Mengenal Lebih Jauh Penodaan Agama

Nasional

Akhir-akhir ini, publik Indonesia tengah ramai memperdebatkan masalah penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Habib Rizieq. Pertanyaannya, benarkah mereka melakukan penodaan agama?

Aspirasionline.com – “Kasus penodaan agama merupakan kasus yang sulit,” ucap Rohaniawan Romo Frans Magnis Suseno ketika membuka diskusi “Demokrasi Penodaan Agama” Selasa (14/2) lalu di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. “Seperti halnya kasus Ahok atau Habib Rizieq yang dituduh menodai agama. Pertanyaannya adalah apakah benar itu merupakan penodaan agama atau tidak?” lanjutnya.

Menurut Romo, seseorang dianggap melakukan penodaan agama apabila ia memang berniat atau bermaksud untuk menghina, menodai, mengotori, menjelekkan, memperlakukan secara tidak hormat suatu agama, simbol-simbol agama, ibadahnya, dan sebagainya. Ia menjelaskan bahwa terdapat dua syarat seseorang dianggap melakukan penodaan agama, yaitu adanya tindakan lahiriah seperti ucapan atau perbuatan, dan adanya niat atau maksud untuk menodai agama.

“Contohnya, apabila seorang muslim menginjak salib di lantai, tetapi dia tidak melihatnya kemudian ia menyesalinya, maka ia tidak bisa dikatakan menodai agama. Namun, apabila seseorang tersebut sengaja menginjak-injak salib barulah ia bisa dikatakan telah menodai agama. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan melihat reaksi publik yang kebetulan ada,” ujar Romo.

Seorang narasumber lainnya, Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa penodaan agama terdiri dari tiga bentuk, yaitu penodaan agama secara langsung, penghinaan perasaan keagamaan, dan pembatasan ekspresi menyangkut agama atau keyakinan. Selain itu, Siti juga menjelaskan tentang hal-hal yang dikategorikan sebagai penodaan agama dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

“Di dalam UU ini, terdapat empat perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai penodaan agama, yaitu melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu, dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, serta dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas anggota Indonesian Legal Resource Center (ILRC) ini.

Menurut Siti, dalam perjalanannya, UU Penodaan Agama dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Ia berkata bahwa selama ini UU Penodaan Agama diberlakukan kepada kelompok agama yang memiliki penafsiran berbeda, otokritik atau dituduh menyalahgunakan agama, seperti Shalat Dwi Bahasa, Syiah, dan sebagainya.
Lebih lanjut, dalam perkembangan zaman, isu penodaan agama juga diberlakukan pada status-status media sosial atau diskusi-diskusi di kelompok tertutup yang dipublikasikan oleh orang yang tidak sepemikiran sehingga menjadi konsumsi publik, seperti kasus Alexander Aan. “Dapat kita lihat apabila seseorang termasuk dalam kaum minoritas, maka ia akan sangat mudah dipidana.,” ujarnya.

Sependapat dengan Siti, Romo menegaskan bahwa masalah penodaan agama ini sebaiknya diserahkan kepada Tuhan. Menurutnya, adalah salah jika seseorang dituntut dengan Penodaan Agama, karena hal itu sama saja dengan membatasi hak manusia dalam memeluk agama dan berkeyakinan.

Melihat UU Penodaan Agama Dari Sisi Sejarah

Jika dilihat dari sisi sejarah, UU Penodaan Agama dilahirkan sebagai alat untuk melanggengkan suatu kekuasaan. “Ini menjadi hukum negara sejak munculnya demokrasi dimana terjadi penyatuan kekuasaan agama dan juga kekuasaan politik” ujar Siti.

UU penodaan Agama ini lahir di ujung masa pemerintahan Presiden Soekarno. Menurut Siti, UU ini didasari oleh pemikiran politik Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) Soekarno.

“Pada waktu itu, berkembang aliran-aliran kebatilan dalam jumlah besar yang menjadi penyokong Soekarno. Terjadilah pertentangan antara kelompok Agama, Nasionalis dan Komunis yang menuntut agar ada pengertian tentang perbedaan agama dan keyakinan. Akhirnya, diciptakanlah definisi baru bahwa yang disebut agama harus memiliki indikator, misal memiliki Tuhan, Rasul, Kitab Suci, dan memiliki tempat ibadah secara internasional. Jika tidak memiliki indikator tersebut maka tidak bisa dikatakan sebagai agama,” jelas Siti.

Siti menjelaskan bahwa sejak saat itu timbullah hierarki antara agama dengan keyakinan. Karena jumlahnya yang mengancam agama-agama besar seperti Islam dan Kristen, maka dibuatlah UU penodaan agama agar semua kebatilan kembali kepada agama yang besar. Diakuilah agama-agama yang paling banyak penganutnya dan yang lainnya diakui selama tidak mengganggu kehidupan agama-agama yang besar.

Reporter : Maharani Mg. |Editor : April

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *