Panggung Merdeka 100%: Ruang Perlawanan Kolektif di Balik Ilusi Kemerdekaan

CategoriesNasional

Bertepatan dengan delapan dekade Kemerdekaan Indonesia, Perempuan Mahardhika menggelar acara “Panggung Merdeka 100%” sebagai bentuk perlawanan kolektif dalam menyingkap ilusi kemerdekaan di tengah keresahan masyarakat.  

Aspirasionline.comSebagai bentuk respon keresahan dan perlawanan, Perempuan Mahadhika menggelar Panggung Merdeka 100% di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Menteng, Jakarta Pusat, pada Minggu, (17/8). Panggung Merdeka 100% menjadi reflektif pantulan dari pesta pora di Istana Negara yang terkesan monumental tanpa menyisipkan ruang-ruang bermakna bagi demokrasi. 

Tepat delapan dekade sejak penandatanganan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, megah meriahnya perayaan Hari Kemerdekaan yang terlaksana di Istana Negara, pada Minggu, (17/8) menuai berbagai tanggapan dari masyarakat yang mengaitkan realitas kondisi Indonesia saat ini yang dianggap terbalik dari kata Merdeka.

Tyas Widuri, salah satu anggota Perempuan Mahardhika mengungkapkan Panggung Merdeka 100% dirangkai dalam bentuk panggung diskusi sebagai ruang alternatif membicarakan kemerdekaan dari perspektif pegiat. 

“Sebenarnya ini (diskusi) tuh forum-forum yang akan kita teruskan, jadi tidak hanya saat ini (acara Panggung Merdeka 100%), (tetapi) memang untuk mengimajinasikan bagaimana kemerdekaan seratus persen itu ada dalam imajinasi kita, bagaimana kita mengimajinasikan Indonesia yang lebih baik, lebih layak, dan juga patut untuk kita perjuangkan,” ucap Tyas kepada ASPIRASI pada Minggu, (17/8).

Tak hanya itu, Tyas menjelaskan acara ini menjadi respons langsung terhadap Pidato Kemerdekaan oleh Presiden Prabowo Subianto yang mengklaim sudah ada delapan kemerdekaan (Merdeka Malnutrisi, Impor Beras, Kemiskinan, Kebodohan, Lapangan Kerja, Kesehatan, Politik Luar Negeri, Korupsi) yang dicapai pada tiga ratus hari berjalannya pemerintahan.

“Menurut kami, (klaim) itu adalah sebuah kebohongan. Karena masih banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan kepada rakyat atau kita semua,” ujar Tyas.

Ilusi Kemerdekaan Diambang Batas Peran Negara

Mengusung tema “Merebut Kembali Arah Politik Indonesia untuk Bebas Dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Kemiskinan”, Panggung Merdeka 100% sekaligus menggaungkan tuntutan yang disampaikan oleh Perempuan Mahardhika.

Rentetan diskusi yang diisi oleh pegiat dari berbagai komunitas ataupun organisasi berbasis masyarakat sipil juga menyoroti bagaimana kemerdekaan hanya sekadar kata ilusi jika disandingkan dengan realitas politik Indonesia saat ini. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rizki Maulana Hakim selalu Koordinator Agrarian Resource Center (ARC), ilusi kemerdekaan terbesar adalah narasi tentang negara bergerak menuju keadilan. 

Rizki menerangkan, setiap kebijakan, rekomendasi, atau substansi yang tercantum dalam perundang-undangan hanya mengarah pada keberpihakan segelintir orang terutama dalam distribusi kekayaan alam. 

“Tetapi yang terjadi dalam sejumlah kebijakan-kebijakan yang ada, peraturan-peraturan yang ada, kekayaan alam itu tidak untuk rakyat, tetapi hanya untuk para investor. Baik itu investor dalam negeri atau investor asing,” terang Rizki kepada ASPIRASI pada Minggu, (17/8).

Di sisi lain, salah satu pegiat dari Tim Advokasi Internasional, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Nadine Sherani turut mempertanyakan makna kemerdekaan dengan menyandingkan perilaku penindasan yang dilakukan negara kepada masyarakat daerah yang mengatasnamakan Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Misalkan teman-teman kita di Papua, di mana mereka mengalami eksploitasi tanah yang luar biasa dahsyatnya tidak hanya dari zaman Prabowo, tetapi juga dari zaman Jokowi,” jelasnya kepada ASPIRASI pada Minggu, (17/8).

Nadine menilai, kemerdekaan baru bisa dimaknai ketika masyarakat memiliki self-determination atau hak dalam menentukan nasibnya sendiri.

“Bukanlah negara yang berusaha untuk mengkolonialisasikan pendapat masyarakat melalui pembungkaman para aktivis, pembungkaman masyarakat adat di Papua dan teman-teman di bagian timur yang terkena dampak dari Proyek Strategis Nasional,”  tutur Nadine. 

Panggung Merdeka 100% sebagai Panggung Perlawanan Kolektif

Dikemas dengan menarik, Panggung Merdeka 100% tak hanya memuat Forum Diskusi Rakyat tetapi disempurnakan juga oleh Pameran Arsip Sejarah Gerakan Perempuan yang berkolaborasi langsung dengan Kolektif Arungkala, hingga panggung musik untuk membangun ruang perlawanan yang inklusif. 

Tyas menuturkan tujuan strategis acara ini adalah meramu sebuah forum lintas generasi, sehingga menciptakan ruang demokrasi yang lebih bermakna di Hari Kemerdekaan. 

“Panggung Merdeka 100% ini kita hadirkan sebagai ruang untuk rakyat memang bicara kemerdekaannya. Dan ini adalah ruang yang lintas generasi, lintas isu, interseksional banget dan juga menghadirkan perspektif kemerdekaan dari semua orang,” ucap Tyas.

Di saat yang bersamaan, berdasarkan pantauan ASPIRASI, pengunjung terlihat memenuhi sudut-sudut ruang dan halaman LBH Jakarta. Semangat bergelora mewarnai serangkaian diskusi hingga pekikan nyanyi pada penampilan dari salah satu Grup Musik Independen, Sukatani. 

Muhammad Syifa Al Lutfi, atau yang akrab dengan nama panggung Electro Guy, Gitaris Grup Sukatani, memandang panggung musik sebagai medan perang untuk menyebarkan realitas kondisi rakyat yang terpinggirkan.

“Panggung musik bagi kami itu adalah salah satu media yang punya kekuatan besar untuk menyebarkan apapun terutama realitas kondisi hari ini,” pungkas Electro Guy kepada ASPIRASI pada Minggu, (17/8).

Lebih dari itu, salah satu pengunjung, Mila Nabila mengungkapkan kepada ASPIRASI bahwa Panggung Merdeka 100% menjadi kegiatan kolaboratif yang substansial sebagaimana tema kemerdekaan yang dibawakan acara ini. 

“Menurut saya kegiatan ini lebih substansial, bukan sekadar kayak kompetisi-kompetisi yang sebenarnya kurang sesuai dengan kondisi kita hari ini, di mana kolaborasi itu lebih penting, dan sebagaimana temanya Panggung Merdeka 100%,” jawab Mila kepada ASPIRASI pada Minggu, (17/8).

Mila juga berharap di Hari Kemerdekaan ini pada perubahan kesadaran umum masyarakat yang lebih peduli terhadap dampak kebijakan politis secara umum. 

“Karenanya sebagaimana yang dikatakan oleh Bertolt (Penyair dan Dramawan Jerman), bahwa buta yang terburuk adalah buta politik. Setidaknya masyarakat bisa terbangun kesadarannya. Dan kegiatan seperti ini bisa lebih masif diadakan di tempat-tempat lainnya, bukan hanya terfokus ke Jakarta, itu saja,” tukas Mila. 

 

Foto: Aspirasi

Reporter: Rasyid Hilmy | Editor: Azaliya Raysa

 

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *