Peran Jurnalis Wujudkan Inklusivitas terhadap Kelompok Marginal
Dalam rangka upaya membangun jurnalisme yang inklusif, AJI Indonesia mengimbau kepada para jurnalis untuk terus menerapkan independensi dan mengutamakan empati dalam proses penyusunan berita, khususnya bagi kaum terpinggirkan.
Aspirasionline.com – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ASPIRASI Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) menyelenggarakan seminar terbuka yang dikenal dengan Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) ke-39 bertemakan “Membingkai Keberagaman Membangun Jurnalisme Yang Inklusif”.
Acara tersebut berlangsung di Auditorium Fakultas Kedokteran, Gedung Wahidin Sudirohusodo, Kampus Pondok Labu UPNVJ pada Sabtu (8/6).
Perlu diketahui, PJM adalah kegiatan tahunan yang diadakan oleh LPM ASPIRASI yang membawa isu-isu jurnalistik kepada khalayak umum. Tahun ini, PJM kembali secara tatap muka dengan menampilkan dua pembicara dalam sesi yang berbeda.
Salah satunya adalah Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, yang turut hadir sebagai pembicara sesi pertama pada PJM LPM ASPIRASI ke-39.
Melalui paparannya, berkaca pada situasi kelompok minoritas di Indonesia yang kian menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi, Nany menegaskan bahwa tiap jurnalis harus bersikap independen dan mengedukasi masyarakat dengan menerapkan prinsip jurnalisme yang inklusif.
“Pemberitaan yang tidak inklusif itu akan menambah diskriminasi stigma dan juga tidak menyelesaikan persoalan,“ tegas Nany dalam paparannya di depan para audiens pada Sabtu, (8/6).
Berdasarkan kode etik jurnalis, seorang jurnalis dilarang untuk menyampaikan berita yang memuat sikap prasangka atau kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan atau antar golongan (SARA)
Jurnalis memiliki tanggung jawab untuk mendengarkan kelompok marginal, terutama masyarakat adat yang menjadi korban atau yang suaranya terabaikan, serta selalu berpihak pada kebenaran.
“Sebaiknya, kasus SARA itu tidak boleh ditutup-tutupi, bukan karena menimbulkan distorsi, tetapi dia (berita) harus dibungkus dengan keadilan,“ tambah Nany.
Lebih lanjut, Nany juga menegaskan bahwa meskipun wartawan tidak dapat netral, mereka setidaknya harus bersikap independen dan menekankan pentingnya empati dalam menyusun berita yang berkaitan dengan SARA, agar tidak menimbulkan sentimen kebencian.
Nany menerangkan, penulisan berita yang inklusif dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni riset mendalam terkait isu yang diangkat, mempertimbangkan sudut pandang penulis, tidak berasumsi, dan mengutamakan konsen kepada kelompok yang termarginalkan.
”Beri ruang lebih untuk mereka yang selama ini, seperti yang dibilang tadi Voice The Voiceless,” ujarnya.
Nany juga menerangkan bahwa jurnalis memiliki prinsip kebebasan berpendapat, namun terus diterapkan dengan hati-hati dalam penulisan berita yang berkaitan dengan SARA supaya tidak menciptakan diskriminasi lebih lanjut.
Berpedoman pemberitaan yang berperspektif dari Dewan Pers, jurnalis diwajibkan untuk mengedukasi khalayak umum dan mengedepankan empati. Hal ini perlu diterapkan setiap jurnalis guna membentuk jurnalis yang inklusif.
”Kita (sebagai jurnalis) harus menulis dengan empati dan mencoba mengedukasi dengan cara menggunakan jurnalisme inklusif ini,“ pungkas Nany.
Foto: ASPIRASI
Reporter: Nabila Adelita | Editor: Nayla Shabrina