Mengungkap Krisis Independensi Media di Indonesia atas Afiliasi Politik
Mengulik eksistensi politik terhadap kepemilikan media, PR2Media bersama Dewan Pers menyelenggarakan peluncuran hasil riset bertajuk “Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia” pada Kamis, (23/11).
Aspirasionline.com — Keberadaan media saat ini krisis dengan dipengaruhi oleh peran politik. Terlebih jelang pemilu 2024, diketahui banyak tokoh politik yang ternyata juga bermain peran dalam kepemilikan media, dimana hal tersebut akhirnya terjadi afiliasi politik media.
Di Indonesia, fenomena politik dan afiliasinya terhadap media berbeda dengan negara-negara lain, dapat dikatakan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang membebaskan para politisi menjadikan media sebagai investasi politik elektoral.
Media yang memiliki haluan politik bukanlah hal yang baru di seluruh dunia. Namun, ketika media terlibat secara terbuka dalam politik elektoral, baik melalui kampanye terselubung maupun terang-terangan, hal itu dapat mempengaruhi pemilih tanpa memberikan informasi yang objektif
Pada Kamis, (23/11), Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bersama Dewan Pers mengadakan pemaparan hasil riset bertajuk “Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia”.
Acara ini dihadiri oleh Chief of Party Internews sebagai pendukung riset media, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Tulus Santoso, dan perwakilan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam pemaparan sekaligus diskusi ini, Ketua PR2Media Masduki menyampaikan hasil riset yang telah dilakukan oleh tim dari bulan November 2022 hingga Agustus 2023. Masduki mengawali pemaparannya dengan menjelaskan arti dari gambar gurita yang menjadi logo dalam riset yang disampaikan.
Masduki menjelaskan gambar gurita tersebut menginterpretasikan bahwa ada satu orang yang begitu kuat memiliki kuasa, digambarkan dengan memiliki kaki dan memiliki sayap yang memegang seluruh ekosistem media.
“Lebih mengerikan lagi karena sebenarnya yang dia cengkram itu bukan hanya media, tapi partai politik,” jelas Masduki pada awal pemaparan hasil riset pada Kamis, (23/11).
Sebelum Masduki melanjutkan pemaparannya mengenai hasil riset, ia menjelaskan bahwa hasil dari riset ini dapat membantu untuk memahami apakah ada irisan antara kepemilikan media dengan struktur politik.
“Jadi yang kami beri garis merah itu, yang kami lihat fenomena ini terutama lima tahun terakhir. Jadi ini membawa pesan besar kepada kita bahwa diperlukan reformasi kebijakan kepemilikan media di satu sisi, dan depolitisasi media di sisi yang lain reformasi kebijakan politik kepemiluan kita,” lanjut Masduki.
Mengacu pada hasil riset yang dilakukan pada empat provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Jawa timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur, hasil tersebut menyatakan bahwa adanya afiliasi politik para pemilik dan pengelola media secara langsung maupun tidak langsung.
Masduki juga menyampaikan terkait tipologi dan jaringan kepemilikan media yang berbentuk horizontal, vertikal, dan diagonal dimana bentuk-bentuk tipologi ini berpengaruh terhadap arus kepemilikan atau pengolahan media.
Selanjutnya, Masduki membeberkan sejumlah temuan kajian dokumen. Temuan tersebut menunjukkan adanya perubahan badan hukum yang cepat, dimana terdeteksinya pergantian kepemilikan atau komisaris yang berubah-ubah dalam kurun waktu yang singkat. Hal tersebut menurutnya patut untuk dicurigai.
“Kalau dikaji bahwa perusahaan-perusahaan media kita itu memang mengalami dinamika struktural internal yang tidak begitu stabil,” ujar Masduki.
Kemudian adanya indikasi shadow names, dimana posisi kepemilikan ataupun komisaris yang diketahui publik hanyalah samaran semata, dimana pemilik aslinya mungkin bukan orang yang selama ini dipublikasikan sebagai pemilik atau komisaris.
Temuan lainnya adalah tujuan dari media saat ini bukanlah untuk publik semata, tetapi tujuan untuk politik. Hal ini, menurut Masduki, tidak tertulis tetapi nyata adanya.
“Jadi, media itu sepertinya komersial non-partisan tetapi sesungguhnya dia dimiliki oleh political leaders,” tambah Masduki dalam pemaparannya.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyebutkan bahwa keberlangsungan pers yang independen bergantung pada dua aspek, yaitu profesionalisme media dan jurnalis. Meskipun demikian, ia menyoroti bahwa kepemilikan dan keterkaitan politik oleh media di Indonesia tidak selalu menciptakan pemberitaan yang benar-benar independen.
“Persoalannya adalah apakah pemberitaannya juga terafiliasi tidak independen? Karena Dewan Pers menjaga dalam konteks kode etik dan memisahkan antara perusahaan dengan karya jurnalistiknya,” ujar Ninik pada Kamis, (23/11).
Sementara itu, Sasmito memaparkan kepercayaan publik kepada media Indonesia hanya sekitar 39 persen saja, dimana hal ini menjadi perhatian serius karena ketika media tidak dipercaya publik, salah satu alasannya adalah karena terafiliasi dengan partai politik.
Sasmito juga menyoroti bahwa meskipun seharusnya media mengumumkan pakta integritas, hingga saat ini belum ada satupun media yang melakukannya, terutama menjelang pemilu di mana seharusnya pakta integritas tersebut disampaikan kepada publik.
“Nah ini sebenarnya sudah diatur di standar perusahaan pers, tapi luput ya baik di pemilu 2014, 2019, dan 2024. Ini mungkin kita masih ada waktu lah untuk mendorong teman-teman perusahaan media untuk menyampaikan pakta integritasnya,” ungkap Sasmito pada Kamis, (23/11).
Menanggapi hal ini, Tulus Santoso sebagai komisioner KPI Pusat menyampaikan pangkal dari kegelisahan yang terjadi yang kemudian menimbulkan berbagai masalah tentunya berkaitan dengan tidak adanya aturan main yang jelas.
Tidak adanya aturan yang secara khusus mengatur, menurut Tulus, lantas membuat orang yang menjadi ketua umum partai politik atau sekadar terafiliasi dapat terjadi karena keterafiliasian dan keanggotaan dalam pengurus partai dianggap sebagai hal yang berbeda.
Reporter: Hanifah Mg., Tia Mg. | Editor: Sofwa Najla.