Cak Nur, 9 Tahun Ide Terus Bertelur

Culture Tokoh

Aspirasionline.com – Budhy Munawar-Rachman masih ingat pertama kalinya bertemu Nurcholish Madjid, tahun 1984.
“Pada waktu itu, saya mendapatkan kesan yang luar biasa. Cak Nur itu memang sangat sederhana. Di rumahnya belum ada apa-apa. Duduk di bawah dengan karpet. Dan kemudian ngobrol. Rupanya itu memang pembawaan beliau. Obrolan pertama soal pemikirannya, langsung diskusi,” kisah Budhy dalam perbincangan Agama dan Masyarakat KBR, Rabu (27/8) malam.

Budhy sudah mengagumi Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, sejak awal kuliah di STF Driyakarya. Budhy awalnya membaca nama Cak Nur dari buku Ahmad Wahib yang saat itu baru terbit. Di saat yang sama, senior-senior Budhy sudah menunggu-nunggu kembalinya Cak Nur dari kuliah di Chicago, Amerika Serikat.

Mulanya bercakap di rumah Cak Nur, kini Budhy adalah orang di balik pendirian Nurcholish Madjid Society (NCMS). Dia juga terlibat meneruskan pemikiran, dan menyunting buku-buku serta dan menulis disertasi mengenai Cak Nur.

Kini hampir satu dekade sang guru meninggal, dan Budhy masih ingat bagaimana Cak Nur mengubah pemikiran Islam di Indonesia. Menuju Islam yang modern. Budhy meringkas perubahan yang dibawa Cak Nur jadi tiga momen.

Pertama, tahun 60-an, Cak Nur keluarkan trilogi keislaman, keindonesiaan, kemodernan. Cak Nur memisahkan Islam dan kemodernan, dengan westernisme. “Jadi modern tidak harus Barat, muslim bisa jadi modern,” ujar Budhy menirukan perkataan gurunya.

Selanjutnya, tahun 70-an, Cak Nur cetuskan ide ‘Islam yes, partai Islam no’. Partai Islam tidak sakral, dan politik bukan hal yang mutlak. Kalimat itu membuat Cak Nur makin dikenali dunia Islam.

“Cak Nur muncul dengan pikirannya yang aneh pada suasana kebathinan orang saat itu,” kata Budhy, “memilih partai politik itu bagian kehidupan duniawi yang biasa saja.”

Langkah ketiga, adalah ketika Cak Nur mengedepankan ide-ide Islam yang inklusif, hanafiah, toleran. Kata Budhy, bila saat ini kita dengan santai membicarakan kebhinnekaan, Cak Nur lah yang memberikan pondasi agar hal itu diterima komunitas Islam. Selanjutnya, gagasan-gagasan Cak Nur mendapat penguatan dari sosok Gus Dur. “Cak Nur memberikan gagasannya, Gus Dur memberikan praksisnya. Keduanya seperti koin.”

Kata Budhy, tanpa kehadiran Cak Nur, kehidupan muslim Indonesia akan tradisional seperti di Malaysia, Thailand Selatan, Filipina Selatan.

Sembilan tahun lepas meninggalnya Cak Nur, ide-idenya terus bertelur. Kini idenya dikaji di total 52 kampus STAIN, IAIN, UIN se-Indonesia. Namun itu belum cukup, tantangannya jauh lebih besar. Kini merawat nilai-nilai yang Cak Nur perjuangkan adalah berarti merangkul kaum muda, yang menurut Budhy “tidak tertarik dengan pemikiran. Itu menyedihkan.”

Budhy mengajak kalangan muda mulai membaca pemikiran Cak Nur yang hingga kini masih relevan. “Pintu-Pintu Menuju Tuhan,” kata Budhy soal buku Cak Nur yang direkomendasikan untuk pemula. Selanjutnya, kata Budhy, bisa ke buku “30 Sajian Ruhani.” Potensi kaum muda juga yang membuat Budhy dan kawan-kawan membuat akun Twitter @fileCakNur.

Kini Budhy sedang mengerjakan proyek besar. Budhy sedang menyusun 6.000 halaman karya lengkap Cak Nur yang entah terbagi ke berapa buku. Yang jelas, kumpulan karya itu akan berbentuk digital, diunggah ke situs, sehingga setiap orang bisa mengaksesnya gratis. Ada pula proyek buku essential saripati A-Z pemikiran Cak Nur sekitar 350 halaman. Budhy berharap proyeknya selesai tahun depan, tepat pada haul ke-10 sang pembaharu.

Sepuluh tahun tidak terasa, dan cita-cita Cak Nur memodernisasi Islam belum juga tercapai. Lalu apakah Islam modern itu? “Modern artinya baru dan segar. Islam modern selalu memberi kesegaran, pencerahan,” kata Budhy. Islam modern itulah yang memberi respon positif soal demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, isu lingkungan.
“Islam rahmatan lil alamin,” ujar Budhy.

Islam yang berkontribusi pada dunia yang lebih baik, demikianlah obsesi Cak Nur semasa hidupnya yang mengispirasi. Sebagaimana Budhy menirukan perkataan Cak Nur yang sangat dikaguminya, “Islam agama kemanusiaan, Islam agama peradaban”.

Sumber : KBR68H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *