Laki-laki Tidak Bercerita: Langgengnya Norma Masyarakat yang Membungkam Emosi Laki-laki

CategoriesForum Akademika

Berawal dari candaan yang berakar pada norma turun-temurun dan dilanggengkan masyarakat, ‘Laki-laki tidak bercerita’ dikhawatirkan menjadi tantangan serius bagi kesehatan mental laki-laki. 

Aspirasionline.com Fenomena ‘Laki-laki tidak bercerita’ yang ramai dijadikan candaan di berbagai platform media sosial membuka potensi terkoyaknya kesehatan mental para laki-laki. 

Melekatnya istilah tersebut salah satunya datang dari konstruksi sosial masyarakat yang kerap kali mengharamkan laki-laki untuk menunjukkan emosi dan diekspektasikan untuk menutupi sisi lemahnya.

Joevarian Hudiyana, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menjelaskan bahwa kecenderungan laki-laki untuk tidak bercerita datang dari ekspektasi berlapis yang ditanamkan para orang tua kepada setiap anak laki-lakinya sejak mereka berusia dini.

“Salah satu norma yang paling sering dikomunikasikan ke laki-laki sejak kecil adalah laki-laki harus selalu kuat, bisa bertahan, kuat dalam menghadapi masalah, tidak cengeng, dan diharapkan untuk tidak terlalu menunjukkan atau memperlihatkan kerentanan atau vulnerability (lemah),” jelas Joevarian kepada ASPIRASI melalui Zoom Meeting pada Kamis, (5/6).

Tuntutan yang teramat banyak seperti demikian pun menjadikan laki-laki cenderung memiliki tingkat kepedulian yang rendah terhadap kesehatan mentalnya. Sehingga, keinginan laki-laki untuk mencari bantuan mental kepada orang lain secara tak sadar tertahan. 

“Laki-laki ini biasanya jadi ragu atau takut untuk mencari bantuan, jadi health seeking behavior-nya (Perilaku pencarian penyembuhan) itu agak lebih rendah daripada perempuan,” tukasnya. 

‘Laki-laki tidak bercerita’ Memperkeruh Kesehatan Mental 

Menurut Joevarian, berdasarkan psikolog sosial terdapat perbedaan signifikan antara perempuan dan laki-laki ketika mengkomunikasikan permasalahan yang dihadapi. Istilah ini dikenal dengan teori tend (menjaga) and befriend (dukungan). 

Dalam hal ini, ketika seseorang menghadapi gejala-gejala stres, perempuan lebih sering mengaktifkan ‘jalur sosial’ atau proses seseorang dalam mencari figur-figur sosial untuk berkeluh-kesah. Jalur sosial ini melepas hormon oksitosin atau hormon sosial serta berdampak pada kemampuan individu dalam menyalurkan perasaannya. 

“Jadi kita akan lebih mudah melihat perempuan bercerita kepada orang-orang lain dibandingkan laki-laki. Selain normanya juga seperti itu, dia (laki-laki) juga mungkin sudah benar-benar terinternalisasi untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat dia kelihatan lemah,” ungkap Joevarian.

Selain itu, Joevarian menambahkan bahwa kecenderungan laki-laki untuk menyimpan permasalahannya menjadi salah satu penyebab tingginya angka bunuh diri pada laki-laki.

“Secara konsisten riset-riset di manapun, termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa ternyata laki-laki yang lebih banyak bunuh diri daripada perempuan,” jelas Joevarian.

Pernyataan ini juga didukung oleh studi yang dipublikasikan di jurnal Lancet Regional Health Southeast Asia pada tahun 2024 oleh Sandersan Onie dan tim, yang menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat bunuh diri antara laki-laki dengan perempuan di Indonesia pada tahun 2020 memiliki rasio sebesar 2,1:1. 

Joevarian menambahkan, tuntutan untuk laki-laki menyimpan sendiri ceritanya mempersempit ruang laki-laki untuk menyalurkan penderitaannya karena dianggap mempertontonkan kerapuhannya.

“Laki-laki tidak punya tempat seperti perempuan untuk menyalurkan segala hal yang membuat dia menderita. Segala hal yang dia rasakan, sedih, cemas, takut, segala macam, diharapkan disimpan sendiri sehingga ketika dia menceritakan ke orang kayak membuka kerapuhannya, dia membuka segala luka dan kelemahannya,” tambah Joevarian.

Lebih lanjut, Joevarian mengungkapkan pengalamannya ketika dirinya tergabung ke dalam komunitas pencegahan bunuh diri. Menurutnya, banyak laki-laki tidak bisa bercerita kepada orang terdekatnya karena rawan dihakimi.  

“Saya waktu itu di divisi riset, ada ribuan email (selama) 1 tahun, kebanyakan yang cerita adalah laki-laki. Mereka bilang, mereka enggak bisa cerita ke keluarga, enggak bisa cerita ke orang-orang terdekat karena pasti akan dihakimi, dianggap lemah, dan sebagainya,” ungkapnya.

Pentingnya Memberi Ruang kepada Setiap Laki-laki untuk Bercerita

Tidak jarang ditemukan laki-laki menutup dirinya secara ekstrem, bahkan menentang jika diminta menceritakan kesulitan yang tengah dihadapinya. Hal itu membuat orang-orang terdekatnya merasa ragu untuk menawarkan bantuan. 

Joevarian menyebut, tindakan menutup diri yang ditunjukkan bukan lahir atas dasar keinginannya, melainkan buah dari norma yang telah tertanamkan dalam diri setiap anak laki-laki, hal ini menyebabkan seringkali laki-laki marah apabila diminta untuk bercerita.

“Kita harus pegang pengetahuan bahwa sebenarnya ketika lagi kayak begitu, bukan berarti mereka ngeselin, nyebelin, dan lagi bete. Itu adalah hasil dari ‘norma itu’, karena mereka enggak boleh nunjukin kesedihan, jadi yang mereka bisa cuma marahin kita,” ujar Joevarian.

Kendati demikian, Joevarian menekankan bahwa penting bagi setiap orang hendaknya selalu memberi dukungan kepadanya, baik secara fisik maupun mental.

“Jadi, kita tetap harus rangkul walaupun kita mungkin menghadapi reaksi yang seperti itu. Karena memang enggak gampang buat bercerita, buat menjadi vulnerable (lemah) di hadapan orang-orang,” imbuh Joevarian.

Menurut Joevarian, generasi saat ini sudah lebih baik dalam menyikapi norma yang berpotensi membahayakan kesehatan mental sebagian besar laki-laki. Meski begitu, kesadaran dari lebih banyak pihak masih sangat dibutuhkan.

“Harapannya, ke depannya lebih lebih banyak juga yang mungkin (bangun) kesadaran, jadinya merasa bahwa laki-laki tidak harus selalu peranannya seperti itu sehingga nanti pelan-pelan budaya dan norma yang tadinya kuat bisa berubah jadi sesuatu yang lebih sesuai dengan realita yang dihadapi laki-laki,” pungkasnya.

 

Ilustrasi: ASPIRASI

Reporter: Fadhel | Editor: Ihfadzillah Y.

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *