Lifelong Learning: Upaya Individu dalam Menghadapi Pasar Kerja yang Dinamis

CategoriesForum Akademika

Lifelong learning menjadi sebuah tuntutan mendesak bagi setiap individu untuk tetap relevan di pasar kerja modern yang semakin rumit. Menjadi langkah penting, lifelong learning menjadi upaya individu untuk bertahan di tengah dunia kerja yang dinamis. 

Aspirasionline.comBelajar sepanjang hayat atau lifelong learning menjadi representasi atas kebutuhan yang diperlukan dalam menghadapi dinamika industri yang kian sulit diprediksi.

Dinamisnya tuntutan dunia kerja menjadikan proses belajar tidak lagi terbatas pada bangku sekolah atau perguruan tinggi. Tetapi, menjelma menjadi kewajiban seumur hidup. 

Kini, pasar kerja modern tidak hanya mencari individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar dari pendidikan formal, tetapi juga yang memiliki kemampuan untuk terus beradaptasi dan belajar hal baru.

Dosen Psikologi Sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gazi Saloom, menyebutkan lifelong learning sangat penting sebagai senjata untuk bertahan di era dunia kerja yang terus berubah. 

“Konsep ini menekankan bahwa pembelajaran tidak berhenti setelah pendidikan formal, tetapi berlangsung sepanjang hayat untuk menghadapi perubahan teknologi, ekonomi, dan sosial,” jelas Gazi kepada ASPIRASI pada Sabtu, (3/5).

Pentingnya Lifelong Learning sebagai Mitigasi Individu Tergerus Teknologi

Kemajuan teknologi, khususnya di bidang Artificial Intelligence (AI), telah mengubah wajah dunia kerja beberapa tahun belakang ini.

Gazi menjelaskan, penekunan keterampilan baru sangat krusial guna menghadapi perubahan teknologi yang cepat dan transformasi pasar kerja yang pesat. Sebab, stagnasi keterampilan akan terjadi di tengah derasnya arus transformasi teknologi.

“Perubahan teknologi ini terutama ditandai oleh kemajuan Artificial Intelligence, automatisasi, dan big data mengharuskan pekerja untuk terus meningkatkan keterampilan agar tetap relevan,” tuturnya.

Di sisi lain, kemajuan teknologi ini juga membawa konsekuensi sosial yang serius. Ketimpangan antara kemampuan manusia dan kecepatan inovasi teknologi membuat urgensi lifelong learning semakin tak terbantahkan.

“Kalau ada mahasiswa yang tidak mengadopsi prinsip lifelong learning di tengah perubahan dunia kerja yang sangat kencang, dia akan tertinggal. Akan tertinggal (dan) dikalahkan oleh SDM (Sumber Daya Manusia)  lain yang terus belajar,” ujar Gazi. 

Selain itu, dalam penerapan lifelong learning, pendidikan nonformal seperti kursus daring, pelatihan, dan sertifikasi muncul sebagai alternatif adaptif.

Sertifikasi profesional menjadi sebuah tuntutan bagi para pencari kerja termasuk mahasiswa. Kriteria pasar kerja yang semakin ketat menuntut setiap individu untuk memiliki bukti kompetensi atas kemampuannya.

“Perusahaan-perusahaan tidak akan melirik alumni atau mahasiswa, bahkan mahasiswa yang tidak memiliki keahlian formal yang ditandai oleh adanya sertifikat,” ujar Gazi.

Lifelong learning melalui sertifikasi menjadi strategi proaktif untuk menghadapi disrupsi teknologi, mencegah konsekuensi psikologis seperti kecemasan dan rendahnya self-efficacy (kepercayaan diri).

“Secara motivasi intrinsik, sertifikasi itu pasti akan memunculkan kepercayaan diri untuk berani tampil karena memiliki sertifikat,” ungkap Gazi.

Sehingga, dengan komitmen terhadap lifelong learning, individu tidak hanya mempersiapkan diri untuk pasar kerja, tetapi juga membangun fondasi untuk pengembangan kompetensi yang berkelanjutan.

Tantangan Besar dalam Praktik Lifelong Learning

Pendidikan formal dan nonformal sebagai bagian dari lifelong learning memiliki peran yang saling melengkapi dalam membentuk kompetensi individu. 

Gazi menuturkan bahwa pendidikan formal sangat penting dan tidak bisa digeserkan oleh pendidikan nonformal. Namun, ia juga mencatat bahwa banyak keahlian yang perlu didukung oleh pendidikan nonformal dalam rangka meningkatkan soft skill (keterampilan sosial).

“Kepercayaan diri akan diperoleh jika seseorang mendapatkan keahlian baru melalui misalnya kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan yang formal atau nonformal. Jadi dengan kata lain proses life long learning itu bisa memberikan daya tawar soft skill kepada seseorang,” ungkap Gazi.

Kendati demikian, penyelarasan antara pendidikan formal dan nonformal ini  tidak selalu mudah dijalani individu. Banyak dari individu, khususnya mahasiswa  mengalami tekanan dalam menyeimbangkan tuntutan akademik, pelaksanaan sertifikasi, hingga kegiatan di luar akademik.

Jadi tentu saja menyeimbangkan tuntutan pendidikan formal dan nonformal dalam waktu bersamaan memiliki tantangan tersendiri. Karena seseorang atau mahasiswa itu harus bisa mengatur waktu, mengatur pikiran, mungkin juga mengatur biaya yang terbatas,” ujar Gazi.

Di sinilah soft skill seperti manajemen waktu sangat penting. Sebab, manajemen waktu adalah kunci keberhasilan individu dalam mempertahankan ketahanan mental yang berpengaruh dalam keseharian individu. 

“Dalam psikologi, manajemen waktu itu kerap kali berkaitan erat dengan kesehatan mental. Karena ketidakmampuan mengelola waktu itu bisa menimbulkan misalnya stres, kelelahan emosi, dan tekanan-tekanan lain yang itu kemudian mengganggu pada tentu untuk jangka panjang bisa mengganggu kesehatan mental,” tegas Gazi.

 

Ilustrasi: Fabiana Amhnun

Reporter: Nazhif | Editor: Hanifah

 

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *