidana korupsi atau pidana hukuman mati. “Pending issue adalah ketika DPR dan pemerintah masih punya selisih paham jadi belum final bunyi pasalnya bagaimana,” jelas perempuan berkacamata itu.
Suara aspirasi yang sama juga datang dari Riska Carolina, salah satu anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Riska menyayangkan sikap pemerintah yang buru-buru mengesahkan RKUHP dengan segala pasal buruk yang dikandungnya.
“Banyak banget hampir semua (pasal, red.) itu buruk. Kalau disahkan, negara akan segera masuk ke ranah privat kalian, terutama untuk pasal-pasal kesusilaan, pasal-pasal yang berkaitan dengan kontrasepsi, dan aborsi,” ujar Riska saat ditemui ASPIRASI saat aksi usai digelar.
Riska menyesali bahwa dalam RKUHP tak ada pengecualian aborsi meskipun dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dikatakan ada pengecualian, salah satunya korban perkosaan.
“Di UU Kesehatan kalau korban perkosaan bisa melakukan aborsi aman tapi di dalam RKUHP itu tidak ada. Walaupun RKUHP adalah hukum generalis sedangkan UU Kesehatan merupakan spesialis, tapi tidak begitu karena sampai saat ini yang digunakan adalah KUHP,” tutur Riska menggebu. Terpaut kesal.
Riska mengkhawatirkan pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu menjadi tak terselesaikan karena dengan hadirnya KUHP ini akan sangat mungkin memunculkan pelanggaran hak asasi manusia dimasa kini.
“Jangan sampai nanti ada pelanggaran HAM masa kini terhadap minoritas gender, identitas gender, dan seksual orientasi yang berbeda. Ini akan sangat mengatur privat. Kita lagi godok RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual, red.) jangan sampai lebih banyak lagi kekerasan seksual terhadap perempuan,” katanya seraya melanjutkan, “itu (RUU PKS, red.) yang harusnya didorong, bukan RKUHP ini.”
Mahasiswa yang mengikuti aksi berorasi bergantian, saling menumpahkan kegelisahannya jika RKUHP bermasalah ini disahkan. Di tengah massa aksi, ada laki-laki mengenakan almameter kuning dengan tulisan ‘Universitas Indonesia’ di dada kirinya. Manik Marganamahendra namanya.
Manik mengatakan bahwa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-UI punya sikap yang sama bahwa RKUHP merupakan sebuah perwujudan antidemokrasi. “Kita sama-sama ingin menunda adanya pembahasan RKUHP sebelum pasal-pasal yang bermasalah dicabut dan dijadikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ungkap Ketua BEM UI itu kepada ASPIRASI, Senin, (16/9).
Dalam RKUHP, lanjut Manik, banyak sekali yang justru mengancam warga negara, misalnya pasal tentang penghinaan kepada simbol negara atau presiden. Pasal yang seperti itu, menurutnya, justru akan memundurkan demokrasi sebagaimana yang terjadi saat rezim orde baru silam.
“Kita mau demokrasi di Indonesia ini dipelihara bukan malah dikecam. Itukan amanat agenda reformasi,” ungkap mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat 2015 itu.
“Jadi kita kembalikan ke DPR, mereka sebetulnya mewakili siapa? Mewakili rakyat Indonesiakah, atau mewakili kepentingan mereka sebagai perwakilan partai?” tanyanya retoris.
Reporter: Firda Cynthia |Editor: Taufik Hidayatullah.